Petaka Ulang Tahun

9 Juli 2014

Pagi ini tak ada yang beda. Aku masih tetap harus berangkat ke sekolah, menunggu bus jemputan di halaman rumah, dan menyapa teman-teman sekolahku dengan wajah kusut dan setengah sadar. Rambut keritingku tergerai sempurna dan tali sepatuku selalu terlepas dengan tiba-tiba. Saat hendak berlari menyapa sahabatku, aku tersandung dan ternyata itu akibat tali sepatuku yang lepas. Kubungkukkan badanku, dan... zonk!!! Ternyata aku salah pakai sepatu. Sepatu ku belang-belang. Sebelahnya warna kuning, sebelah lagi warna ungu. Ah, sial!!!

"Selamat ulang tahuuuuun Chikiii...!!!" Aku mendengar suara riuh dari ke lima sahabat-sahabatku sambil mengacak-acak rambutku. What? Apa nih? Ulang tahun? Aku? Nggg. "Siapa yang ulang tahun?"
"Iya, kamu lah chik! Cemana sih?"
"Aku lupa. Hadeh."
"Kalau kamu itu apa sih yang nggak lupa? Untung ajalah kamu masih ingat bernafas".
Aku ulang tahun? Tapi kenapa tidak ada ucapan selamat dari mama. Kenapa tidak ada kecupan di dahi dari papa. Kenapa tidak satupun keluargaku ingat? Bahkan akupun lupa dengan hari penting ini. Ma, pa, chiki rindu mama dan papa memeluk dan memberi semangat untukku. Tidakkah mama dan papa ingat bahwa kalian memiliki seorang putri? Aku kehilangan kehangatan keluarga. Aku kesepian ma, pa.
Tanpa sengaja airmataku tumpah. Aku melamun sejenak dan pikiranku mulai membawaku kepada rekaman-rekaman kenangan masa silam. Tentunya masa-masa indah bersama mama dan papa.

Saat itu usiaku 8 tahun. Inilah terakhir kalinya aku mendapatkan kehangatan kasih sayang kedua orang tuaku. Aku bangun tidur dengan banyak coklat di sekitar tempat tidurku. Banyak kotak-kotak kado yang berisi hadiah kesukaanku di setiap sudut kamarku. Boneka panda besar juga menyapaku di depan pintu kamarku. Boneka panda itu mengucapkan selamat ulang tahun padaku dengan penuh kasih sayang dan aku tahu bahwa itu adalah suara mama. Kemudian mama mengecup dahiku dan memelukku hangat. Mama mengajakku ke meja makan dan telah ada kue coklat yang sangat besar dipenuhi lilin-lilin kecil yang indah. Aku senang melihatnya. Aku senang melihat cahaya! Papa datang dari belakang sambil menutup mataku. Sambil berkata,"Selamat ulang tahun chiki. Putri kecil papa yang paaaaaling papa sayang!" Kemudian papa dan mama memelukku. Aku bahagisa sekali. Aku bahagia!

Dan aku sadar, itu hanyalah kenangan.

Sepulang sekolah, teman-teman mengajakku merayakan ulang tahunku ini. Tapi aku memilih untuk pulang. Ya, masih dengan wajah lesu dan sedikit harapan bahwa mama akan ingat ulang tahunku.

Tujuh tahun berlalu sejak aku berulang tahun pada usiaku yang ke delapan itu. Kini, tak ada lagi kasih, tak ada lagi perhatian. Tak ada yang peduli denganku. Aku seperti daun yang layu, kering. Tanpa siraman kasih dan cahaya harapan dari kedua orang tuaku. Aku sendiri di sudut meja makan. Sendiri menatapi foto keluarga kami. Kami bahagia. Ya, bahagia. Mama, papa, aku, dan adikku Chiko.

Chiko adalah adik laki-lakiku. Saat aku merayakan ulang tahunku yang ke delapan, Chiko sedang berlibur ke rumah nenek. Sesaat setelah kami berpelukan di depan kue coklat raksasa yang dihadiahkan mama dan papa, kami mendapat telepon dari Om Dude. Om Dude memberitahu sebuah kabar dukacita, bahwa Chiko meninggal. Chiko meninggal! Adikku meninggal tepat di hari ulang tahunku. Chiko ditabrak oleh orang yang tidak bertanggung jawab saat ia berjalan menuju mini market yang tak jauh dari rumah nenek. Kami sekeluarga kaget. Mendadak suasana bahagia berubah menjadi teriakan histeris kesedihan.

Tujuh tahun berlalu, rumah ini pun mendadak menjadi neraka. Sikap mama dan papa yang dingin. Sampai saat ini mama masih sering menangis di tengah-tengah malamnya. Papa dingin dan hampir tak pernah senyum. Dan aku, aku tersiksa dengan semua sikap mereka. Aku dianggap seperti tidak ada. Aku sendiri sekarang. Kamar tidurku lah rumah dan tempat peristirahatan yang nyaman bagiku. Tanpa kehadiran mama dan papa lagi di sini. Boneka panda hadiah dari mama, kini semakin berdebu di sudut kamarku. Ah! Aku lelah menangisi keadaan ini! Aku lelah menahan kerinduanku. Dekat namun jauh. Ada seperti tiada. Aku tersiksa! Bahkan tak jarang kami hanya berkomunikasi lewat surat yang dituliskan di secarik kertas origami ditempelkan di pintu lemari es kami. Tak ada percakapan sama sekali. Bahkan untuk uang sekolahpun mereka mengirimnya lewat rekeningku. Tanpa ada bahasa pengantar dari mereka.

Jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku masih sunyi sendiri terduduk di meja makan rumah kami. Papa dan mama belum pulang. Tak ada pesan singkat, tak ada telepon, tak ada kabar sedikitpun. Kemana mereka? Kemana orang tuaku? Tidakkah mereka sadar bahwa aku sedang berulang tahun yang ke 15 hari ini? Apakah mereka sudah benar-benar lupa? Apakah begitu?

Tak lama, bel rumah kami berbunyi. Ah, mungkin itu mereka! Mungkin papa dan mama menyiapkan kado untukku hari ini. Aku berlari bersemangat membuka pintu. Dan aku mendapati 4 orang berseragam polisi. Mereka menyampaikan kabar bahwa mobil orang tuaku bertabrakan dengan sebuah bus besar dan keduanya rusak parah. Lalu mama? Papa? Mereka tak dapat selamat dari hantaman keras kecelakaan tersebut. Kini mereka benar-benar meninggalkanku. Kakiku lemas. Sekujur badanku kaku. Airmataku pun tak mampu keluar. Aku terdiam dan linglung. Jantungku serasa remuk dan pecah! Aku ingin muntah. Kakiku tak kuat menahan tubuhku. Aku terjatuh. Terduduk. Hanya jiwaku yang berteriak-teriak! Aku hilang, aku linglung. Kesedihan ini teramat mengerikan. Aaaaarrrrrrggghh!!! Aku ingin mati! Aku lebih baik mati saja! Aku lebih baik mati!

"Kami menemukan ini di jok mobil belakang dari mobil orang tua kamu."
Sebungkus kado merah jabu dengan pita emas. Mataku kabur, tapi kucoba membaca tulisan yang tertulis di atasnya. Samar-samar kueja perlahan. Selamat Ulang Tahun Putri Kecil Mama dan Papa, Chiki Cendana Prabuwija.

-medan, 09Juli2014-

6 tinggalkan komentar:

Unknown Says:
9 Juli 2014 pukul 11.57

Bagus alur ceritanya puu..
Bahasanya juga mudah dimengerti..
Aku mengikuti ceritanya, & seperti aku ada di dalamnya.. Tragis ya puu :'(

#ini pendapatku sebagai orang awam yaa.. ;)
Semangat penulis hebat.. ;)

Anonim Says:
10 Juli 2014 pukul 20.24

Aduuuh sedih baca di bagian terakhirnya :(
Sebagai pecinta alur lambat, saya ngerasa alurnya terlalu cepat ya... atau cerpennya kurang panjang? (novel kali panjang :D)
Tapi bagus ceritanya, ditunggu cerita selanjutnyaaa :*

Unknown Says:
14 Juli 2014 pukul 08.04

ceritanya bagus, tapi aku rasa ini masih terlalu pendek untuk sebuah cerita pendek :D
setuju dengan mbak iffah, alurnya terlalu cepat, kamu terlalu terburu-buru menyelesaikannya. Kalau saja alurnya sedikit lebih panjang pasti lebih bagus :*

Unknown Says:
20 Juli 2014 pukul 12.11

mbak ifa : iyaaa mbakkkk :') terburusburu ya mba yaaaa... lain kali aku benahi lagi ya mbaaakk.. mohon bantuannya..

Unknown Says:
20 Juli 2014 pukul 12.13

hehehehehe... iyaaa yel... makasi masukannya ya syg... :) lain kali dibenahin...

Unknown Says:
20 Juli 2014 pukul 12.14

makasi kaka sayaaaang :)

Posting Komentar