Bayangan Cantik

15 Agustus 2014
23 Maret . 11.30 WIB
Sayang, jangan lupa obatnya diminum ya. Ntar malem mau dibawain apa? Kamu istirahat yang cukup, jangan banyak gerak dulu. Aku masih di kantor, sebentar lagi keluar makan siang sama Heri. Sampai ketemu nanti malam sayang. Love you!
"SMS dari siapa, sayang?"
"Oh. Enggak. Ini, anu."
"Roy? Kenapa ngga dibales? Bales aja. Ngga apa-apa."
"Ntar aja deh."
"Yaudah, sekarang kita kemana?"
"Ngopi, yuk!"
***
23 Maret . 20.30 WIB
"Halo, yank"
"Yank, bukain pintu. Aku udah di depan."
"Iya, sayang. Sebentar aku suruh Bi Jum."
Roy, lelaki tampan ini adalah kekasihku. Sangat tampan dan juga sudah cukup mapan. Yang kutahu, dia sangat mencintai aku. Aku kenyang dengan segala perhatian dan cinta darinya. Lelaki yang romantis. Setiap berkunjung, Roy tak pernah lupa membawakanku bunga dan coklat. Boleh kukatakan bahwa ia adalah lelaki idaman hampir semua wanita. Aku bangga memilikinya.
"Sayang, apa kabar? Masih pusing kepalanya? Wah! Anget! Masih demam kamunya."
"Ngga kok, sayang. Aku udah seger gini. Aku sehat, loh!"
"Tadi siang kamu ngga kemana-mana kan, sayang?"
"Ngga sayang. Aku tiduran di kamar aja. Ngga kuat keluar."
"Iya, sayangku. Oh, iya. Aku bawa... ini...!!!"
"Wah mawar!!! Hmmm... thank u babe. Coklat!!! Waaaahaaa..."
"Nih, aku juga bawa ini nih."
"Sop ceker??? Asssiiikkkk!!!"
"Aku suap kamu ya, sayang."
Seperti inilah situasi yang terjadi setiap kali Roy mengunjungiku. Aku diperlakukan seperti ratu. Teramat sangat spesial. Aku merasa sangat diperhatikan. Sebagai wanita, aku tersanjung dengan segala perhatian yang diberikannya. Ya, Roy adalah lelaki yang spesial.
***
25 Maret . 10.00 WIB
"Semalam kemana?"
"Ke dokter. Roy permisi dari kantor."
"Oh. Baik banget ya, dia."
Senyum itu. Dia tersenyum dengan seonggok rasa perih yang tertimbun lama di dalam hatinya. Dia menatapku tajam. Tatapan yang penuh luka. Aku tahu, dia ingin berteriak dengan tangisnya yang tertahan. Aku tahu itu. Akupun begitu. Aku paham dengan apa yang dirasakannya. AKu merasakannya sayang. Aku tahu kau hancur! Aku tahu kau luka! Aku tahu.
"Hey, cantik. Kenapa nangis?"
"Ngga, sayang. Ngga apa-apa. Perih aja mataku. Kemasukan debu, kali"
"Sini aku tiup."
Aku rengkuh dia dengan segera. Kudekap dia sekuat-kuatnya. Hangat. Aku merasakan rasa yang berbeda. Aku merasa aman dan nyaman berasa dalam pelukannya. Aku sangat mencintai dia. Teramat sangat mencintai dia. Bahkan jauh! Jauh dari aku mencintai, Roy.
***
26 Maret . 13.00 WIB
"Cantik. Makan di mana kita?"
"Di tempat biasa aja, sayang."
"Kamu ada kelas?"
"Ada. Tapi ntar jam empat."
"Oke. Oh, ya. Semalem Roy ke rumah?"
"Ngga, sayang."
"Yaudah, yuk sayang. Mobil aku parkir di sana."
"Iya, sayang. Hayuk."
***
28 Maret . 09.00 WIB
"Sayang, nanti siang mau dibawain makan siang apa?"
"Ah, ngga usah. Aku makan bareng Dewi, kok. Lagian masih ada tugas kampus, sayang. Sayang makan sama Heri aja, ya."
"Oh, gitu ya sayang. Oke deh. Bye. Love you my baby Cantik."
"Love you too my baby Roy."
"Yuk, berangkat."
"Iya, sayang."
"Kamu ntar ngga takut dapet E apa, bolos mulu?"
"Ah, ngga sayang. Males aja liat dosennya."
"Yaudah, tapi semester depan udah bisa berubah ya, sayang."
"Hehehe."
Dea langsung mencubit hidungku dan mengecup keningku.
***
08 April. 19.00 WIB
"Sayangku, Dea... kenapa mukanya cemberut gitu, sih?"
Dea hanya tersenyum
Kurengkuh ia. Kubenamkan wajahnya di leherku. Dia menangis.
"Aku sayang kamu, Cantik. Aku sangat menyangimu dengan setulus hatiku. Aku benar-benar mencintai semuanya kamu."
"Iya, sayang. Aku pun demikian. Aku juga benar-benar mencintai kamu. Apa adanya kamu. Semuanya kamu, aku cinta, Dea! Aku cinta."
Malam itu, Dea hanya menangis di pelukanku. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Rasa sakit ini. Terlalu dalam menusuk relung jiwa kami. Aku, Dea, kami saling mencintai. Sekalipun tak pantas. Tapi kami benar adanya dan rasa ini nyata. Dea dan aku adalah aib bagi norma dan realitanya hidup. Orang-orang seperti kami ini tak layak menikmati bahagia kami. Cinta bukanlah anugerah, melainkan dosa. Masyarakat seolah-olah Tuhan. Kami dihakimi, dicerca, dan dikutuki dengan segala sumpah serapah. Yang aku sangat tidak suka adalah bahwa aku dan Dea diberi cap sebagai wanita "Lesbian". Entah bahasa apa itu. Entah dari mana dan apa maknanya, kami pun tak tahu. Yang kami tahu hanyalah cinta dan sebuah rasa yang tak biasa. Kami menyebut ini bahagia. Apa bedanya kami dengan insan lainnya? Kamipun berhak bahagia.
***
Tiga tahun berlalu. Roy melamarku untuk menjadi pendamping dalam hidupnya. Keluargaku dan keluarganya sudah menentukan tanggal baik untuk hari pernikahan kami. Bahagiakah aku? Tidak. Aku sakit. Hatiku hancur dan air mataku berderai dalam bathinku. Senyum palsu yang kulukiskan di wajahku semakin membunuh setiap inci dari jiwaku. Dadaku sesak, penuh, seperti akan meledak. Sekujur tubuhku meriang menahan kesedihan yang kusembunyikan jauh di balik relung ini. Sejatiku adalah wanita. Wanita harus menikah dan berkeluarga. Dan kesejatian ini adalah siksaan jahanam bagi raga dan sukma yang tak bersalah ini.
***
18 Mei . 23.00 WIB
Kurebahkan tubuhku di samping tubuhnya. Dea, wanita ini selalu menjadi surga. Tempat bernaung dan menumpahkan segala keluh. Hanya memeluknya saja, bathinku tenang. Ketakutanku lenyap untuk sesaat. Aku mencintaimu, Dea. Sayangku.
"Aku mencintaimu, Cantik. Sangat mencintaimu. Berbahagialah."
Dea menangis. Ingin sekali kuseka air mata itu. Tapi tanganku sekejap terasa kebas dan kaku. Kondisi ini sangat menyiksa. Sakit sekali.
"Masa depanmu sudah di depan mata Cantik. Selamat atas pernikahanmu. Bulan depan, kamu bukan lagi Cantikku. Kamu takkan lagi untukku. Aku harus tau diri. Iya kan, Cantik?"
Aku terisak dan sesak. Tiada sepatah kata pun kuucap, hanya isakan tangis yang terbungkam oleh kesunyian malam.
"Dea, sayang. De... Ak... Aku... maafin aku. Maafin aku. Aku ngga tau harus berbuat apa. Ibuku berharap aku segera menikah. Aku membawa nama keluarga. Aku ngga tau akan apa jadinya kalau keluargaku tau tentang kita. Maafin aku yang belum sanggup menanggung siksa moral dari cemoohan masyarakat kita. Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu! Tapi aku lemah. Apa yang harus kulakukan?"
"Sayang, kamu ngga salah. Ini memang sudah seharusnya. Kamu harus membahagiakan ibumu. Keluargamu takkan pernah mengerti kita. Ketahuilah, aku tetap mencintaimu. Selalu dan akan terus mencintaimu. Aku tetap di sini. Ngga kemana-mana. Aku akan selalu menjadi penghuni dunia bayang-bayang itu. Aku pasti akan selalu setia menjadi bayanganmu. Dimanapun kamu ada, aku ada di disitu."
"Dea... aku takut!!! Aku takut kamu ninggalin aku. Setelah aku menikah kita masih boleh ketemuan, kan??? Aku mungkin akan mati kalau tanpa hadirmu."
"Kan ada Roy, sayang. Dia mencintaimu dengan tulus.  Berbahagialah, ada dua makhluk Tuhan yang teramat sangat mengagumimu dan mencintaimu dengan ketulusan. Berbahagialah, sayang. Jangan nangis lagi."
"Kamu jangan pergi. Aku mohon."
"Iya, aku ngga pergi. Nanti, kamu bebas kapan aja main ke rumah aku. Aku selalu ada buatmu. Kapanpun kamu butuh, aku ada. Aku janji. Udah ah, aku ngga mau kamu nangis. Kan kamu yang ninggalin aku duluan. Hehehehe."
Mungkin Dea benar, aku adalah manusia yang sangat beruntung. Aku dicintai dan dijaga oleh ketulusan dua insan yang berbeda. Tapi seumur hidup aku harus menanggung siksa bathin ini. Setiap kali aku harus bercinta dengan Roy, ada bayangan Dea yang meracuni syarafku. Seketika itu pula aku tercekik dan sesak oleh rasa cinta yang gila ini. Dan setiap kali aku bercinta dengan Dea, bayangan Roy juga selalu hadir dalam ingatanku. Selalu begitu. Bayangan mereka, bayangan mereka selalu saja menghantui kemanapun aku pergi.
***
Bertahun-tahun aku menikah, rumah tanggaku berjalan lancar. Aku dan Roy dianugerahkan 3 orang anak. Kini anakku yang sulung sudah duduk di bangku SMA.  Roy dan aku semakin menua. Kami tidak lagi muda. Roy berhasil membahagiakan aku dan anak-anakku. Keluarga kami sangat harmonis. Aku bangga memiliki suami seperti Roy. Dan seiring berjalannya waktu, aku terlalu fokus pada keluarga kecilku. Tanpa kabar dari Dea. Kukira dia sudah melupakan aku. Akhirnya kuputskan untuk menutup lembaran kisah lama bersamanya. Tapi... ini tidak berarti aku melupakan Dea. Aku ingin tahu kabarnya. Dimana Dea? Sudah seperti apa dia sekarang? Apakah masih ada cinta di jiwanya untukku? Apakah Dea masih menjadi penghuni dunia bayang-bayang itu? Aku sangat merindukannya. Dea... Aku merindukanmu...
***
Mendadak aku ingin tahu kabar Dea. Aku rindu. Sejenak saja aku ingin memeluknya, lalu pergi. Aku ingin mendekapnya, merasakan hangat nafasnya. Aku rindu dia. Dea.
"Halo... Ini bener nomernya Agung?"
"Ya, siapa?"
"Agung! Hey! Ini aku, Cantik. Masih inget aku? Dulu kita sering nongkrong bareng! Aku, kamu, Dea, Alan, Mario."
"Kamu... pacarnya Dea dulu kan? Cantik! Wah dapet nomer aku darimana? Surprise banget kamu nelpon aku! Kamu sanggup yah, nikahan ngga ngundang kita-kita."
"Maafin aku, Gung. Kamu masih sama Alan? Apa kabar Alan?"
"Wah, masih Cantik. Kita tinggal serumah sekarang. Kamu... kamu ngga jengukin Dea?"
"Jenguk? Dea? Ini aku malah mau nanya ke kamu kabar Dea. Dea apa kabar? Dea sakit? Gung, serius!"
"Kamu ngga tau? Pantesan. Udah sebulan Dea di rumah sakit. Koma."
Tuttt...Tuttt... Tuttt...
Dea sakit? Koma? Shit!!! Lelucon apa ini? Mengapa di saat seperti ini aku tidak ada di sampingnya? Dulu, Dea selalu menjadi bayanganku. Menemani aku, kemanapun dan kapanpun, Dea setia. Aku meninggalkannya, dan kini Dea sakit. Aku tidak ada di sampingnya.
***
Innalillahi Wainnalilahi roji'un.
Belum sempat aku melihatnya. Dea pergi meninggalkan aku untuk selamanya. Semalam saja aku tahu mengenai keadaanya yang koma, Dea langsung pergi begitu saja. Tanpa kecupan, tanpa rengkuhan, tanpa desah nafasnya yang hangat. Dia pergi, tanpa pamit. Dea pergi! Dea meninggal! Dea meninggal!
***
Ini detik-detik tersakit dalam hidupku. Neraka yang sesungguhnya. Kupeluk Jenazah Dea, kuciumi seluruh wajahnya. Dingin. Dea! Deaaaaaaaaaa! Aku berteriak-teriak histeris. Menangis memeluknya. Mengguncang-guncangkan jenazah Dea yang kaku. Berharap ia mendengar dan bangun.
"Dea... bangun!!! Dea!!! Sayang!!! Deaaaaaaaaaaaaaaa!!!"
Kupeluk jenazah Dea yang tak lagi hangat seperti saat-saat dulu. Mata indahnya tak lagi teduhkan aku. Mata itu tertutup dan lenyap untuk selamanya. Dan nafasnya, nafas yang dulu menjadi nafasku. Kemana nafas harum itu? Mana?
"Deaaaaa... bangunnnn... bangun sayaaaaang! Ini aku dateeeeeng peluk kamu. Maafin aku! Maafin aku Deaaaaaa!"
***
"Alaaaaan... bangunin Dea! Bangunin Dea! Aaaarrrrrrggghhh! Bangunin Dea, laaaaaan"
"Udah ya, Cantik. Dea udah bahagia di sana."
"Lan, kasihin ini sama Cantik. Ini titipan Dea yang harus disampein ke Cantik."
Aku menerima sebuah tumpukan album, map, buku harian, dan file suara yang tersimpan di beberapa disc milik Dea. Kubuka lembar demi lembarnya, masih di lembar pertama air mataku sudah tumpah ruah. Banyak tulisan-tulisan Dea tentangku. Setiap hari. Hanya tentang aku. Di sana ada foto-foto ku, lengkap. Ini membuat dadaku seketika sesak! Kutemukan beberapa tulisan;
*
Hari ini Cantikku mengenakan gaun pengantin yang anggun. Bukan denganku. Tetapi aku tetap berbahagia untuknya. Ini cintaku.
*
Cantik kemana? Dia tak jua datang seperti janjinya sebelum menikah. Sudah sebulan ini aku tak mendengar suara riangnya. Hujan, aku rindu cantikku. Bawa dia pulang, Hujan.
*
Aku menguntitnya dari kejauhan. Hari ini kulihat Cantik di halamannya sedang menyiram tanaman-tanamannya. Dia tampak sangat bahagia.
*
Hatiku remuk! Melihat Cantik dipeluk mesra oleh lelaki itu. Tubuh ini kedinginan tanpa dekapannya. Cantik, kenapa kamu lupakan aku.
*
Hari ini aku menemani Cantik berbelanja baju-baju bayi dari kejauhan. Tetap saja dia tak sadar bahwa aku selalu ada di dekatnya.
*
Menjadi bayangan adalah takdirku. Untuk Cantik, aku rela menjadi apa saja. Termasuk menjadi bayangannya. Yang mengawasinya, menemani dalam kesetiaan, namun semu dan tak terjamah. Aku ini bayangan yang selalu menjaganya.
*
Cantik semakin tampak anggun. Membesarkan anak-anaknya yang lucu. Aku masih di sini, hidup salam dunia bayangan yang diciptakannya untukku. Aku selalu menemaninya, seperti janjiku.
*
Aku sakit kanker. Berapa lama lagi aku mampu menjaga Cantikku? Kenapa aku harus kalah dan gagal menjaganya lebih lama. Tuhan! Angkatlah penyakit ini. Aku masih harus menjaga Cantikku dari jauh.
*
Cantik, aku kesakitan. Kumohon, tenangkan sakitku. Peluk aku, Cantik. Kamu dimana? Kamu lupa aku masih di sini? Kamu lupa dengan janji cinta kita? Cantik. Aku semakin lemah.
*
Menjadi bayangan selamanya adalah tanda cintaku. Jika pun aku harus meninggal, dalam dunia baka pun ruh ku pasti akan selalu menjagamu. Cantik, aku mencintaimu.
*
Cantik, mungkin jasadku akan habis. Tapi jiwa dan ruh ku akan senantiasa bersemayam dalam dirimu. Saat kamu melihat bayanganmu, ingatlah bahwa itu aku. Aku yang tak akan pernah berlalu dari keberadaanmu. Kita pasti akan selalu bersama, seperti janji kita. Sekalipun kita takkan pernah menyatu. Aku akan selalu mencintaimu. Aku menjagamu dengan ikhlasku. Dengan cintaku.
*
...
Oleh: Putri (Nangbidok)
Medan, 160814

6 tinggalkan komentar:

Unknown Says:
16 Agustus 2014 pukul 11.15

:)

Unknown Says:
16 Agustus 2014 pukul 11.24

hanya senyuman?

Unknown Says:
16 Agustus 2014 pukul 23.00

Senyum itu lebih dalam maknanya :)

Unknown Says:
17 Agustus 2014 pukul 01.01

Aku juga ada rencana mau bikin kaya gini -.-

Unknown Says:
17 Agustus 2014 pukul 01.05

da ai ni. da ai dea. da ai.

Jejeph Says:
17 Agustus 2014 pukul 04.32

:)

Posting Komentar