0 Ironi Masa

23 Oktober 2014
Terselip rindu di  setiap mikron detik waktu
Menyusupi celah-celah durasi yang mencekikku sesak
Lama
Hari-hari terasa lama
Tanpamu
Bilakah ku dapat segera mengecup lembut kening itu
Bilakah ku segera mendekap hangat tubuh yang kedinginan, di sana, di sudut keluguannya
Aku teriak pada malam
Malam tak menyahut
Aku teriak pada hujan
Hujan pun menangisi tanahnya
Angin maukah kau mendengar keluh yang kulabuhkan pada samudra rindu?
Angin bisu
Semua tak seromantis sedia kala
Aku kembali pada penantianku
Ruang sepi penuh hampa
Kesenyapannya memekakkan telinga
Aku hilang dalam durasi yang fana ini
Terhilang
Menitikkan bulir-bulir air mata
Histeris tragis
Jiwaku teriris
Aku berharap masa akan menjaga rasa
Rasaku yang selalu terselip dalam setiap hembus nafas melalui detik per detiknya waktu
Dan durasi
Selalu membawaku padamu
Dalam diam
Dalam kenangan
Dalam harap
Dalam keabadian
Masa pasti jaga rasa
Masa pasti akan abadikan rasa
Selamanya
Medan, 241014, 02.10
Oleh: Putri (Nangbidok)

0 Aku Enggan Pulang

10 Oktober 2014
Sudah hampir enam jam lamanya aku menyusuri jalanan kota ini tanpa arah tanpa tujuan yang jelas di mana akan kuhentikan sepeda motorku ini. Kulirik sesekali ke arah kaca spion sebelah kanan dan kusaksikan wajahku sangat kusam penuh debu. Wajahku yang memang sudah hitam legam tampak semakin pekat tertutup lapisan debu dan kotoran akibat dari perjalananku yang tiada ujungnya ini. Sudah dua kali aku mengisi bensin sepeda motorku dan tiada jua aku puas dengan hasil perjalananku kali ini. Aku belum ingin pulang. Pesona jalanan ibu kota masih memikat hatiku dan memberikanku rasa ramai yang menghibur dari rasa sepi dan kalut. Aku melihat sekeliling dan terus menikmati suasana ramai dan bebas. Aku bebas. Jiwaku menari-nari menyusuri kemacetan dan riuhnya kendaraan pribadi yang membludak. Di sudut jalan tampak seorang anak dengan tangan menengadah mengharap belas kasih dari pengguna jalan. Ada pula sekelompok anak muda yang bernyanyi dengan gitarnya dan kemudian mengusungkan bungkusan plastik bekas permen. Tak jauh dari pemandangan itu, kulihat seorang ibu yang duduk memelas di pinggir trotoar jalan sambil menidurkan bayinya yang kurus di atas sebuah kain gendongan. Sementara di sampingku, sebuah mobil mewah keluaran terbaru melintasi jalanan yang sama dengan seorang ibu, sekelompok pengamen, dan anak yang mengemis tadi.

Aku masih berkeliling di tengah kesemerawutan ibu kota ini. Aku belum mau pulang. Aku masih terpesona dengan sihir jalanan yang ramai. Sebab aku benci sepi. Sepi bukan temanku, ia musuhku. Di tengah keramaian seperti ini, keceriaan menghampiriku. Dan aku kuat. Keceriaanpun ikut membuntutiku kemanapun aku menyusuri jalan demi jalan yang kupilih untuk kulintasi. Aku kuat di tengah keramaian, sebab ia temanku. Ramai membuatku hidup.

Hampir seluruh sudut kota ini telah kulintasi. Sendiriku. Sampai-sampai aku hapal dengan setiap letak dan waktu-waktu saat petugas aparat keamanan sedang melakukan razia. Aku hapal gerak-gerik mereka yang siap memangsa para pengendara. Aku hapal itu dan berkali-kali aku lolos sebab aku tak punyai surat izin untuk mengemudi. Tapi aku tetap melintas dengan hati yang gembira, sebab ramai itu temanku. Aku kuat di tengah keramaian.

Pesona jalanan yang ramai membuatku enggan pulang. Sebab aku berteman dengan ramai dan membenci sepi. Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Langit terlihat pucat dan tampat matahari yang mengintip genit dari balik gumpalan awan. Seketika itu aku merasa sedih. Sebab aku berteman dengan ramai dan membenci sepi. Sudah saatnya aku pulang. Aku harus pulang dan menghamba pada sepi, musuhku.

***

"Assalammualaikum. Bu, aku pulang."
Belum ada sahutan dari dalam rumahku. Tampaknya monster itu belum mendengar salam dariku. Ah, biarkan sajalah yang penting aku sudah melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhanku kepadaku. Saat hendak memasuki sebuah rumah, ucapkanlah sebuah salah. Aku patuh padaNya karena Dia mengasihiku.

Kulangkahkan kakiku memasuki dapur sebab aku merasa lapar. POKKK!!! Mendadak aku merasa pandanganku berkunang-kunang. Sebuah benda keras membentur kepalaku. Sakit sekali sampai-sampai penglihatanku kabur. Seseorang pasti telah melemparkan benda keras tersebut. Sebuah asbak. Ternyata benda keras yang menghantam kepalaku adalah sebuah asbak. Yang melemparkannya pasti adalah seorang monster yang sangat mengerikan. Siapa lagi yang tega berbuat demikian kalau ia bukan seorang monster.

"Dari mana saja kau binatang!?"
Oh, ternyata benar bahwa yang melemparkan asbak tadi adalah seorang monster. Monster yang parasnya sudah kuhapal betul. Juga rasa tangannya yang berkali-kali menempel di pipiku. Seperti bukan manusia aku selalu dihajar dan dipukuli tanpa sebuah alasan yang jelas. Dua puluh dua tahun aku disiksa baik fisik dan psikis. Bathinku remuk dan jiwaku hancur. Sakitku sudah berkarat. Rumah bukanlah tempat peristirahatan untuk meletakkan rasa lelah, Tubuhku selalu bergetar tiap kali mendengar kata rumah. Rasa gemetar ini timbul karena aku merasa sangat ketakutan. Aku benci rumah sebab aku benci sepi.

Miris rasanya harus tinggal serumah dengan sesosok monster yang menegrikan. Ibarat harimau lapar ia selalu berusaha ingin menerkam dan mengganyang aku sampai habis. Jam-jam yang kulalui di dalam rumah terasa sangat lama dan menyiksa. Aku sepi terkurung dalam rasa kalut ini. Aku tersiksa dengan rasa takut yang menggerogoti setiap inci syaraf dan otakku. Aku hampir saja gila mengikuti jejak monster itu. Tapi sesungguhnya aku tak ingin gila sebab aku membenci sepi. Pesona jalanan selalu memanjakan aku sebab jalanan itu ramai. Dan aku berteman dengannya.

***
Pagi kembali menyapa. Terang memanggilku dengan tawa. Aku bangun dan bergegas keluar dari neraka ini; rumahku. Kembali lagi kususri jalanan ibu ota yang berliku. Tanpa arah, tanpa tujuan, hanya menikmati pesona jalanan yang ramai. Sebab mereka sahabatku dan sepi adalah musuhku. Aku enggan pulang. Aku tak mau kembali ke neraka di mana monster yang menakutkan itu tinggal. Di sana hanya ada rasa takut, cemas, gemetar, dan siksa. Aku sepi di sana sebab itu aku enggan pulang dan aku masih betah menikmati pesona jalanan. Meskipun harus melintasi jalanan yang itu-itu saja tanpa arah dan tujuan, aku tetap bahagia. Sebab aku merasa ramai, aku merasa bebas. Di sini tidak ada ketakutan, tidak ada rasa sepi. Semua ini adalah temanku sebab mereka adalah ramai. Teman, aku enggan pulang.

Medan, 10 Oktober 2014
Oleh: Putri Amelia (Nangbidok)