1 Kalau Masih 'Galau', Berarti Akalnya Belum Sehat

29 November 2014
"Anjing!"
"Kau yang anjing!"
"Setan!"
"Cuih!"
"Apa? Menantang kau?"
"Diam, biadab!"
"Berhenti memaki!!! Kalau tidak akan kuhabisi kau."
"Nah, habisi saja!"
"Kau... Argggghhhh!"
"Kenapa tidak jadi? Lakukan saja! Tidak berani?"
"Taik!"
"Hei... Mengapa lari? Hei... Selesaikan dulu ini."

Akankah kita menyangka bahwa perseturuan itu dilakukan oleh sepasang kekasih yang pada 20 jam lalu masih memadu kasih? Hubungan yang boleh dikatakan cukup matang karena sudah terjalin selama 5 tahun.Tidakkah ini sesuatu yang sangat membingungkan? Perjalanan yang tidak sebentar itu harus berakhir dengan sebuah perseturuan yang dihujani cacian dan makian. sungguh ironis.

Aku tak paham mengapa banyak sekali hal berlalu dan berubah begitu cepat. Sungguh, terlalu cepat. Hingga tak ada jeda untuk mempersiapkan diri menghadapi setiap keadaan yang berbanding terbalik dari sebelumnya. Aku pernah mendengar kisah tentang seorang suami yang menceraikan istrinya karena tak lagi memiliki tubuh yang molek. Ada pula kisah mengenai seorang istri yang menceraikan suaminya karena mulai mengalami ejakulasi dini. Merasa tidak terpuaskan, sang istri akhirnya berselingkuh dan menggugat cerai suaminya.

Aneh. Dunia memang benar-benar sudah gila. Wanita yang baik ketika berhadapan dengan seorang lelaki yang mengecewakannya, ia langsung mengutuki semua lelaki yang ada di muka bumi ini. Segala sumpah serapah dan amarah ia tumpahkan di segala jenis media sosial; facebook, twitter, friendster, BBM, dan lainnya.
"Dasar laki-laki! SEMUA samaaaaaaa aja! Buaya darat."
Untung saja Meggy Z sedang tidur, kalau tidak beliau pasti akan memberontak dengan lagu andalannya; tidak semua laki-laki i i i~~~
Hahaha.
Dan seorang pria yang sedang patahati karena dikecewakan pasangan wanitanya pun merasa bahwa wanita adalah 'Racun Dunia'. Menuduh semua wanita sama saja. Lalu kemudian menangis sambil menyanyikan lagu Changcutters; Wanita... Racun duniaaa~~~

Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa selalu bias? Sama seperti kondisi pertikaian di atas. Hubungan yang terjalin lama akhirnya rusak oleh karena sebuah masalah yang terjadi mungkin hanya menyerang beberapa menit saja. Adilkah jika kenangan bersama selama bertahun-tahun itu harus rusak karena satu permasalahan yang muncul sekali ini? Mengapa bias? Kemarau setahun terhapus oleh hujan sehari. Apakah tidak ada lagi toleransi bagi masalah yang terjadi sehingga harus memutuskan untuk berpisah? Apakah otak sudah terlalu mendidih sehingga hanya caci maki saja yang keluar seolah-olah usaha dalam pemecahan masalah? Ini benar-benar tidak adil.

Mengapa tidak mengingat kembali saja masa-masa indah saat pertama kali jatuh cinta? Tidakkah itu indah? Mengapa memutuskan untuk burusburu berpisah? Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Selalu ada jalan keluar untuk sebuah hambatan. Pasti ada. Ditunggu saja.

Jangan mau menjadi manusia musiman. Terlalu mudah berubah dan bertindak sesuai musim; keadaan. Bertindaklah hati-hati. Jangan mudah mengambil keputusan saat hati sedang panas. Ambil waktu untuk mengkoreksi diri sendiri dulu, agar tercipta pemikiran dan pertimbangan yang sehat. Agar dampat dari keputusan yang diambil pun sehat-sehat juga.

Kalau masih sakit hati dan 'galau', berarti belum sehat. Keputusan tersebut masih diproduksi oleh akal yang sakit. Sehatkan segera pikiran dan akal. Yakin bahwa akan selalu ada penyelesaian yang menyelesaikan. Bukan malah menambah daftar masalah yang harus dicari penyelesaiannya.

Tulisan ini pun mungkin masih akan menjadi sebuah tulisan dan menjadi pertingatan juga bagiku. Sebab akupun masih sama dengan manusia kebanyakan, gegabah dalam menetapkan keputusan.

Semoga kita dapat sama-sama belajar menghargai sebuah proses dan bersabar menanti hasil yang baik pada waktu yang baik pula. Tuhan memberkati.

Medan, 230814
Oleh: Putri (Nangbidok)

0 Ratap.

Sunyi mengoyak gendang telingaku, pekak!
Sudut kegelisahan merajai tahta durasi, sesak!

Sendiri aku sendiri meratapi getirnya rasa takut yang menyeruak.
Gergaji pilu mencabik-cabik jiwa tanpa ku mampu mengelak.

Jahanam kau, hantu-hantu sepi!
Kusumpah kau tersesat dalam arus reinkarnasi, nanti.

Jauhlah. Jauh sejauh-jauhnya enyah dariku.

Sepi, kusumpahi kau mati!

Sunyi, kukutuki kau mandul elegi.

Supaya tak lagi hantu-hantu bernyanyi menakuti.
Di sini, pada jiwa yang sedari dulu, sepi.

(Nangbidok, 301114)