0 Revisi Resensi

22 Juni 2013
halooo...
lama sudah saya tidak menulis di blog ini... Tidak ada cukup waktu dan tenaga untuk menulis di sini... Tapi, bukan berarti saya tidak menulis... Saya punya note pribadi juga di rumah :) hehehe...

Kali ini saya ingin memposting revisi dari resensi saya sebelumnya...
Puji Sang Empunya Kehidupan!!! Resesnsi saya diterimaaaa :)
Ini tulisan pertamna saya yang dipublikasikan ke khalayak umum...
Berikut revisinya... :

Judul Buku : Si Parasit Lajang
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Februari 2013
Pada Februari 2013 kemarin, Kepustakaan Populer Gramedia menerbitkan kembali buku Si Parasit Lajang karangan seorang penulis yang sangat fenomenal setelah diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2003. Penerbitan pertama buku ini benar-benar mendapat sambutan hangat dari para pembaca yang menyukai tulisan-tulisan seorang Ayu Utami. Buku ini berisi autobiografi miliknya yang mewakilkan suara hatinya sebagai seorang wanita lajang yang tangguh.

            Terdapat beberapa perubahan dalam penerbitan buku yang ke dua. Perubahan tersebut dipaparkan langsung oleh penulis yang mencantumkan penambahan beberapa poin pada pengantar yang berisi alasan mengapa seorang wasnita tidak harus menikah menurut versinya. Walau tidak banyak, perubahan tersebut cukup memberi warna baru bagi buku ini. Covernya pun berganti. Penerbitan ke dua buku ini memakai sketsa yang dibuat langsung oleh penulis. Selain yang sudah saya sebutkan, beberapa kata ataupun kalimat mendapat perubahan mengikuti perkembangan masa kini. Penyesusaian diharapkan mampu memberi 
imajinasi yang kuat bagi para pembaca yang lahir pada masa yang jauh dari masanya saat menulis buku ini. 

Membaca lembar demi lembar isi buku ini, tak ubahnya seperti membaca blog pribadi seorang Ayu Utami. Materi tulisan kebanyakan diambil dari keseharian milik penulis. Entah itu tentang pekerjaan, para sahabat, perjalanan, pemikiran feminisnya dan tentang keputusannya untuk tidak menikah di masa itu.  Pilihan yang menjadi favorit saya, adalah cerita-cerita bersama seorang teman setianya, Sahal. Benar-benar sangat alami. Banyak percakapan yang dilakukannya dengan Sahal yang menggelitik hati nurani saya dan membuat saya tersadar akan banyak hal.

Menurut saya pribadi, tulisan-tulisan dan logika berpikir yang dipaparkan Ayu Utami pada buku ini sangatlah menarik. Tulisan berjudul Parasit Lajang misalnya. Dalam bab ini Ayu Utami menuliskan alasan penyebutan Parasit Lajang bagi wanita yang memutuskan untuk tidak menikah. Ternyata penyebutan itu didapat dari seorang feminis Jepang. Menurut Ayu Utami, yang diambil dari riset temannya, kebanyakan perempuan Jepang yang karirnya maju tidak menikah. Dan wanita demikian umumnya tetap menumpang di rumah orang tua mereka, rumah yang tak perlu mereka pedulikan sebab ada ibu yang mengerjakan itu, dan ayah yang tak rela membiarkan gadisnya sendirian. Penulis  menyebut makhluk seperti ini, barangkali juga dirinya sendiri, single parasite (Parasit Lajang).
 Tulisan menarik lainnya juga ada pada bab Rocco Siffredi. Sebenarnya ini bab tentang film porno, namun bagi saya tetap ada sebuah pemikiran menarik yang didapat dari tulisan ini. Kapitalisme akan melihat manusia sebagai pasar. Karena itu kebutuhannya harus dipenuhi. Memang, persoalannya selera perempuan masih di bawah bentukan selera pria . Tapi, sekali lagi, kapitalisme juga menyediakan jalan.

Saat ini sudah mulai banyak produk kecantikan buat lelaki. Sabun dengan janji membuat muka tidak berminyak. Obat jerawat. Susu sixpack. Banyak iklam mulai mengeksplorasi sensualitas pria. Pria juga harus bagus, sebagaimana selama ini perempuan dituntut. Tentu ini tidak adil bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria bagus pada jamannya. Tapi, demi strategi, biarlah. Biar cowok-cowok itu tak seenaknya merasa berhak menilai perempuan secara fisik. Mereka juga akan dinilai sebagai objek.

Tulisan-tulisan Ayu Utami pada setiap babnya sangat frontal dan berani. Berbagai pesan yang disampaikan juga sangat menggelitik. Hampir semua karyanya yang dituang dari buku ini mengandung kebenaran. Fakta-fakta tersirat juga dikuak dalam buku ini. Sangat cerdas. Meskipun penulis menyimpang dari nilai-nilai adat, budaya, dan agama ketimuran, namun kekuatannya berfikir dan bersikap kritid tak mengurangi harganya sebagai seorang penulis permepuan yang cerdas. Sedikit ngotot dengan pendapatnya namun penulis menggunakan gaya bahasa yang halus dan tidak dengan penuh emosi.

Dalam buku ini, Ayu Utami menegaskan bahwa menikah adalah pilihan dan bukan merupakan kewajiban, khususnya buat para wanita. Tidak ataupun belum menikah bukanlah merupakan sebuah aib yang memalukan yang harus diratapi. Wanita lajang yang sudah berumur tidak harus dikucilkan dan dirasa 'tidak laku'. Sebab dengan menggunakan sebuah riset seorang temannya yang merupakan wanita Jepang, dia mengatakan bahwa wanita lajang di Jepang jauh lebih sukse dengan yang menikah. Jadi jelas bahwa harga wanita single itu mahal.

Buku ini baik sekali untuki menjadi bahan bacaan setiap wanita yang memilih untuk tetap 'single' ,aupun beluim siap berhadapan dengan pernikahan. Para wanita yang belum ata8upun tidak menikah dengan alasan apapun tidak perlu merasa cemas dan minder dengan status yang mereka sandang. Pilihan untuk tidak menikah bukanlah pilihan yang 'haram' sebenarnya. Tidak sepatutnya wanita lajang itu merasa malu dan rendah diri. Melalui buku ini, para wanita dapat lebih percaya diri dengan keberadaannya. Bahwa wanita tidak lagi harus menerima begitu saja apa yang menjadi jalan hidupnya mengenai statusnya sebagai wanita yang harus menjadi 'istri' atau apapun. Wanita berhak memilih jalan hidupnya. 
Nilai humanis dan kebebasan memilih sangat ditonjolkan pada tulisan-tulisannya. Perlindungan hak-hak wanita sebagai manusia sangat dibahsa dan mendapat banyak proteksi dari penulis yang juga sangat getol mengkampanyekan tentang ideologi-ideologi feminisnya.  Byuku ini perlu menjadi bacaan para pria juga agar cara berpikir pria dapat lebigh 'open minded'. Pria harusnya melindungi wanita dan bukan menjadikan wanita sebagai objek dan memainkannya.

Ayu Utami menyadarkan dan mengetuk hati nurani kita dengan sangat lantang tentang hasil aplikatif yang realistis mengenai nilai-nilai dan pelajaran mengenai agama yang menhikat kita. Ditegaskan dalam kutipannya berikut ini: “Saya teringat seorang teman. Dia pria, sudah menikah, dan punya pacar lagi. Si pacar mau bersetubuh dengan dia tetapi dia hanya mau jika mereka menikah. Saya bilang, “Kenapa tidak berzinah saja?” Ia jawab, “Nanti Tuhan menangis.” Saya katakan lagi, “Kenapa kamu memilih menyakiti istrimu, pihak yang le

Benar-benar buku yang sangat cerdas. Kemampuan berbahasa Ayu Utami sangat membantunya untuk membuat buku ini tidak terasa berat. Keberpihakannya kepada kaum feminis juga tidak terlalu mencolok dan memojokkan kaum pria. Ayu memang mengangkat sisi kekuatan dari seorang wanita lajang yang berkomitmen untuk hidup secara bebas, namun ia juga tidak ‘menjatuhkan’ para pria yang cenderung menjadi syarat utama wanita untuk bahagia.

Kelemahan dari buku ini ialah sulit diterima oleh beberapa golongan yang bertentangan dengan kaum feminis. Buku ini sebenarnya dapat dibaca oleh semua golongan, hanya saja tentu sulit. Mengapa? Banyak ideologi-ideologi ataupun pandangan yang sangat jauh berbeda dari yang kebanyakan yang diungkap di sini. Sehingga pandangan tersebut terpojok oleh keadaan pada umumnya. Soalnya Ayu Utami telah menembus zona nyaman keterikatan seorang wanita pada nilai-nilai kuno yang kaku. . Selain itu, adat, budaya, dan agama yang masih dalam area ketimuran sangat-sangat di'terobosnya' lewat begoitu saja. Lawannya adalah mereka yang mengagungkan nilai-nilai itu semua. Namun, apa yang telah disampaikan penulis sebenarnya sangat benar. Ayu Utami sangat berani dan kritis. Ayu Utami adalah Kartini reformasi bagi saya

2 Resensi : Si Parasit Lajang (Ayu Utami)

10 Juni 2013
Hai sahabat, kali ini saya mulai belajar meresensi sebuah buku. Awalnya saya terinspirasi oleh sebuah tawaran yang berasal dari seorang senior saya untuk menulis di rubrik 'resensi' majalah yang dikelola oleh beliau. Sebenarnya saya diminta untuk meresensi 'Gadis Pantai' karya Pram, namun karena ada kesalahan komunikasi di antara kami, resensi novel tersebut ternyata sudah pernah terbit. Dengan deadline satu hari lagi, saya dipaksa untuk meresensi buku lain yang baru saya baca. Setelah bingung mencari, saya menjatuhkan pilihan pada buku karangan Ayu Utami, Si Parasit Lajang. Berikut resensi saya :


Judul Buku : Si Parasit Lajang
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Februari 2013

Kali ini saya sangat tertarik untuk meresensi buku karangan Ayu Utami yang berjudul ‘Si Parasit Lajang’. Pada Februari 2013 kemarin, Kepustakaan Populer Gramedia menerbitkan kembali buku ini setelah diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2003. Penerbitan pertama oleh Gagas Media mendapat sambutan hangat dari para pembaca yang menyukai tulisan-tulisan seorang Ayu Utami.
            Buku ‘Si Parasit Lajang’ yang kembali diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia ini memiliki beberapa perubahan (baik penambahan dan pengurangan) pada beberapa isinya. Salah satu yang sangat menonjol adalah beberapa alasan penulis mengapa ia memilih untuk tidak menikah pada saat menulis buku ini. Perubahan lain yang tampak jelas terletak pada cover. Untuk terbitan tahun 2013 ini, Ayu Utami menciptakan sketsanya sendiri untuk cover buku ‘Si Parasit Lajang’.
Saat membaca buku ini, tak ubahnya seperti membaca blog pribadi Ayu Utami. Materi tulisan kebanyakan diambil dari keseharian penulis. Entah itu tentang pekerjaan, para sahabat, perjalanan, pemikiran feminisnya dan tentang keputusannya untuk tidak menikah di masa itu.  Pilihan yang menjadi favorit saya, adalah cerita-cerita bersama seorang teman setianya, Sahal.
Menurut saya pribadi, tulisan-tulisan dan logika berpikir yang dipaparkan Ayu Utami pada buku ini sangatlah menarik. Tulisan berjudul Parasit Lajang misalnya. Dalam bab ini Ayu Utami menuliskan alasan penyebutan Parasit Lajang bagi wanita yang memutuskan untuk tidak menikah. Ternyata penyebutan itu didapat dari seorang feminis Jepang.
Menurut Ayu Utami, yang diambil dari riset temannya, kebanyakan perempuan Jepang yang karirnya maju tidak menikah. Dan wanita demikian umumnya tetap menumpang di rumah orang tua mereka, rumah yang tak perlu mereka pedulikan sebab ada ibu yang mengerjakan itu, dan ayah yang tak rela membiarkan gadisnya sendirian. Penulis  menyebut makhluk seperti ini, barangkali juga dirinya sendiri, single parasite (Parasit Lajang).
Tulisan menarik lainnya juga ada pada bab Rocco Siffredi. Sebenarnya ini bab tentang film porno, namun bagi saya tetap ada sebuah pemikiran menarik yang didapat dari tulisan ini. Kapitalisme akan melihat manusia sebagai pasar. Karena itu kebutuhannya harus dipenuhi. Memang, persoalannya selera perempuan masih di bawah bentukan selera pria . Tapi, sekali lagi, kapitalisme juga menyediakan jalan.
Saat ini sudah mulai banyak produk kecantikan buat lelaki. Sabun dengan janji membuat muka tidak berminyak. Obat jerawat. Susu sixpack. Banyak iklam mulai mengeksplorasi sensualitas pria. Pria juga harus bagus, sebagaimana selama ini perempuan dituntut. Tentu ini tidak adil bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria bagus pada jamannya. Tapi, demi strategi, biarlah. Biar cowok-cowok itu tak seenaknya merasa berhak menilai perempuan secara fisik. Mereka juga akan dinilai sebagai objek.
Tulisan-tulisan Ayu Utami pada setiap babnya sangat frontal dan berani. Berbagai pesan yang disampaikan juga sangat menggelitik. Hampir semua karyanya yang dituang dari buku ini mengandung kebenaran. Fakta-fakta tersirat juga dikuak dalam buku ini. Sangat cerdas.
Bahasa yang digunakan juga sangat mudah dipahami. Sehingga membuat pembaca seolah sedang bertatap muka dengan penulis. Tidak bertele-tele, singkat, lugas, dan padat adalah gaya menulis Ayu Utami yang dituangkan di sini. Keberpihakannya kepada kaum feminis juga tidak terlalu mencolok dan memojokkan kaum pria. Ayu memang mengangkat sisi kekuatan dari seorang wanita lajang yang berkomitmen untuk hidup secara bebas, namun ia juga tidak ‘menjatuhkan’ para pria yang cenderung menjadi syarat utama wanita untuk bahagia.

Kelemahan dari buku ini ialah sulit diterima oleh beberapa golongan yang bertentangan dengan kaum feminis. Buku ini sebenarnya dapat dibaca oleh semua golongan, hanya saja tentu sulit. Mengapa? Banyak ideologi-ideologi ataupun pandangan yang sangat jauh berbeda dari yang kebanyakan yang diungkap di sini. Sehingga pandangan tersebut terpojok oleh keadaan pada umumnya. Soalnya Ayu Utami telah menembus zona nyaman keterikatan seorang wanita pada nilai-nilai kuno yang kaku. Ayu Utami adalah Kartini reformasi bagi saya.

oleh : Bernadette Putri Amelia (puu)
@BernPutriA

0 kuGILAi malam

1 Juni 2013
Setiap menjelang malam, selalu saja aku riang. Enggan terlelap. Kucintai malam yang teduh ini. Hanya di sini, aku merasakan kedamaian yang menenangkan. Malam membalutku dengan sangat damai. Tak akan. Tak akan kulewati malam ini dengan tergesa-gesa.

Sebenarnya lelah. Namun, mata dan jiwa enggan beristirahat. Kulewati jam-jam istirahat dengan diam. Di saat semua orang terlelap dalam mimpi mereka, aku masih di sini duduk termenung menikmati keteduhan malam. Ini bukan penyakit. Bukan juga ikut-ikutan trend. Tapi menurutku, inilah passion.

Tak dapat kujelaskan mengapa aku sangat menggilai malam. Walaupun mataku membengkak akibat kurang tidur, namun semuanya tak menjadi begitu berarti. Malam membuatku tenang. Mata yang merah, wajah yang sembab, tetap tertutupi dengan teduhnya rasaku.

Memang aneh kalau dipikir-pikir. Semuanya terasa percuma. Sia-sia. Tapi di sinilah letak kenikmatan itu. Damainya malam, tak dapat digantikan dengan apapun. Aku betah di sini. Dengan sendiriku aku bebas.

0 nyawa ( kosong )

Menulis dengan nyawa.
Kalimat itu memaksaku untuk terus merenung. Saat aku membaca sebuah buku ‘best seller’ milik salah seorang tokoh penulis yang terkenal di Indonesia. Aku tahu tapi sesungguhnya aku tak memahaminya. ‘kamu hanya menulis dengan serangkaian kata yang kamu pilih. Bagus, namun tak bernyawa’ Mirip sekali. Ya, kalimat yang ada di buku yang kubaca sama persisnya dengan sebuah komentar yang aku terima dari seseorang yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Entah aku ini terlalu berlebihan menyebut orang itu demikian, namun begitulah yang kurasakan. Dia membawaku terbang bebas. Memaknai hidup dengan keaslian. Kurasa dia sangat hebat dalam menilai sesuatu. Dia benar, aku sendiri mengakui itu. Aku seperti kehilangan nyawa. Yang aku sadari bahwa nyawa itu hanya datang jika aku menulis secara jujur. Menggambar isi hati dengan kata-kata yang polos. Mengalir. Tanpa harus takut salah. ‘Nyawa...’ gumamku dalam hati. Masih dalam posisi telentang aku menghadap langit-langit kamarku. Diam sejenak lalu mulai menelusuri ingatan demi ingatan terdahulu. Aku masuk ke dalam rekaman-rekaman histori perjalanan hidupku. Banyak sekali. Sampai-sampai aku hampir melupakan sebagian dari apa yang pernah aku lewati. Kisah demi kisah kubaca abstrak dalam memori otakku. Seperti sedang menonton film, aku menonton diriku sendiri. Di sana, di alam ingatan itu. Aku menemukan nyawa. Banyak kejujuran yang semakin terkikis oleh tuntutan keadaan. Nyawa itu, kejujuranku menjalani hidup. Kejujuran yang kumaksud adalah keberanianku menyuarakan inginku. Cita-cita, hobi, minat, bakat, dan usahaku untuk mereka. Saat aku menjadi diriku sendiri. Bersahabat dengan mereka. Berkelakar dalam imajinasi di luar nalar manusia. Duniaku, tempat dimana aku bebas mengekspresikan segalaku. Tanpa harus menjadi siapa agar apa. Aku, dulu di duniaku bersama dengan kejujuranku. Kini, aku sendiripun merasa, nyawaku hilang terbang. Hari demi hari bergulir dengan biasanya. Tak ada minat, hasrat, dan rasa antusias. Semua terjadi saja dengan seadanya. Mengalir seperti air yang akhirnya akan bermuara ke laut.  Diam, tenggelam, dan lenyap. Belum sampai aku di sana. Masih dalam perjalanan terhanyut dalam arusnya. Aku belum lenyap. Tersadar dalam diam, bantalku basah. Airmata menggenangi sudut kiri dan kanan mataku. Mereka membasahi pipi kanan dan kiri lalu tumpah terserap oleh kain bantal merah jambu milikku. Aku menghela nafas panjang, lalu tersendat membuangnya. ‘Dimana nyawa itu’ aku bergumam. Hatiku seolah berbicara. ‘Dia di sini. Segera temukan dia. Kau mampu’ Seperti berdialog dengan seorang kawan, aku berdialog dengan diriku sendiri, suara hatiku. ‘Apakah aku mampu?’ Ya, aku tak yakin apakah aku akan mampu kembali menjadi aku yang ‘bernyawa’. Dikte dan larangan sudah terlalu tebal menutupi hasrat ini. Tekanan dan ketakutan biasa menghujaniku. Keterbatasan dan keadaan membuatku harus berpikir realistis. Keadaan yang memaksa tunduk kepada realita. Apa itu realita? Sebegitu kejamnyakah hingga ia merampas nyawaku? Aku hidup, tapi dalam kekosongan. Semua merupakan paksaan. Semua ini paksaan! Aku harus menjadi itu karena supaya aku bagaimana. Aku harus begini supaya aku begitu. Hal terburuk yang menjadi dampaknya adalah aku. Aku yang sekarang ini. Aku yang biasa dengan dikte dan kekangan. Aku yang terkekang dengan batasan realita. Bermimpi setinggi langit-langit kamarku pun aku takut. Takut terjatuh dan merasakan sakit. Dimana semua mimpi-mimpiku? Kejujuranku menjadi diriku sendiri, kini hilang. Lenyap. Perjalananku hanya sebuah kebohongan. Aku bukanlah diriku. Kini, aku masih menjadi aku yang memaksa mencoba menjadi siapa. Berlaku demikian supaya apa dan bagaimana. Terpaksa, untuk menyenangkan hati-hati mereka yang inginkan aku begini begitu. Keadaan. Salah satunya adalah keadaan selain orang tuaku. Realita ini begitu kejam sampai-sampai dia merampas nyawaku. Jangan salahkan aku, aku kini hilang hasrat. Menjalani semuanya hanya demi menjalankan kewajiban. Demi memuaskan orang lain. Bukan memuaskanku. Dalam keadaan masih terlentang, aku menutup mataku yang terasa perih akibat menagis terlalu lama, lalu kembali menghela nafas panjang. Aku bangkit perlahan dan mengambil langkah kecil kearah cermin. Aku melihat wajahku. Tanpa ekspresi, datar. Kusoroti kedua mata yang adalah mataku. Kulihat kedalam, dalam, dalam, aku mendapatinya. Terlalu jauh. Nyawa ku sudah terlalu jauh tertanam di sana. Jauh. Terlalu lelah untuk mengambilnya kembali. Biarlah aku menjadi diriku ini yang entah siapa. Agar aku dapat menjadi apa dan bagaimana. Dan hasratku, biarkan kujamah mereka dalam diamku, kekosonganku. Aku (terpaksa) bahagia. Bahagia dalam diri yang lain. Siapa yang akan menjadi apa. Aku yang berbeda dengan aku yang terdahulu.