0 AMARAH!

30 September 2013
Merah, merah, lautan amarah

Air pasang menghanyutkan


Kapal karam! Layar koyak terkuak!


Ombak liar menggoyah kemudiku


Mulai terombang-ambing kian kemana


Berayun sana-sini, mual!


Gerah, gerah, ingin marah


Aku ingin kalahkan lautan!


Bunuh ketakutan


Lenyapkan kelemahan


Hei, jangan anggap aku si kecil yang malang!


arogansi bukan seleraku


menjilati wajah bukan gayaku


Air muka imitasi juga bukan mimikku


Kau, pasti kulawan!

0 Terima Kasih

Bahagiaku ada di dalam jiwa mereka. Bahagiaku mengalir dalam darah mereka. Bahagiaku menyatu dengan detakan jantung mereka. Bahagiaku adalah pancaran sinar mata mereka. Bahagiaku terlukis dalam senyum mereka. Bahagiaku adalah harapan dan doa-doa mereka. Bahagiaku adalah mereka. Mereka alasan mengapa ku hidup hingga kini dan nanti.

Mereka yang menua karena waktu. Mereka yang keriput karena masa menggeluti setiap kulit tubuh mereka. Inci demi inci wajah mereka kupandangi setiap waktu, terlihat semakin lelah saja. Mereka berjudi dengan asa. Harapan mereka terajut rapi dalam setiap telapak tanganku. Ya, akulah satu-satunya tumpuan harapan atas masa depan mereka kelak.

“Mami, Papa. Aku mencintai kalian. Betapa aku sangat mencintai kalian. Betapa aku sangat merindukan setiap kecupan dan pelukan hangat kalian. Setiap detik, setiap waktu. Terlalu rindu!”

“Aku takut menjadi dewasa. Aku gamang menjalani kemandirianku. Jatuh bangun aku di sini, di arena kehidupan yang penuh dengan persaingan. Kucoba melangkahkan kakiku dan berlari. Tak jarang aku jatuh dan menangis. Saat-saat itulah yang semakin membuat aku mengingat kalian.”

“Aku ingat, betapa kalian mencintaiku. Betapa kalian menjagaku dengan penuh cinta. Rasa aman selalu mengelilingiku. Kalian mengawasiku dengan rasa hati-hati, walaupun aku selalu memberontak karena merasa terlalu dikekang. Tak jarang aku membantah perkataan kalian. Tak jarang aku mengeluarkan kata-kata kasar saat kalian menuruti perkataanku. Nada suara yang keras selalu keluar dari mulutku kalau aku dilarang melakukan sesuatu. Itu semua menyakiti hati kalian. Terlalu sering permintaanku memberatkan kalian. Aku yang tak merasakan rasa letih kalian menafkahiku. Aku yang selalu saja tak paham betapa kalian mencintaiku. Maafkan aku.”

“Sering aku menolak saat disuruh melakukan sesuatu. Sering kali aku pura-pura tak mendengar panggilan kalian. Sering aku menutup telingaku saat kalian sedang marah. Sering aku malu saat kalian menciumku di depan orang ramai. Sering aku merasa terkekang karena aku selalu diantar jemput kemanapun aku pergi. Padahal kan aku sudah dewasa.”

“Sering kali aku membuat air mata kalian jatuh berlinang dengan sia-sia. Sering kali aku menuntut lebih dari yang kalian mampu. Sering kali kulupakan nasihat kalian. Sering juga aku melawan dan memasang wajah cemberut saat sedang ditanyai sesuatu. Maafkan aku mami. Maafkan aku papa. Maafkan aku yang selalu memaki saat aku sedang emosi dengan masalah yang kuhadapi."

“Aku yang pernah membanting pintu. Berteriak keras dengan arogannya aku. Sengaja tidak mencium tangan kalian saat hendak pergi keluar karena sedang marah. Ampuni aku yang nakal. Ampuni dosaku sebagai anak kalian. Aku mencintai kalian. Hanya saja aku tak tahu bagaimana cara yang benar untuk menunjukkan rasa sayangku. Aku sungguh sangat menyayangi kalian.”

“Sekarang, aku telah dewasa Mi, Pa. Aku mengalami proses hidup yang menyakitkan. Aku sering gagal, dan kemudian bangkit. Sakit kemudian pulih, sakit lagi, jatuh lagi, tersungkur, kemudian mencoba bangkit dengan sisa-sisa daya yang ada. Aku ini anakmu. Aku ini putri kecilmu. Aku ini yang telah sadar. Aku yang sekarang menyadari betapa kalian sangat berharga buatku. Aku ini yang sekarang begitu takutnya kehilangan kalian. Aku ini yang paham betapa kalian adalah tempatku mengadu. Kalianlah satu-satunya tempatku menumpahkan segala keluh. Betapa aku menyesal pernah menjadi anak yang nakal. Aku menyesal pernah membuat kalian menangis. Aku menyesal.”

“Sekarang, peluklah aku. Aku ingin kalian selalu ada di sisiku. Ini aku sedang berjuang merebut toga kebesaranku. Ini semua untuk kalian. Hanya untuk kalian. Betapa aku takut untuk tidak mampu membahagiakan kalian. Betapa aku takut waktu akan memisahkan kita. Teruslah sehat Mi! Pa!”“Aku kini belajar menghadapi setiap ujian dalam hidup. Aku ingin menang! Aku ingin mempersembahkan piala kemenagnaku hanya untuk kalian, orangtuaku. Kalianlah sumber semangat itu. Kalianlah segalanya. Kalian hartaku yang paling berharga kini dan nanti. Selamanya hanya kalian.”

“Tujuanku kini adalah banyak-banyak melukis senyum di wajah kalian. Aku ingin selalu menghangatkan kulit kalian yang semakin keriput itu. Aku ingin selalu menjadi nafas saat kalian tersenggal sesak untuk bernafas. Aku ingin menjadi angin sejuk yang membelai kalian. Aku ingin selalu menjadi obat atas rasa sakit yang kalian rasakan. Aku ingin menjadi gudang harapan kalian. Aku ingin menjadi kebanggan bagi kalian. Aku ingin kalian bangga memiliki aku. Aku ingin kalian bisa pamer dimuka umum bahwa kalian bahagia dengan keberadaanku. Akulah mata kalian, saat kelak kalian tak mampu lagi melihat. Akulah kaki kalian saat kelak kalian tak kuat untuk berjalan. Akulah tangan kalian saat kelak kalian tak mampu menggenggam. Akulah rumah doa untuk kalian.”

“Kesempatan selalu ada untuk orang yang ingin berubah. Kesempatan selalu terbuka. Kuyakin masih ada harapan. Semua yang tak mungkin PASTI menjadi mungkin. Asalkan aku benar berusaha dan meletakkan segala harapanku dalam tangan-Nya. Tuhan, restuilah niat baikku ini. Berkenanlah atas segalanya ini. AMIN!”

“Terimakasih atas segalanya yang telah kalian berikan bagiku. Aku bangga menjadi putri kalian. Aku bahagia memiliki orang tua seperti kalian. Terimakasih mami. Terimakasih papa. Terimakasih atas segalanya. Segala kepunyaanku pun kusadari takkan mampu membalas segala yang telah kalian berikan untuk hidupku. Terimakasih telah menjadi orang tua ‘super’ ya Mi, Pa. Aku, putri kecil kalian, selalu mencintai kalian.”

RASA CINTAKU BENAR-BENAR TAK TERBENDUNG UNTUK KALIAN. AKU SAYANG MAMI! AKU SAYANG PAPA! AKU SAYANG KALIAN BERDUA! MAMI DAN PAPA ITU MANUSIA SUPER! :')

0 AKU INI APA? GURU?

23 September 2013
Hai! Halo! Ini masih tentang kisahku di kampung orang. Hahaha. Jelek gitu yah bahasaku? Hemmm, gini deh, aku ini sebenarnya sedang menjalani matakuliah Program Praktek Lapangan (disingkat: PEPE'EL). Nah, pepe'el ini mengharuskanku untuk mengajar di sekolah yang berada di pedesaan. Ada banyak sekali pengalaman baru yang kudapa di sini. Apa yang kutuliskan sebenarnya sangat tidak layak untuk mewakilkan semua kisah yang sebenarnya. Terlalu menyenangkan! Dan aku, aksaraku terbatas. Jadi, semoga saja apa yang kualami, dapat samar-samar terlukis melalui bahasaku pada secarik kertas abstrak ini.
Ayo kita mulai. Siap? 1, 2, 3, begini ceritaku... auoooooooo!!!

Pertama, aku mau bercerita mengenai sekolah tempat aku mengajar. Aku ditempatkan di sebuah bangunan tua yang tampak semak karena dipeluk dengan pemandangan hutan. Ah, masih terlalu pelosok. SMP Negeri-3 namanya. Sekolah ini awalnya memberikan kesan seram dan menakutkan. Tapi saat aku berani menginjakkan kakiku di sana, bravo! Seperti ada aliran listrik bertegangan tinggi yang sedang menyengatku. Tidak, tidak! ini bukan makna sebenarnya. Maksudku, rasa yang tiba-tiba muncul dalam batinku itu adalah gejolak rasa tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat itu. Aku tersadar bahwa aku bukan lagi sosok yang biasa sekarang. Aku adalah seorang teladan, yang pasti akan digugu dan ditiru oleh siswa yang kudidik nantinya. Aku bahagia!!! Akhirnya, waktu yang kutunggu-tunggu datang juga. Ini saat pembuktian bahwa aku harus mampu memanusiakan manusia. Itulah mottoku sebagai seorang pendidik.
Di awal minggu, aku dan teman-temanku belum diperbolehkan untuk mengajar di dalam kelas. Masih ada beberapa proses yang harus dilalui untuk akhirnya bisa benar-benar mengajar. Beberapa hari pertama kulalui dengan pertemuan-pertemuan yang dipimpin oleh PKS-Kurikulum yang bertugas di seoklah ini. Beliau memberikan banyak sekali arahan dan masukan yang pasti berguna untukku dan teman-temanku. Beliau juga memberikan berbagai persyaratan yang harus kami patuhi sebagai tugas wajib untuk dikerjakan. Diantaranya adalah seputar pembuatan program tahunan, program semester, Kriteria Kelulusan Minimal untuk siswa, Kalender Pendidikan, dan Rencana Perangkat Pembelajaran. Semua itu cukup menguras waktu, tenaga dan pikiran. Tak apalah! Ini tantangan. Harus bisa, aku harus bisa!
Perjalanan aku dan teman-temanku di sini tidak dilalui sendiri. Kami diberikan seorang guru pamong yang nantinya akan bertugas membimbing kami. Dan betapa bersyukurnya aku kepada Tuhanku! Aku mendapat seorang pamong wanita yang lembut. Tidak hanya itu, aku disandingkan dengan rekan yang rajin juga. Bang Dedi namanya. Maklum, aku masih punya penyakit malas. Kadang-kadang masih suka kumat. Ha ha ha.
Baiklah, waktu yang diberikan adalah sebulan. Tapi, sesungguhnya di minggu ke dua pun kami sudah diberikan izin untuk masuk mengajar di kelas. Hanya syarat mutlaknya adalah RPP. Tidak terlalu sulitlah untuk itu.
Kukerjakan semua yang diminta (maklum, di awal memang masih rajin) ha ha ha. Di kepalaku sudah banyak rencana-rencana yang akan kulakukan di dalam kelas nanti. Pasti akan sangat menyenangkan, gumamku dalam hati. Aih, aku senyum-senyum sumringah. Takut juga kalau disangka orang gila karena senyum-senyum sendiri. Ah, tak apa! Aku memang sudah gila. Aku sudah tergila-gila dengan dunia pendidikan ini. Aku tergila-gila dengan dunia baruku. Selamat datang pengalaman baru! Selamat bertemu anak-anak didikku! Aku akan memanusiakan kalian :)
Tanpa kekerasan, tanpa ancaman. Kalian akan aman. Peluk anak-anakkuuuuuuuu...
Kecup basah. ah!

0 Kesan Pertama Itu, BOHONG!!! :)

22 September 2013
Setibanya aku di sini, perasaan takut menggerayangi seluruh syarafku. Awalnya, berjuta pertanyaan bodoh satu per satu bermunculan tanpa alasan. Aku terlalu paranoid dengan cerita selanjutnya yang akan dituliskan takdir untukku selama aku di sini, di kampung orang.
Kampung ini namanya Desa Lalang, tepatnya di Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Tanaman sawit mengepung hingga menutupi rumah-rumah penduduk. Keadaan lingkungannya pun masih sangat tradisional. Ada banyak sawah dan pohon-pohon besar juga. Situasi ini benar sangat mengejutkanku. Terlalu senyap, jauh dari hiburan apapun. Jangan bayangkan 'mall', supermarket modern hanya ada satu, yaitu yang memiliki simbol A berwarna merah darah. Yah, kalian tahu lah.
Ayo, sekarang beranjak ke tempat tinggalku. Rumah yang kutempati bersama teman-teman sekampusku ini tidak jauh dari lokasi sekolah tempatku mengajar. Lokasinya ada di dalam sawit-sawit yang membentang, tapi ada jalan kecil tempat untuk menapaki langkah kakiku. Rumahnya nyaman. Sangat nyaman! Pemilik rumah adalah sepasang suami istri yang tampak begitu harmonis. Mereka adalah Pak Udin dan Bu Pipit. Dua orang ini sangat ramah dan menerima kami dengan sangat terbuka. Perlahan ketakutanku mulai luntur. Keresahanku yang sedari tadi betah menghantui, kini sudah digantikan dengan rasa aman. Tidak butuh waktu yang lama untuk beradaptasi dengan semua ini. Ah, senangya!
Perutku keroncongan, aku lapar. Ada makanan? Wah, jangan pusingkan urusan makan. Semua sudah tersedia. Lengkap 3 kali sehari, dengan menu yang berbeda tiap segmen waktunya. Huaaa...menyenangkan bukan?!
Nah, sudah bisa dibyangkan kan? Walaupun kondisi lingkungan di sini masih sangat sepi, aku merasa senang dan nyaman. Ternyata, ketakutanku semula tidak menghasilkan fakta apapun.
Rasa betahku ini tidak berhenti di sini saja. Alasan lain kenapa aku senang adalah tidak lain karena teman-teman baruku yang ramah. Meski aku dan mereka tidak saling mengenal sebelumnya, namun tidak sulit untuk menjalin keakraban antara satu dengan yang lainnya.
Sejujurnya, aku adalah satu-satunya mahasiswa Katolik yang ada di rombongan ini. Sisanya mereka semua beragama Islam. Tapi jangan khawatirkan aku, mereka semua adalah Muslim yang taat. Muslim yang juga terbuka dengan kemajemukan. Aku diterima dengan hangat. Menyengkan? Jelas!!! Sebentar saja aku sudah menyayangi mereka semua.
Aku memang dekat dengan semua temanku. Tapi, jelas ada beberapa orang yang memang benar-benar sudah seperti belahan jiwaku. Mereka yang selalu mengerti dan sepemikiran denganku. Tanpa niat berkelompok, aku memiliki hubungan yang jauh lebih erat dengan mereka. Aku akan menyebutkan nama mereka satu-satu di cerita selanjutnya. Ini hanya pengantar saja.
Inginku ialah menulis semua ceritaku di sini, namun rasa senangku yang meluap-luap menyulitkanku untuk ingat dengan blog ini. hehehe. Maklumlah, waktuku tersita oleh canda tawa dan serangkaian kisah lainnya bersama teman-temanku di sini. Ada banyak kegiatan dan kebiasaan baru yang kulakukan di sini, hingga membuatku sedikit lupa dengan duniaku sebelumnya.
Yah, intinya banyak sekali pengalaman baru yang keperoleh di sini. Aku merasa sangat beruntung dengan goresan takdir ini. Rasa syukurku melimpahi aku yang awalnya terlalu cemas. Hingga akhirnya rasa betahku kini malah membuatku takut untuk segera berlalu dari sini. Terlalu indah.

*Kecup Hangatku untuk kalian*