2 Teriakan Seorang Bisu Rasa

11 April 2014
Dimensi kesekian mendadak menyapa dan mencumbuku tanpa jeda. Apa namanya dan bagaimana identitas kejelasan ruang ini pun tak kutemui maknanya. Sejenak kurebahkan arti di dalam sebuah senyum yang meggoda sukmaku. Senyum itu menggodaku untuk terus terperosok semakin dalam, dalam, dan dalam. Memaksaku untuk terus menikmati setiap desahan asa yang terdengar melalui pita suara yang redam dalam logika. Aku mencari jalan keluar, aku ingin pulang! Pulang? Pulang kemana? Dari mana aku ini sebenarnya berasal? Sebuah dunia tak terjamah, aku ini dari sana. Kekosongan sempat merajai jiwa ini. Ramai tak merasa ada. Sepi tak merasa hilang. Semu, hanya semu yang tampat nyata. Keberanianku mengenal sosok cinta yang berbeda, perlahan membawaku lari. Aku berlari kepada sebuah harapan yang penuh gairah cinta. Ini asa yang tidak biasa. Ini jiwa yang tak lagi sama. Dimensi ini adalah rumah baru tempatku berdiam. Nafasku penuh dengan cinta. Hatiku penuh dengan rasa. Otakku penuh dengan gairah. Semuanya ini akankah musnah? Entah! Aku tak pernah tau kapan ini dimulai. Dan aku pun tak pernah ingin tau kapan ini akan segera berakhir. Yang aku tau hanyalah hari ini Hanya saat ini. Aku bersamamu, menyatu. Sebuah tatap penuh harap adalah sumber tenaga untuk kembali berjalan menapaki dunia yang penuh dusta. Sesungging senyum menggoda itu selalu menjadi oksigen di tengah kesesakan dusta yang penuh paksa. Aku tak ingin lari. Tak lagi ingin pergi. Tak sejejakpun ingin kuasingkan dari zona ini. Hanya kau dan aku, menyatu. Sayang, jikalau kaupun harus pergi nanti, aku takkan ingin mencari lagi. Tak akan menjajaki hati-hati yang lain. Ini tempat peristirahatanku yang terakhir. Kuburku ada dalam jiwamu itu. Surgaku ada dalam kebersamaan kita. Neraka ini kita yang punya. Siapa yang sanggup masuki? Tak akan ada. Mereka pasti mati. Detik ini aku seperti kembali. Apakah kita ini merupakan produk reinkarnasi? Siapa kau, sayangku? Siapa kita? Aku merasa seperti hidup kembali dan mengulang sebuah kisah yang sama. Entah dimana, entah di lapisan dunia yang mana. Aku merasa kita ini tak jauh berbeda. Kau memang aku dan aku memang kau. Siapa empunya kita? Siapa penulis skenario jalan cerita kita. Sayang, yang kutahu hanya kau saat ini. Yang kuharap hanya denganmu hingga nanti. Yang berharga bagiku hanya harapmu dan jiwamu merengkuh setiap sendi-sendiku yang semakin lemah. Sayang, aku ingin tetap tenang. Tanpa harus menjadi bayang-bayang dunia yang tampak seolah tenang. Kita ini tak lebih dari sepasang wayang yang dimainkan oleh seorang dalang. Entah sampai kapan, takkan terbayang. Janji ku bersamamu, janjiku di relung jiwamu. Kita bersembahyang berasama di atas sajadah nya cinta. Bernafas dengan dupa asa. Aku percaya, setianya kita, adalah setianya Tuhan. Hingga sampai pada kesudahan, aku dan kau akan menjadi sebuah kitab sucinya para pemuja cinta yang bisu akan rasa.