0 Revisi Resensi
halooo...
lama sudah saya tidak menulis di blog ini... Tidak ada cukup waktu dan tenaga untuk menulis di sini... Tapi, bukan berarti saya tidak menulis... Saya punya note pribadi juga di rumah :) hehehe...
Kali ini saya ingin memposting revisi dari resensi saya sebelumnya...
Puji Sang Empunya Kehidupan!!! Resesnsi saya diterimaaaa :)
Ini tulisan pertamna saya yang dipublikasikan ke khalayak umum...
Berikut revisinya... :
Terdapat beberapa perubahan dalam penerbitan buku yang ke dua.
Perubahan tersebut dipaparkan langsung oleh penulis yang mencantumkan
penambahan beberapa poin pada pengantar yang berisi alasan mengapa
seorang wasnita tidak harus menikah menurut versinya. Walau tidak
banyak, perubahan tersebut cukup memberi warna baru bagi buku ini.
Covernya pun berganti. Penerbitan ke dua buku ini memakai sketsa yang
dibuat langsung oleh penulis. Selain yang sudah saya sebutkan, beberapa
kata ataupun kalimat mendapat perubahan mengikuti perkembangan masa
kini. Penyesusaian diharapkan mampu memberi
imajinasi yang kuat bagi para pembaca yang lahir pada masa yang jauh dari masanya saat menulis buku ini.
lama sudah saya tidak menulis di blog ini... Tidak ada cukup waktu dan tenaga untuk menulis di sini... Tapi, bukan berarti saya tidak menulis... Saya punya note pribadi juga di rumah :) hehehe...
Kali ini saya ingin memposting revisi dari resensi saya sebelumnya...
Puji Sang Empunya Kehidupan!!! Resesnsi saya diterimaaaa :)
Ini tulisan pertamna saya yang dipublikasikan ke khalayak umum...
Berikut revisinya... :
Judul Buku : Si Parasit Lajang
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Februari 2013
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Februari 2013
Pada
Februari 2013 kemarin, Kepustakaan Populer Gramedia menerbitkan kembali
buku Si Parasit Lajang karangan seorang penulis yang sangat fenomenal
setelah diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2003. Penerbitan pertama
buku ini benar-benar mendapat sambutan hangat dari para pembaca yang
menyukai tulisan-tulisan seorang Ayu Utami. Buku ini berisi autobiografi
miliknya yang mewakilkan suara hatinya sebagai seorang wanita lajang
yang tangguh.
imajinasi yang kuat bagi para pembaca yang lahir pada masa yang jauh dari masanya saat menulis buku ini.
Membaca lembar
demi lembar isi buku ini, tak ubahnya seperti membaca blog pribadi
seorang Ayu Utami. Materi tulisan kebanyakan diambil dari keseharian
milik penulis. Entah itu tentang pekerjaan, para sahabat, perjalanan,
pemikiran feminisnya dan tentang keputusannya untuk tidak menikah di
masa itu. Pilihan yang menjadi favorit saya, adalah cerita-cerita
bersama seorang teman setianya, Sahal. Benar-benar sangat alami. Banyak
percakapan yang dilakukannya dengan Sahal yang menggelitik hati nurani
saya dan membuat saya tersadar akan banyak hal.
Menurut saya pribadi,
tulisan-tulisan dan logika berpikir yang dipaparkan Ayu Utami pada buku
ini sangatlah menarik. Tulisan berjudul Parasit Lajang misalnya. Dalam
bab ini Ayu Utami menuliskan alasan penyebutan Parasit Lajang bagi
wanita yang memutuskan untuk tidak menikah. Ternyata penyebutan itu
didapat dari seorang feminis Jepang. Menurut Ayu Utami, yang
diambil dari riset temannya, kebanyakan perempuan Jepang yang karirnya
maju tidak menikah. Dan wanita demikian umumnya tetap menumpang di rumah
orang tua mereka, rumah yang tak perlu mereka pedulikan sebab
ada ibu yang mengerjakan itu, dan ayah yang tak rela membiarkan
gadisnya sendirian. Penulis menyebut makhluk seperti ini, barangkali
juga dirinya sendiri, single parasite (Parasit Lajang).
Tulisan
menarik lainnya juga ada pada bab Rocco Siffredi. Sebenarnya ini bab
tentang film porno, namun bagi saya tetap ada sebuah pemikiran menarik
yang didapat dari tulisan ini. Kapitalisme akan melihat manusia sebagai
pasar. Karena itu kebutuhannya harus dipenuhi. Memang, persoalannya
selera perempuan masih di bawah bentukan selera pria . Tapi, sekali
lagi, kapitalisme juga menyediakan jalan.
Saat ini sudah
mulai banyak produk kecantikan buat lelaki. Sabun dengan janji membuat
muka tidak berminyak. Obat jerawat. Susu sixpack. Banyak iklam mulai
mengeksplorasi sensualitas pria. Pria juga harus bagus, sebagaimana
selama ini perempuan dituntut. Tentu ini tidak adil bagi mereka yang
tidak memenuhi kriteria bagus pada jamannya. Tapi, demi strategi,
biarlah. Biar cowok-cowok itu tak seenaknya merasa berhak menilai
perempuan secara fisik. Mereka juga akan dinilai sebagai objek.
Tulisan-tulisan
Ayu Utami pada setiap babnya sangat frontal dan berani. Berbagai pesan
yang disampaikan juga sangat menggelitik. Hampir semua karyanya yang
dituang dari buku ini mengandung kebenaran. Fakta-fakta tersirat juga
dikuak dalam buku ini. Sangat cerdas. Meskipun penulis menyimpang dari
nilai-nilai adat, budaya, dan agama ketimuran, namun kekuatannya
berfikir dan bersikap kritid tak mengurangi harganya sebagai seorang
penulis permepuan yang cerdas. Sedikit ngotot dengan pendapatnya namun
penulis menggunakan gaya bahasa yang halus dan tidak dengan penuh emosi.
Dalam buku ini,
Ayu Utami menegaskan bahwa menikah adalah pilihan dan bukan merupakan
kewajiban, khususnya buat para wanita. Tidak ataupun belum menikah
bukanlah merupakan sebuah aib yang memalukan yang harus diratapi. Wanita
lajang yang sudah berumur tidak harus dikucilkan dan dirasa 'tidak
laku'. Sebab dengan menggunakan sebuah riset seorang temannya yang
merupakan wanita Jepang, dia mengatakan bahwa wanita lajang di Jepang
jauh lebih sukse dengan yang menikah. Jadi jelas bahwa harga wanita
single itu mahal.
Buku ini baik
sekali untuki menjadi bahan bacaan setiap wanita yang memilih untuk
tetap 'single' ,aupun beluim siap berhadapan dengan pernikahan. Para
wanita yang belum ata8upun tidak menikah dengan alasan apapun tidak
perlu merasa cemas dan minder dengan status yang mereka sandang. Pilihan
untuk tidak menikah bukanlah pilihan yang 'haram' sebenarnya. Tidak
sepatutnya wanita lajang itu merasa malu dan rendah diri. Melalui buku
ini, para wanita dapat lebih percaya diri dengan keberadaannya. Bahwa
wanita tidak lagi harus menerima begitu saja apa yang menjadi jalan
hidupnya mengenai statusnya sebagai wanita yang harus menjadi 'istri'
atau apapun. Wanita berhak memilih jalan hidupnya.
Nilai humanis
dan kebebasan memilih sangat ditonjolkan pada tulisan-tulisannya.
Perlindungan hak-hak wanita sebagai manusia sangat dibahsa dan mendapat
banyak proteksi dari penulis yang juga sangat getol mengkampanyekan
tentang ideologi-ideologi feminisnya. Byuku ini perlu menjadi bacaan
para pria juga agar cara berpikir pria dapat lebigh 'open minded'. Pria
harusnya melindungi wanita dan bukan menjadikan wanita sebagai objek dan
memainkannya.
Ayu
Utami menyadarkan dan mengetuk hati nurani kita dengan sangat lantang
tentang hasil aplikatif yang realistis mengenai nilai-nilai dan
pelajaran mengenai agama yang menhikat kita. Ditegaskan dalam kutipannya
berikut ini: “Saya teringat seorang teman. Dia pria,
sudah menikah, dan punya pacar lagi. Si pacar mau bersetubuh dengan dia
tetapi dia hanya mau jika mereka menikah. Saya bilang, “Kenapa tidak
berzinah saja?” Ia jawab, “Nanti Tuhan menangis.” Saya katakan lagi,
“Kenapa kamu memilih menyakiti istrimu, pihak yang le
Benar-benar buku yang
sangat cerdas. Kemampuan berbahasa Ayu Utami sangat membantunya untuk
membuat buku ini tidak terasa berat. Keberpihakannya kepada kaum feminis
juga tidak terlalu mencolok dan memojokkan kaum pria. Ayu memang
mengangkat sisi kekuatan dari seorang wanita lajang yang berkomitmen
untuk hidup secara bebas, namun ia juga tidak ‘menjatuhkan’ para pria
yang cenderung menjadi syarat utama wanita untuk bahagia.
Kelemahan dari
buku ini ialah sulit diterima oleh beberapa golongan yang bertentangan
dengan kaum feminis. Buku ini sebenarnya dapat dibaca oleh semua
golongan, hanya saja tentu sulit. Mengapa? Banyak ideologi-ideologi
ataupun pandangan yang sangat jauh berbeda dari yang kebanyakan yang
diungkap di sini. Sehingga pandangan tersebut terpojok oleh keadaan pada
umumnya. Soalnya Ayu Utami telah menembus zona nyaman keterikatan
seorang wanita pada nilai-nilai kuno yang kaku. . Selain itu, adat,
budaya, dan agama yang masih dalam area ketimuran sangat-sangat
di'terobosnya' lewat begoitu saja. Lawannya adalah mereka yang
mengagungkan nilai-nilai itu semua. Namun, apa yang telah disampaikan
penulis sebenarnya sangat benar. Ayu Utami sangat berani dan kritis. Ayu Utami adalah Kartini reformasi bagi saya
2 Resensi : Si Parasit Lajang (Ayu Utami)
Hai sahabat, kali ini saya mulai belajar meresensi sebuah buku. Awalnya saya terinspirasi oleh sebuah tawaran yang berasal dari seorang senior saya untuk menulis di rubrik 'resensi' majalah yang dikelola oleh beliau. Sebenarnya saya diminta untuk meresensi 'Gadis Pantai' karya Pram, namun karena ada kesalahan komunikasi di antara kami, resensi novel tersebut ternyata sudah pernah terbit. Dengan deadline satu hari lagi, saya dipaksa untuk meresensi buku lain yang baru saya baca. Setelah bingung mencari, saya menjatuhkan pilihan pada buku karangan Ayu Utami, Si Parasit Lajang. Berikut resensi saya :
Judul Buku : Si Parasit Lajang
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Februari 2013
Kali ini saya sangat
tertarik untuk meresensi buku karangan Ayu Utami yang berjudul ‘Si Parasit
Lajang’. Pada Februari 2013 kemarin, Kepustakaan Populer Gramedia menerbitkan
kembali buku ini setelah diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2003.
Penerbitan pertama oleh Gagas Media mendapat sambutan hangat dari para pembaca
yang menyukai tulisan-tulisan seorang Ayu Utami.
Buku
‘Si Parasit Lajang’ yang kembali diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia
ini memiliki beberapa perubahan (baik penambahan dan pengurangan) pada beberapa
isinya. Salah satu yang sangat menonjol adalah beberapa alasan penulis mengapa
ia memilih untuk tidak menikah pada saat menulis buku ini. Perubahan lain yang
tampak jelas terletak pada cover. Untuk terbitan tahun 2013 ini, Ayu Utami
menciptakan sketsanya sendiri untuk cover buku ‘Si Parasit Lajang’.
Saat membaca buku ini,
tak ubahnya seperti membaca blog pribadi Ayu Utami. Materi tulisan kebanyakan
diambil dari keseharian penulis. Entah itu tentang pekerjaan, para sahabat,
perjalanan, pemikiran feminisnya dan tentang keputusannya untuk tidak menikah
di masa itu. Pilihan yang menjadi favorit saya, adalah cerita-cerita
bersama seorang teman setianya, Sahal.
Menurut saya pribadi, tulisan-tulisan dan logika berpikir yang
dipaparkan Ayu Utami pada buku ini sangatlah menarik. Tulisan berjudul Parasit
Lajang misalnya. Dalam bab ini Ayu Utami menuliskan alasan penyebutan Parasit
Lajang bagi wanita yang memutuskan untuk tidak menikah. Ternyata penyebutan itu
didapat dari seorang feminis Jepang.
Menurut Ayu Utami, yang
diambil dari riset temannya, kebanyakan perempuan Jepang yang karirnya maju
tidak menikah. Dan wanita demikian umumnya tetap menumpang di rumah orang tua
mereka, rumah yang tak perlu mereka pedulikan sebab ada ibu yang mengerjakan itu,
dan ayah yang tak rela membiarkan gadisnya sendirian. Penulis menyebut makhluk seperti ini, barangkali juga
dirinya sendiri, single parasite (Parasit
Lajang).
Tulisan menarik
lainnya juga ada pada bab Rocco Siffredi. Sebenarnya ini bab tentang film
porno, namun bagi saya tetap ada sebuah pemikiran menarik yang didapat dari
tulisan ini. Kapitalisme akan melihat manusia sebagai pasar. Karena itu
kebutuhannya harus dipenuhi. Memang, persoalannya selera perempuan masih di
bawah bentukan selera pria . Tapi, sekali lagi, kapitalisme juga menyediakan
jalan.
Saat ini sudah
mulai banyak produk kecantikan buat lelaki. Sabun dengan janji membuat muka
tidak berminyak. Obat jerawat. Susu sixpack. Banyak iklam mulai mengeksplorasi
sensualitas pria. Pria juga harus bagus, sebagaimana selama ini perempuan
dituntut. Tentu ini tidak adil bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria bagus
pada jamannya. Tapi, demi strategi, biarlah. Biar cowok-cowok itu tak seenaknya
merasa berhak menilai perempuan secara fisik. Mereka juga akan dinilai sebagai
objek.
Tulisan-tulisan Ayu
Utami pada setiap babnya sangat frontal dan berani. Berbagai pesan yang
disampaikan juga sangat menggelitik. Hampir semua karyanya yang dituang dari
buku ini mengandung kebenaran. Fakta-fakta tersirat juga dikuak dalam buku ini.
Sangat cerdas.
Bahasa yang
digunakan juga sangat mudah dipahami. Sehingga membuat pembaca seolah sedang
bertatap muka dengan penulis. Tidak bertele-tele, singkat, lugas, dan padat
adalah gaya menulis Ayu Utami yang dituangkan di sini. Keberpihakannya kepada
kaum feminis juga tidak terlalu mencolok dan memojokkan kaum pria. Ayu memang
mengangkat sisi kekuatan dari seorang wanita lajang yang berkomitmen untuk
hidup secara bebas, namun ia juga tidak ‘menjatuhkan’ para pria yang cenderung
menjadi syarat utama wanita untuk bahagia.
Kelemahan dari buku
ini ialah sulit diterima oleh beberapa golongan yang bertentangan dengan kaum
feminis. Buku ini sebenarnya dapat dibaca oleh semua golongan, hanya saja tentu
sulit. Mengapa? Banyak ideologi-ideologi ataupun pandangan yang sangat jauh
berbeda dari yang kebanyakan yang diungkap di sini. Sehingga pandangan tersebut
terpojok oleh keadaan pada umumnya. Soalnya Ayu Utami telah menembus zona
nyaman keterikatan seorang wanita pada nilai-nilai kuno yang kaku. Ayu Utami
adalah Kartini reformasi bagi saya.
oleh : Bernadette Putri Amelia (puu)
@BernPutriA
oleh : Bernadette Putri Amelia (puu)
@BernPutriA
0 kuGILAi malam
Setiap menjelang malam, selalu saja aku riang. Enggan terlelap. Kucintai malam yang teduh ini. Hanya di sini, aku merasakan kedamaian yang menenangkan. Malam membalutku dengan sangat damai. Tak akan. Tak akan kulewati malam ini dengan tergesa-gesa.
Sebenarnya lelah. Namun, mata dan jiwa enggan beristirahat. Kulewati jam-jam istirahat dengan diam. Di saat semua orang terlelap dalam mimpi mereka, aku masih di sini duduk termenung menikmati keteduhan malam. Ini bukan penyakit. Bukan juga ikut-ikutan trend. Tapi menurutku, inilah passion.
Tak dapat kujelaskan mengapa aku sangat menggilai malam. Walaupun mataku membengkak akibat kurang tidur, namun semuanya tak menjadi begitu berarti. Malam membuatku tenang. Mata yang merah, wajah yang sembab, tetap tertutupi dengan teduhnya rasaku.
Memang aneh kalau dipikir-pikir. Semuanya terasa percuma. Sia-sia. Tapi di sinilah letak kenikmatan itu. Damainya malam, tak dapat digantikan dengan apapun. Aku betah di sini. Dengan sendiriku aku bebas.
0 nyawa ( kosong )
Menulis dengan nyawa.
Kalimat itu
memaksaku untuk terus merenung. Saat aku membaca sebuah buku ‘best seller’
milik salah seorang tokoh penulis yang terkenal di Indonesia. Aku tahu tapi
sesungguhnya aku tak memahaminya. ‘kamu hanya menulis dengan serangkaian kata
yang kamu pilih. Bagus, namun tak bernyawa’ Mirip sekali. Ya, kalimat yang ada
di buku yang kubaca sama persisnya dengan sebuah komentar yang aku terima dari
seseorang yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Entah aku ini terlalu
berlebihan menyebut orang itu demikian, namun begitulah yang kurasakan. Dia
membawaku terbang bebas. Memaknai hidup dengan keaslian. Kurasa dia sangat
hebat dalam menilai sesuatu. Dia benar, aku sendiri mengakui itu. Aku seperti
kehilangan nyawa. Yang aku sadari bahwa nyawa itu hanya datang jika aku menulis
secara jujur. Menggambar isi hati dengan kata-kata yang polos. Mengalir. Tanpa
harus takut salah. ‘Nyawa...’ gumamku dalam hati. Masih dalam posisi telentang
aku menghadap langit-langit kamarku. Diam sejenak lalu mulai menelusuri ingatan
demi ingatan terdahulu. Aku masuk ke dalam rekaman-rekaman histori perjalanan
hidupku. Banyak sekali. Sampai-sampai aku hampir melupakan sebagian dari apa
yang pernah aku lewati. Kisah demi kisah kubaca abstrak dalam memori otakku.
Seperti sedang menonton film, aku menonton diriku sendiri. Di sana, di alam ingatan
itu. Aku menemukan nyawa. Banyak kejujuran yang semakin terkikis oleh tuntutan
keadaan. Nyawa itu, kejujuranku menjalani hidup. Kejujuran yang kumaksud adalah
keberanianku menyuarakan inginku. Cita-cita, hobi, minat, bakat, dan usahaku
untuk mereka. Saat aku menjadi diriku sendiri. Bersahabat dengan mereka.
Berkelakar dalam imajinasi di luar nalar manusia. Duniaku, tempat dimana aku
bebas mengekspresikan segalaku. Tanpa harus menjadi siapa agar apa. Aku, dulu
di duniaku bersama dengan kejujuranku. Kini, aku sendiripun merasa, nyawaku
hilang terbang. Hari demi hari bergulir dengan biasanya. Tak ada minat, hasrat,
dan rasa antusias. Semua terjadi saja dengan seadanya. Mengalir seperti air
yang akhirnya akan bermuara ke laut. Diam, tenggelam, dan lenyap. Belum sampai
aku di sana. Masih dalam perjalanan terhanyut dalam arusnya. Aku belum lenyap.
Tersadar dalam diam, bantalku basah. Airmata menggenangi sudut kiri dan kanan
mataku. Mereka membasahi pipi kanan dan kiri lalu tumpah terserap oleh kain
bantal merah jambu milikku. Aku menghela nafas panjang, lalu tersendat
membuangnya. ‘Dimana nyawa itu’ aku bergumam. Hatiku seolah berbicara. ‘Dia di
sini. Segera temukan dia. Kau mampu’ Seperti berdialog dengan seorang kawan,
aku berdialog dengan diriku sendiri, suara hatiku. ‘Apakah aku mampu?’ Ya, aku
tak yakin apakah aku akan mampu kembali menjadi aku yang ‘bernyawa’. Dikte dan
larangan sudah terlalu tebal menutupi hasrat ini. Tekanan dan ketakutan biasa
menghujaniku. Keterbatasan dan keadaan membuatku harus berpikir realistis. Keadaan
yang memaksa tunduk kepada realita. Apa itu realita? Sebegitu kejamnyakah
hingga ia merampas nyawaku? Aku hidup, tapi dalam kekosongan. Semua merupakan
paksaan. Semua ini paksaan! Aku harus menjadi itu karena supaya aku bagaimana.
Aku harus begini supaya aku begitu. Hal terburuk yang menjadi dampaknya adalah
aku. Aku yang sekarang ini. Aku yang biasa dengan dikte dan kekangan. Aku yang
terkekang dengan batasan realita. Bermimpi setinggi langit-langit kamarku pun
aku takut. Takut terjatuh dan merasakan sakit. Dimana semua mimpi-mimpiku?
Kejujuranku menjadi diriku sendiri, kini hilang. Lenyap. Perjalananku hanya
sebuah kebohongan. Aku bukanlah diriku. Kini, aku masih menjadi aku yang
memaksa mencoba menjadi siapa. Berlaku demikian supaya apa dan bagaimana.
Terpaksa, untuk menyenangkan hati-hati mereka yang inginkan aku begini begitu.
Keadaan. Salah satunya adalah keadaan selain orang tuaku. Realita ini begitu
kejam sampai-sampai dia merampas nyawaku. Jangan salahkan aku, aku kini hilang
hasrat. Menjalani semuanya hanya demi menjalankan kewajiban. Demi memuaskan
orang lain. Bukan memuaskanku. Dalam keadaan masih terlentang, aku menutup
mataku yang terasa perih akibat menagis terlalu lama, lalu kembali menghela
nafas panjang. Aku bangkit perlahan dan mengambil langkah kecil kearah cermin.
Aku melihat wajahku. Tanpa ekspresi, datar. Kusoroti kedua mata yang adalah
mataku. Kulihat kedalam, dalam, dalam, aku mendapatinya. Terlalu jauh. Nyawa ku
sudah terlalu jauh tertanam di sana. Jauh. Terlalu lelah untuk mengambilnya
kembali. Biarlah aku menjadi diriku ini yang entah siapa. Agar aku dapat
menjadi apa dan bagaimana. Dan hasratku, biarkan kujamah mereka dalam diamku,
kekosonganku. Aku (terpaksa) bahagia. Bahagia dalam diri yang lain. Siapa yang
akan menjadi apa. Aku yang berbeda dengan aku yang terdahulu.