0 Rasa Rindu

29 Juli 2014
Apa kabar kamu yang dulu sempat menjejak di hatiku? Sudah berdamaikah kamu dengan seluruh dimensi alam dan waktu? Sesuatu yang ingin kuungkap adalah bahwa aku merindumu.
Di sini, sesekali aku masih berharap dapat berkelakar denganmu. Sekalipun semu, bayanganmu itu obat rindu. Senyum itu. Senyum itu yang dulu pernah menjadi antibiotik kala ku pilu.
Seandainya mesin waktu dapat kucuri dari para penduduk bawah tanah, akan kutelusuri masa-masa dahulu. Bilakah ku dapat kembali menggenggam lembut jari-jemarimu? Bilakah ku dapat merasakan hangat nafasmu? Bilakah kudapat mencium wewangian khas dari tubuhmu?
Sesekali aku merindumu. Sesekali aku menangis haru. Sesak aku di sudut waktu. Aku terbawa arus, jauh semakin menjauhimu. Di mana lagi kita akan bertemu?
Waktu tak berujung. Alam tak berbatas. Masa lalu jua takkan pernah lenyap. Pun kamu, akan abadi di sana. Di waktu yang tak berujung. Di alam yang tak berbatas. Di sana, rumahmu. Masa laluku. Di sana, tempatmu. Rasa rindu.
Oleh: putri (nangbidok)
Medan-290714

5 Pak Achong

24 Juli 2014

"...Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau sujud kepadaNya..."

Aku terdiam. Menunduk dalam keterbatasanku. Kucoba memadamkan api logikaku, percuma. Jiwaku berkecamuk, pertanyaan demia pertanyaan menghantam pikiranku tanpa ampun. Lagu itu. Lagu dari sebuah band papan atas di negeriku. Lagu yang berhasil membuat aku 'galau' memikirkan sesuatu yang seharusnya tak layak untuk kupikirkan. Aku ini siapa? Hanya manusia hina dina. Setidaknya itu makna yang dapat kusimpulkan untuk kita ciptaan Tuhan. Apa? Tuhan? Bicara apa aku ini. Sudah kutegaskan pada diriku, aku ini tak layak! Tolong... Jangan tanyakan. Hentikan pertanyaan ini. Hentikan rasa penasaran dan perbanyak saja berdoa. Berdoa. Ya, berdoa. Berkomunikasi dengan Sang Khalik. Oh... Sang Khalik, siapakah gerangan Engkau?

***

"Haiyaaaa... lu olang kok bengong aaaa??? Pantang loh anak gadis melamun di siang-siang bolong begini looooh... Haiya!"
Logat yang tak asing itu mengagetkanku. Mendadak aku tersadar dari alam pikir yang membuatku gila sejenak. Itu suara Pak Achong. Seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani di kampung kami. Beliau berdarah Tionghoa dan beragama... Buddha. Ah, beragama? Untuk apa membahas agama? Apa pentingnya?
"Eng.. eng.. ma maaf, pak.  Saya kelelahan. Lemas banget, pak. Soalnya semalam saya endak sempet sahur. Habis lembur sama cucian. Maaf ya, pak."
"Ah, elu! Gimana bangsa mau maju, elunya aja yang jadi wakilnya warga kampung kerja asal-asalan di sini. Ini tuh kantor, eneng. Seharusnya lu olang kerja. Kerjaaaa. Udah, udah, dilanjut kerjaannya. Puasa itu bukan alasan aaa. Haiya!"
Ada benarnya juga. Aku ini sekretaris kampung. Tidak seharusnya aku tertidur dalam tugas dinasku. Memalukan sekali aku ini, telah menyia-nyiakan kepercayaan warga.

"...Jangan biarkan damai ini pergi. Jangan biarkan semuanya berlalu. Hanya padaMu Tuhan tempatku berteduh, dari semua kepalsuan dunia..."

Ah mendadak semuanya lagu-lagu seperti ini. Radio apa ini. Apa karena bulan puasa ya. Hmm. Tuhan. Siapa Tuhan itu? Sang Khalik yang diagungkan. Nama yang tiada berwujud namun dianggap berkuasa. Berkuasa atas apa? Jika ya, dari manakah Ia berasal?
Untuk kesekian kalinya, aku 'galau'.

***

"Pengumuman...!!! Hari ini, oe pengen ngadain acara buka bersama untuk semua perangkat-perangkat desa. Nah, lu olang semua mesti pada ikut aaaa. Haiya, ini acara penting aaa. Untuk silahatumi aaa haiya sil.. silarahatu, eh siiiil.."

"Silaturahmi, pak. Gitu aja kok repot pak, ngomongnya." Celetuk salah seorang temanku.

"Eh bukaaaaan. Bukan itu. Oe maksud itu silll.. eng apa ya, silatuhahim. Apa ya, eng... Haiya, siiil.. siiiil.."

"Silaturahim." Ucapku datar.

"Oe tunggu di rumah oe, ya. Jam setengah 6. Sekarang, udah boleh pulang aaaa. Haiya."

***

Temanku mencubit tanganku, seolah menyampaikan sebuah kode rahasia. Dia membisikkanku sebuah pernyataan yang, ah entahlah. Pernyataannya membuatku kembali 'galau'. Ia bertanya, apakah boleh kita makan di rumah Pak RT. Bapak Achong yang seorang keturunan Tionghoa. Beliau yang tidak berpuasa mengadakan acara  berbuka puasa. Bersama di rumahnya. Ikut serta pula teman-teman yang beragama lain. Mereka tidak berpuasa. Apakah ini wajar? Ah, entahlah.

***

Suasana di rumah Pak Achong sudah mulai terlihat ramai. Beliau memang terkenal sebagai seorang Ketua RT yang menjunjung tinggi kebhinekaan di antara para warga. Ini baik, tapi apakah benar ini dibolehkan di agama kami? Ah, entahlah. Memangnya kenapa? Toh ini hanya sekedar acara makan-makan. Tapi... bagaimana dengan makanan yang dihidangkan? Apakah...
"Halal atau enggaknya, semua tergantung bagaimana kamu menanggapinya, neng. Ya tak mungkinlah Pak RT memberikan kita makanan yang tidak halal. Liat tuh, Pak RT menghidangkannya menggunakan kotak. Bukan piring punya pak RT. Udah ayo masuk! Semua udah pada ngumpul di dalem. Bentar lagi bedug loh, neng"
Anto memang selalu begitu. Lelaki ini selalu bijaksana di mataku. Kata-katanya selalu mendamaikan jiwaku. Baiklah, akhirnya aku berdamai dengan segala kekhawatiranku. Aku pun akhirnya segera memasuki kediaman pak RT.

***

"Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabbarahukatu. Bapak dan Ibu yang saya hormati. Saya akan menyampaikan Tausiah singkat untuk menyambut waktu berbuka yang tinggal 45 menit lagi..."
Kan, lihat. Apa ini? Pak RT mengundang seorang Uztad untuk menyampaikan tausiah. Oh, Tuhan. Mahadahsyat Engkau ya Khalik. Teman-teman semuanya ikut khusyuk mendengarkan tausiah dari uztad yang diundang itu.
Seketika aku merinding. Aku gemetar. Seperti ada yang mencabik-cabik hatiku. Ini lebih mirip rasa haru. Aku terharu dengan dahsyatnya momen ini. Tanpa sadar titik-titik air mata membasahi pipiku. Hening. Mendadak semua hening dan hampa. Aku hanya aku. Aku bersama dengan jiwaku. Ragaku terasa ringan. Rohku melesat cepat. Jauh, jauh ke suatu tempat penuh cahaya. Aku silau dengan cahaya putih ini. Sekelilingku sangat kontras dengan cahaya yang sangat menyilaukan. Aku tak dapat melihat apapun. Hanya ada aku dan tempat kosong ini. Tempat apa ini? Kakiku tak menapak! Kakiku! Aku melayang! Aku terbang! Ini gila. Aku ada di mana? Di mana aku ini? Gila.

"Eneng... Jangan takut!"

"Pak RT! Bapak..."

"Iya, kamu kaget? Kita ada di alam astral. Kita adalah roh di sini."

"Pak Achong, bawa saya pulang! Saya takut!"

"Pertanyaanmu telah membawamu sangat dalam ke alam bawah sadarmu. Kekhawtiran dan kerinduanmu tentang Tuhan menyeretmu pada rasa ingin tahu yang besar."

Mengapa Pak Achong... ah, kemana logat hokkiennya yang mustahil sekali lepas dari sosoknya? Bahkan berpidato saja beliau memakai logat khasnya. Benarkah ini semua? Aku pasti bermimpi.

***

"Eneng, lihat ini."

Ada sebuah tirai besar. Tirai itu disingkapkan oleh Pak Achong dan... Ah! Ada banyak orang di sana. Mereka berkelompok . Setiap kelompok itu dipimpin oleh sesosok yang bercahaya dan wajahnya menyilaukan hingga ku tak mampu melihatnya. Namun para pengikut dari masing-masing kelompok itu berpakaian aneh. Ada yang hanya memakai kain putih. Ada yg botak-botak dengan jubah kuning yang membalut tubuh mereka. Kelompok yang lain memakai pakaian dari lempengan tembaga dan emas. Lalu ada yang memakai jubah kebesaran. Ini aneh. Mereka pun berjalan mengikuti sesosok yang bercahaya itu. Pemimpin kelompok mereka.

"Apa yang ada di tangan mereka, pak? Mereka berucap apa?"

"Lihat, itu rosario.  Yang digenggam oleh kelompok itu, kitab suci mereka"

"Kalau yang itu?"

"Itu adalah kitab pujian kepada Maitreya"

Mereka bermacam-macam. Baik dari segi postur tubuh, jenis kulit, rambut, dan bola mata. Semua berbaur dengan kelompok mereka masing-masing. Mengikuti sosok yang bercahaya itu. Pak Achong menyebutnya Sang Pemimpin Kelompok.

"Kamu heran neng?"

"Mereka hendak kemana pak?"

"Mereka sedang menuju suatu tempat yang baka, neng. Tempat yang sama."

"Tempat? Rumah? Atau..."

"Entahlah neng, belum ada yang pernah benar-benar ke sana. Tetapi itulah yang dijanjikan."

Semua kelompok itu berjalan beriringan. Tampak sangat akur. Ini pemandangan yang indah. Jikalau aku bisa menggambarkannya, ini seperti surga. Setidaknya, surga yang sering aku dengar kedamaiannya. Sekalipun aku tak tahu, apa itu surga.

"Neng, semua adalah satu. Semua pasti akan ke sana. Tempat yang masih menjadi rahasia untuk umat manusia. Selama hidup, ikutilah Sang Pemimpinmu. Lakukan apa yang Ia perintahkan dengan baik. Toh saya dan kamu juga sedang dalam perjalanan itu."

Selesai Pak Achong menyampaikan pesan itu, mendadak cahaya yang menyilaukan tadi berubah menjadi gelap gulita. Aku tak dapat melihat apapun.

Allahu akbar! Allahu akbar!

Aku mendengar suara-suara itu. Aku seperti tertarik kepada suatu lubang. Aku terperosok jatuh ke dalamnya. Seperti melewati sebuah lorong sempit yang panjang, aku seperti melayang.

"Neng, kamu ngga apa-apa?"

Aku membuka mataku perlahan. Kulihat samar-samar banyak orang yang mengelilingiku dengan wajah cemas dan ketakutan. Seorang kiai memberikanku air putih. Sejenak aku tak ingat apapun. Jiwaku seperti kosong. Pak Achong, ialah orang pertama yang ingin kutemui.

"Eneng.. eneng.. haiyaaa.. lu olang pasti kelapalan... haiya... lu lemes aaaa... makanya lu sampe pingsan haiyaaaa"

Logat khas itu kembali. Lalu yang barusan itu siapa? Kejadian tadi apakah hanya mimpi? Tapi aku merasakannya seperti nyata. Aku meilhat apa yang ada di balik tirai. Semua nyata. Ini sangat aneh.

Aku hanya menangkap pesan terakhir yang dikatakan Pak Achong gadungan pada dunia mimpiku. Bahwa aku sedang ada dalam perjalanan bersama dengan rombongan yang lain. Menuju... ah, katanya sebuah tempat. Entah tempat apapun itu, aku tak mau ambil pusing.

"Makasi ya Pak Achong. Makasi udah mengadakan acara ini. Makasi karena sudah menjadi RT yang baik bagi kami. Bapak mengajarkan kami pluralisme dalam damai."

"Haiyaaaa... sama-sama aaa"

Orang-orang yang melihat kami berdua semuanya mengerutkan alis. Tak mengerti apa makna di balik ucapan yang saling berbalas tersebut. Hanya ucapan terimakasih yang sederhana, namun memiliki makna yang teramat dalam bagiku.

Hidup ini adalah perjalanan.

Oleh: Putri (Nangbidok)

6 Petaka Ulang Tahun

9 Juli 2014

Pagi ini tak ada yang beda. Aku masih tetap harus berangkat ke sekolah, menunggu bus jemputan di halaman rumah, dan menyapa teman-teman sekolahku dengan wajah kusut dan setengah sadar. Rambut keritingku tergerai sempurna dan tali sepatuku selalu terlepas dengan tiba-tiba. Saat hendak berlari menyapa sahabatku, aku tersandung dan ternyata itu akibat tali sepatuku yang lepas. Kubungkukkan badanku, dan... zonk!!! Ternyata aku salah pakai sepatu. Sepatu ku belang-belang. Sebelahnya warna kuning, sebelah lagi warna ungu. Ah, sial!!!

"Selamat ulang tahuuuuun Chikiii...!!!" Aku mendengar suara riuh dari ke lima sahabat-sahabatku sambil mengacak-acak rambutku. What? Apa nih? Ulang tahun? Aku? Nggg. "Siapa yang ulang tahun?"
"Iya, kamu lah chik! Cemana sih?"
"Aku lupa. Hadeh."
"Kalau kamu itu apa sih yang nggak lupa? Untung ajalah kamu masih ingat bernafas".
Aku ulang tahun? Tapi kenapa tidak ada ucapan selamat dari mama. Kenapa tidak ada kecupan di dahi dari papa. Kenapa tidak satupun keluargaku ingat? Bahkan akupun lupa dengan hari penting ini. Ma, pa, chiki rindu mama dan papa memeluk dan memberi semangat untukku. Tidakkah mama dan papa ingat bahwa kalian memiliki seorang putri? Aku kehilangan kehangatan keluarga. Aku kesepian ma, pa.
Tanpa sengaja airmataku tumpah. Aku melamun sejenak dan pikiranku mulai membawaku kepada rekaman-rekaman kenangan masa silam. Tentunya masa-masa indah bersama mama dan papa.

Saat itu usiaku 8 tahun. Inilah terakhir kalinya aku mendapatkan kehangatan kasih sayang kedua orang tuaku. Aku bangun tidur dengan banyak coklat di sekitar tempat tidurku. Banyak kotak-kotak kado yang berisi hadiah kesukaanku di setiap sudut kamarku. Boneka panda besar juga menyapaku di depan pintu kamarku. Boneka panda itu mengucapkan selamat ulang tahun padaku dengan penuh kasih sayang dan aku tahu bahwa itu adalah suara mama. Kemudian mama mengecup dahiku dan memelukku hangat. Mama mengajakku ke meja makan dan telah ada kue coklat yang sangat besar dipenuhi lilin-lilin kecil yang indah. Aku senang melihatnya. Aku senang melihat cahaya! Papa datang dari belakang sambil menutup mataku. Sambil berkata,"Selamat ulang tahun chiki. Putri kecil papa yang paaaaaling papa sayang!" Kemudian papa dan mama memelukku. Aku bahagisa sekali. Aku bahagia!

Dan aku sadar, itu hanyalah kenangan.

Sepulang sekolah, teman-teman mengajakku merayakan ulang tahunku ini. Tapi aku memilih untuk pulang. Ya, masih dengan wajah lesu dan sedikit harapan bahwa mama akan ingat ulang tahunku.

Tujuh tahun berlalu sejak aku berulang tahun pada usiaku yang ke delapan itu. Kini, tak ada lagi kasih, tak ada lagi perhatian. Tak ada yang peduli denganku. Aku seperti daun yang layu, kering. Tanpa siraman kasih dan cahaya harapan dari kedua orang tuaku. Aku sendiri di sudut meja makan. Sendiri menatapi foto keluarga kami. Kami bahagia. Ya, bahagia. Mama, papa, aku, dan adikku Chiko.

Chiko adalah adik laki-lakiku. Saat aku merayakan ulang tahunku yang ke delapan, Chiko sedang berlibur ke rumah nenek. Sesaat setelah kami berpelukan di depan kue coklat raksasa yang dihadiahkan mama dan papa, kami mendapat telepon dari Om Dude. Om Dude memberitahu sebuah kabar dukacita, bahwa Chiko meninggal. Chiko meninggal! Adikku meninggal tepat di hari ulang tahunku. Chiko ditabrak oleh orang yang tidak bertanggung jawab saat ia berjalan menuju mini market yang tak jauh dari rumah nenek. Kami sekeluarga kaget. Mendadak suasana bahagia berubah menjadi teriakan histeris kesedihan.

Tujuh tahun berlalu, rumah ini pun mendadak menjadi neraka. Sikap mama dan papa yang dingin. Sampai saat ini mama masih sering menangis di tengah-tengah malamnya. Papa dingin dan hampir tak pernah senyum. Dan aku, aku tersiksa dengan semua sikap mereka. Aku dianggap seperti tidak ada. Aku sendiri sekarang. Kamar tidurku lah rumah dan tempat peristirahatan yang nyaman bagiku. Tanpa kehadiran mama dan papa lagi di sini. Boneka panda hadiah dari mama, kini semakin berdebu di sudut kamarku. Ah! Aku lelah menangisi keadaan ini! Aku lelah menahan kerinduanku. Dekat namun jauh. Ada seperti tiada. Aku tersiksa! Bahkan tak jarang kami hanya berkomunikasi lewat surat yang dituliskan di secarik kertas origami ditempelkan di pintu lemari es kami. Tak ada percakapan sama sekali. Bahkan untuk uang sekolahpun mereka mengirimnya lewat rekeningku. Tanpa ada bahasa pengantar dari mereka.

Jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku masih sunyi sendiri terduduk di meja makan rumah kami. Papa dan mama belum pulang. Tak ada pesan singkat, tak ada telepon, tak ada kabar sedikitpun. Kemana mereka? Kemana orang tuaku? Tidakkah mereka sadar bahwa aku sedang berulang tahun yang ke 15 hari ini? Apakah mereka sudah benar-benar lupa? Apakah begitu?

Tak lama, bel rumah kami berbunyi. Ah, mungkin itu mereka! Mungkin papa dan mama menyiapkan kado untukku hari ini. Aku berlari bersemangat membuka pintu. Dan aku mendapati 4 orang berseragam polisi. Mereka menyampaikan kabar bahwa mobil orang tuaku bertabrakan dengan sebuah bus besar dan keduanya rusak parah. Lalu mama? Papa? Mereka tak dapat selamat dari hantaman keras kecelakaan tersebut. Kini mereka benar-benar meninggalkanku. Kakiku lemas. Sekujur badanku kaku. Airmataku pun tak mampu keluar. Aku terdiam dan linglung. Jantungku serasa remuk dan pecah! Aku ingin muntah. Kakiku tak kuat menahan tubuhku. Aku terjatuh. Terduduk. Hanya jiwaku yang berteriak-teriak! Aku hilang, aku linglung. Kesedihan ini teramat mengerikan. Aaaaarrrrrrggghh!!! Aku ingin mati! Aku lebih baik mati saja! Aku lebih baik mati!

"Kami menemukan ini di jok mobil belakang dari mobil orang tua kamu."
Sebungkus kado merah jabu dengan pita emas. Mataku kabur, tapi kucoba membaca tulisan yang tertulis di atasnya. Samar-samar kueja perlahan. Selamat Ulang Tahun Putri Kecil Mama dan Papa, Chiki Cendana Prabuwija.

-medan, 09Juli2014-