0 MALAIKAT KECIL

5 November 2013
Banyak sekali yang ingin aku ceritakan mengenai pengalamanku semasa PPL ini... Banyaaaaaaak sekaliiiiii :')
Tapi nggak tahu mau mulai ini semua dari mana. Semuanya membuat aku 'excited' untuk cerita!!! Nah akibatnya ya jadi nggak beraturan gitu bahasanya. Runtutan waktunya juga nggak teratur. Haduuuuuh... asli kalau mau dimulai untuk cerita, aku semangaaaaaaaaatttt !!! :D

Hem... gini ajadeh... Kali ini aku mau cerita tentang lagu ciptaan 'dadakan' yang aku ciptkan bersama teman seposko ku. Budi Besar namanya...
Awalnya sih dia iseng ngerambas-rambas gitarnya... Dapetlah sebuah rangkaian alunan nada...
Dia dapat kuncinya, tapi nggak tahu mau dikassih lirik apa.

Tujuannya membuat lagu ini adalah nggak lain dan nggak bukan untuk anak-anak didik kami.
Dia coba-coba merangkai kata, tapi masih belum 'masuk' ke dalam rangkaian nadanya.
Aku dengar secara nggak sengaja, nadanya menyentuh... Aku resapi, aku resapi, makin lama kok aku merasa semakin 'hanyut' dalam alunan nada itu.

Kucoba beranikan diri untuk mulai bernyanyi dengan rangkaian kata yang kubuat sendiri secara spontan.
Masuuuuuk!!! :'D
Mengalir... mengaliiiir... mengalirrr...
Secara natural semuanya tercipta...
Kubayangkan semua kisah yang pernh terjadi bersama mereka, anak-anakku...
Airmataku pun mengalir tanpa tertahan.Pipiku basah ;') Terlalu mengharukan...
Kalian tahu, semua ini terlalu singkat! Ahhhh... entahlah, entah bagaimana aku harus menyatakan ini semua dengan rangkaian kata. Kukira semuanya takkan ada yang sanggup mewakilkan semua rasa yang kurasakan.

Ini, ini lirik lagu yang kucoba rangkaikan dan yang kucoba sesuaikan dengan nada-nada indah milik temanku, Si Budi Besar itu.
Silahkan komentari, kritiki, dan berikan saran untuk lagu ini ya...

MALAIKAT KECIL

MASA INDAH TERUKIR KENANGAN
TAWA CANDA HIASI CERITA
AMARAH, EGO DAN AIR MATA
BERSAMA...

SUARA MERDUMU SENTUH HATIKU
LEMBUT PELUK HANGATKAN JIWAKU
TAK KUSANGKA SEMUA KAN BERAKHIR DI SINI

GURU :
MALAIKAT-MALAIKAT KECILKU
KUINGIN TAWAMU ABADI
JALANI SEMUA HARI-HARI
PENUH SEMANGAT DI JIWA

MURID:
BAPAK IBUKU YANG KUCINTA
TULUS KASIH SELALU TERKENANG
T'RIMA KASIH ATAS BUDIMU
YANG AJARKU TUK HIDUP

0 A JOURNEY!

2 Oktober 2013
Hidup ini hanya bagaikan jembatan rapuh yang pasti akan mengantarmu kepada alam ruh yang kekal. Sekali lalai, jembatan itu akan patah dan kau terperosok jatuh kemudian. Jembatanmu dan jembatanku tentu berbeda.  Panjangnya jelas tak sama. Satu dengan yang lain memiliki jembatannya masing-masing. Tak ada yang sama. Arsitek alam lah yang merancangkan demikian.
Berjalanlah pelan. Berjagalah dengan cahayamu. Kau tahu? Dunia ini terlalu gelap. Terlalu gelap! Dunia tak punya sumber cahayanya sendiri. Terangilah ia dengan cahayamu. Terangi ia dengan cahaya yang berasal dari nurani hatimu. Setitikpun, tentu sangat berguna. Jangan sungkan untuk mendermakan cahayamu. Dunia benar sangat membutuhkannya. Tembuslah selimut gulita yang membungkus seluruh fatamorgananya kehidupan.
Hei! coba kau lihat, eh... maksudku raba. Coba rabalah! Tak ada pegangan. Jembatanku dan jembatanmu tak memiliki pegangan. Jembatan kita terasa lempang saja. Bisa-bisa kita terjatuh. Bahaya!
Raba lagi. Jembatan ini tak ada sandaran. Mari. Mari! Cercahkan kakimu. Raba dasarnya, jembatan ini terlalu sempit! Sangat berbahaya bukan?
Jangan khawatirkan itu. Berjalanlah saja, tujuan kita ada di depan sana. Ingat, jembatan ini hanya penghubung dan sarana penghantar saja. Dunia ini adalah penghantar. Dunia ini hanya penghubung. Tujuan yang sebenarnya hanya ada di depan sana. Yang jelas tertutup kabut pekat. Gelap!
Saat kau berusaha terus berjalan ke depan, kuingatkan ya, di tengah perjalanan nanti kau pasti akan bertemu dengan sesuatu yang sangat bercahay dan penuh dengan kemilauan. Tempat itu memiliki kemewahan dan kemilaunya yang pasti kau nanti akan mengakui juga bahwa itu adalah tempat yang sangat menakjubkan. Cahayanya menyilaukan. Tempat itu merupakan magnet raksasa yang kan menarikmu ke dalamnya. Pasti, kau akan ditariknya.
Jangan terkecoh! Kuberitahu lagi ya, itu tipuan!
Cahaya di tempat itu berbeda dengan cahaya kita. Cahaya mereka adalah cahaya api yang membakar. Mereka hanya melakukan kamuflase sekejap untuk menjebakmu. Ingat! Cahayamu dan cahayaku adalah cahaya yang sejuk. Cahay nurani, cahay jiwa, cahaya kalbu yang menenangkan. Bukan cahaya yang membakar seperti milik tempat itu.
Jangan langkahkan kakimu ke dalamnya. Jangan sekali-kali kamu memberankikan diri untuk masuk dan bersatu dengan cahaya itu. Kemilauan itu hanya tipuan! Jangan terkecoh. Sekali saja kau lengah, selamanya kau akan ditawannya. Jiwaku dan jiwamu akan abadi di sana.Sekli masuk, kau akan abadi di sana. Kekal dalam api yang membakar.
Aku paham, di dalam perjalanan hidup ini kadang kau rasa letih. Aku tahu itu. Aku tahu kalau perangkap selalu siaga menjebak. Berhati-hatilah. Kalau kau letih, berdiamlah.
Pejamkan mata, carilah si arsitek alam. Dia ada di pikiranmu. Dia ada di alam intuisimu. Dia di hatimu. Undang dia hadir dan ajaklah dia duduk bersamamu. 
Aku mau mengingatkanmu kembali bahwa si arsitek pernah menyuarakan sabda janji untuk mu, aku, dan mreka. Yakni suatu tempat di ujung perjalanan dari jembatan ini. Kehidupan yang kekal. Tempat yang kekal. Tempat yang tak mengenal airmata dan kesakitan. Tempat yang penuh tawa bahagia, tidak ada kesedihan maupun ratapan.
Saat kau kehilangan cahaya, mintalah si arsitek untuk menambahkannya kembali. Dia pasti akan memberikannya padamu. Keletihanmu akan diusirnya dengan angin kesejukan. Pasti letihmu akan hilang.
Kau dahaga? Kau butuh air? Tenang saja. Dia memiliki air yang hidup. Apa itu air hidup? Itu adalah air yang pasti akan melenyapkan dahaga dan kesesakanmu akan hidup.
Masih ingat dengan tempat yang kemilauan tadi? Kuingatkanuntuk kesekian kalinya, jangan terlena untuk masuk. Jangan! Ini kutegaskan, tempat itu adalah tempat terlarang yang penuh dengan kutukan!
Kendalikan hasratmu. Kendalikan.
Jangan lupa juga, jembatan kita ini rapuh, sempit, dan gelap gulita.
Melangkahlah dengan yakin. Berjalan terus ke depan tanpa ragu dan takut. Yakinkan hatimu.
Kalaupun keyakinanmu juga padam, berteiaklah. Mintalah pertolongan dari sang empunya alam. Merataplah!
Menangislah, tangisi ketololanmu. Sadari kelemahanmu, insyaf kau!
Ratakan dirimu serata dengan tanah. Sujud dan minta semua perlindungan. Jembatan ini akan aman sekalipun gelap.
Tetaplah berhati-hati. Awas terperosok jatuh. Jangan gegabah dalam memilih langkah. Bersabarlah dengan kondisi yang gelap. Bersyukurlah dengan pemberian jembatan ini. Sekalipun rapuh, namun hanya inilah satu-satunya pijakanmu untuk menyebrangi dua alam itu. Kita pasti akan ke sana. Jembatan inilah penghubungnya. Kuncinya, hati-hatilah melangkah. Semua pasti akan baik. 


Sebuah tulisan di Selasa pagi, 24 September 2013

0 AMARAH!

30 September 2013
Merah, merah, lautan amarah

Air pasang menghanyutkan


Kapal karam! Layar koyak terkuak!


Ombak liar menggoyah kemudiku


Mulai terombang-ambing kian kemana


Berayun sana-sini, mual!


Gerah, gerah, ingin marah


Aku ingin kalahkan lautan!


Bunuh ketakutan


Lenyapkan kelemahan


Hei, jangan anggap aku si kecil yang malang!


arogansi bukan seleraku


menjilati wajah bukan gayaku


Air muka imitasi juga bukan mimikku


Kau, pasti kulawan!

0 Terima Kasih

Bahagiaku ada di dalam jiwa mereka. Bahagiaku mengalir dalam darah mereka. Bahagiaku menyatu dengan detakan jantung mereka. Bahagiaku adalah pancaran sinar mata mereka. Bahagiaku terlukis dalam senyum mereka. Bahagiaku adalah harapan dan doa-doa mereka. Bahagiaku adalah mereka. Mereka alasan mengapa ku hidup hingga kini dan nanti.

Mereka yang menua karena waktu. Mereka yang keriput karena masa menggeluti setiap kulit tubuh mereka. Inci demi inci wajah mereka kupandangi setiap waktu, terlihat semakin lelah saja. Mereka berjudi dengan asa. Harapan mereka terajut rapi dalam setiap telapak tanganku. Ya, akulah satu-satunya tumpuan harapan atas masa depan mereka kelak.

“Mami, Papa. Aku mencintai kalian. Betapa aku sangat mencintai kalian. Betapa aku sangat merindukan setiap kecupan dan pelukan hangat kalian. Setiap detik, setiap waktu. Terlalu rindu!”

“Aku takut menjadi dewasa. Aku gamang menjalani kemandirianku. Jatuh bangun aku di sini, di arena kehidupan yang penuh dengan persaingan. Kucoba melangkahkan kakiku dan berlari. Tak jarang aku jatuh dan menangis. Saat-saat itulah yang semakin membuat aku mengingat kalian.”

“Aku ingat, betapa kalian mencintaiku. Betapa kalian menjagaku dengan penuh cinta. Rasa aman selalu mengelilingiku. Kalian mengawasiku dengan rasa hati-hati, walaupun aku selalu memberontak karena merasa terlalu dikekang. Tak jarang aku membantah perkataan kalian. Tak jarang aku mengeluarkan kata-kata kasar saat kalian menuruti perkataanku. Nada suara yang keras selalu keluar dari mulutku kalau aku dilarang melakukan sesuatu. Itu semua menyakiti hati kalian. Terlalu sering permintaanku memberatkan kalian. Aku yang tak merasakan rasa letih kalian menafkahiku. Aku yang selalu saja tak paham betapa kalian mencintaiku. Maafkan aku.”

“Sering aku menolak saat disuruh melakukan sesuatu. Sering kali aku pura-pura tak mendengar panggilan kalian. Sering aku menutup telingaku saat kalian sedang marah. Sering aku malu saat kalian menciumku di depan orang ramai. Sering aku merasa terkekang karena aku selalu diantar jemput kemanapun aku pergi. Padahal kan aku sudah dewasa.”

“Sering kali aku membuat air mata kalian jatuh berlinang dengan sia-sia. Sering kali aku menuntut lebih dari yang kalian mampu. Sering kali kulupakan nasihat kalian. Sering juga aku melawan dan memasang wajah cemberut saat sedang ditanyai sesuatu. Maafkan aku mami. Maafkan aku papa. Maafkan aku yang selalu memaki saat aku sedang emosi dengan masalah yang kuhadapi."

“Aku yang pernah membanting pintu. Berteriak keras dengan arogannya aku. Sengaja tidak mencium tangan kalian saat hendak pergi keluar karena sedang marah. Ampuni aku yang nakal. Ampuni dosaku sebagai anak kalian. Aku mencintai kalian. Hanya saja aku tak tahu bagaimana cara yang benar untuk menunjukkan rasa sayangku. Aku sungguh sangat menyayangi kalian.”

“Sekarang, aku telah dewasa Mi, Pa. Aku mengalami proses hidup yang menyakitkan. Aku sering gagal, dan kemudian bangkit. Sakit kemudian pulih, sakit lagi, jatuh lagi, tersungkur, kemudian mencoba bangkit dengan sisa-sisa daya yang ada. Aku ini anakmu. Aku ini putri kecilmu. Aku ini yang telah sadar. Aku yang sekarang menyadari betapa kalian sangat berharga buatku. Aku ini yang sekarang begitu takutnya kehilangan kalian. Aku ini yang paham betapa kalian adalah tempatku mengadu. Kalianlah satu-satunya tempatku menumpahkan segala keluh. Betapa aku menyesal pernah menjadi anak yang nakal. Aku menyesal pernah membuat kalian menangis. Aku menyesal.”

“Sekarang, peluklah aku. Aku ingin kalian selalu ada di sisiku. Ini aku sedang berjuang merebut toga kebesaranku. Ini semua untuk kalian. Hanya untuk kalian. Betapa aku takut untuk tidak mampu membahagiakan kalian. Betapa aku takut waktu akan memisahkan kita. Teruslah sehat Mi! Pa!”“Aku kini belajar menghadapi setiap ujian dalam hidup. Aku ingin menang! Aku ingin mempersembahkan piala kemenagnaku hanya untuk kalian, orangtuaku. Kalianlah sumber semangat itu. Kalianlah segalanya. Kalian hartaku yang paling berharga kini dan nanti. Selamanya hanya kalian.”

“Tujuanku kini adalah banyak-banyak melukis senyum di wajah kalian. Aku ingin selalu menghangatkan kulit kalian yang semakin keriput itu. Aku ingin selalu menjadi nafas saat kalian tersenggal sesak untuk bernafas. Aku ingin menjadi angin sejuk yang membelai kalian. Aku ingin selalu menjadi obat atas rasa sakit yang kalian rasakan. Aku ingin menjadi gudang harapan kalian. Aku ingin menjadi kebanggan bagi kalian. Aku ingin kalian bangga memiliki aku. Aku ingin kalian bisa pamer dimuka umum bahwa kalian bahagia dengan keberadaanku. Akulah mata kalian, saat kelak kalian tak mampu lagi melihat. Akulah kaki kalian saat kelak kalian tak kuat untuk berjalan. Akulah tangan kalian saat kelak kalian tak mampu menggenggam. Akulah rumah doa untuk kalian.”

“Kesempatan selalu ada untuk orang yang ingin berubah. Kesempatan selalu terbuka. Kuyakin masih ada harapan. Semua yang tak mungkin PASTI menjadi mungkin. Asalkan aku benar berusaha dan meletakkan segala harapanku dalam tangan-Nya. Tuhan, restuilah niat baikku ini. Berkenanlah atas segalanya ini. AMIN!”

“Terimakasih atas segalanya yang telah kalian berikan bagiku. Aku bangga menjadi putri kalian. Aku bahagia memiliki orang tua seperti kalian. Terimakasih mami. Terimakasih papa. Terimakasih atas segalanya. Segala kepunyaanku pun kusadari takkan mampu membalas segala yang telah kalian berikan untuk hidupku. Terimakasih telah menjadi orang tua ‘super’ ya Mi, Pa. Aku, putri kecil kalian, selalu mencintai kalian.”

RASA CINTAKU BENAR-BENAR TAK TERBENDUNG UNTUK KALIAN. AKU SAYANG MAMI! AKU SAYANG PAPA! AKU SAYANG KALIAN BERDUA! MAMI DAN PAPA ITU MANUSIA SUPER! :')

0 AKU INI APA? GURU?

23 September 2013
Hai! Halo! Ini masih tentang kisahku di kampung orang. Hahaha. Jelek gitu yah bahasaku? Hemmm, gini deh, aku ini sebenarnya sedang menjalani matakuliah Program Praktek Lapangan (disingkat: PEPE'EL). Nah, pepe'el ini mengharuskanku untuk mengajar di sekolah yang berada di pedesaan. Ada banyak sekali pengalaman baru yang kudapa di sini. Apa yang kutuliskan sebenarnya sangat tidak layak untuk mewakilkan semua kisah yang sebenarnya. Terlalu menyenangkan! Dan aku, aksaraku terbatas. Jadi, semoga saja apa yang kualami, dapat samar-samar terlukis melalui bahasaku pada secarik kertas abstrak ini.
Ayo kita mulai. Siap? 1, 2, 3, begini ceritaku... auoooooooo!!!

Pertama, aku mau bercerita mengenai sekolah tempat aku mengajar. Aku ditempatkan di sebuah bangunan tua yang tampak semak karena dipeluk dengan pemandangan hutan. Ah, masih terlalu pelosok. SMP Negeri-3 namanya. Sekolah ini awalnya memberikan kesan seram dan menakutkan. Tapi saat aku berani menginjakkan kakiku di sana, bravo! Seperti ada aliran listrik bertegangan tinggi yang sedang menyengatku. Tidak, tidak! ini bukan makna sebenarnya. Maksudku, rasa yang tiba-tiba muncul dalam batinku itu adalah gejolak rasa tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat itu. Aku tersadar bahwa aku bukan lagi sosok yang biasa sekarang. Aku adalah seorang teladan, yang pasti akan digugu dan ditiru oleh siswa yang kudidik nantinya. Aku bahagia!!! Akhirnya, waktu yang kutunggu-tunggu datang juga. Ini saat pembuktian bahwa aku harus mampu memanusiakan manusia. Itulah mottoku sebagai seorang pendidik.
Di awal minggu, aku dan teman-temanku belum diperbolehkan untuk mengajar di dalam kelas. Masih ada beberapa proses yang harus dilalui untuk akhirnya bisa benar-benar mengajar. Beberapa hari pertama kulalui dengan pertemuan-pertemuan yang dipimpin oleh PKS-Kurikulum yang bertugas di seoklah ini. Beliau memberikan banyak sekali arahan dan masukan yang pasti berguna untukku dan teman-temanku. Beliau juga memberikan berbagai persyaratan yang harus kami patuhi sebagai tugas wajib untuk dikerjakan. Diantaranya adalah seputar pembuatan program tahunan, program semester, Kriteria Kelulusan Minimal untuk siswa, Kalender Pendidikan, dan Rencana Perangkat Pembelajaran. Semua itu cukup menguras waktu, tenaga dan pikiran. Tak apalah! Ini tantangan. Harus bisa, aku harus bisa!
Perjalanan aku dan teman-temanku di sini tidak dilalui sendiri. Kami diberikan seorang guru pamong yang nantinya akan bertugas membimbing kami. Dan betapa bersyukurnya aku kepada Tuhanku! Aku mendapat seorang pamong wanita yang lembut. Tidak hanya itu, aku disandingkan dengan rekan yang rajin juga. Bang Dedi namanya. Maklum, aku masih punya penyakit malas. Kadang-kadang masih suka kumat. Ha ha ha.
Baiklah, waktu yang diberikan adalah sebulan. Tapi, sesungguhnya di minggu ke dua pun kami sudah diberikan izin untuk masuk mengajar di kelas. Hanya syarat mutlaknya adalah RPP. Tidak terlalu sulitlah untuk itu.
Kukerjakan semua yang diminta (maklum, di awal memang masih rajin) ha ha ha. Di kepalaku sudah banyak rencana-rencana yang akan kulakukan di dalam kelas nanti. Pasti akan sangat menyenangkan, gumamku dalam hati. Aih, aku senyum-senyum sumringah. Takut juga kalau disangka orang gila karena senyum-senyum sendiri. Ah, tak apa! Aku memang sudah gila. Aku sudah tergila-gila dengan dunia pendidikan ini. Aku tergila-gila dengan dunia baruku. Selamat datang pengalaman baru! Selamat bertemu anak-anak didikku! Aku akan memanusiakan kalian :)
Tanpa kekerasan, tanpa ancaman. Kalian akan aman. Peluk anak-anakkuuuuuuuu...
Kecup basah. ah!

0 Kesan Pertama Itu, BOHONG!!! :)

22 September 2013
Setibanya aku di sini, perasaan takut menggerayangi seluruh syarafku. Awalnya, berjuta pertanyaan bodoh satu per satu bermunculan tanpa alasan. Aku terlalu paranoid dengan cerita selanjutnya yang akan dituliskan takdir untukku selama aku di sini, di kampung orang.
Kampung ini namanya Desa Lalang, tepatnya di Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Tanaman sawit mengepung hingga menutupi rumah-rumah penduduk. Keadaan lingkungannya pun masih sangat tradisional. Ada banyak sawah dan pohon-pohon besar juga. Situasi ini benar sangat mengejutkanku. Terlalu senyap, jauh dari hiburan apapun. Jangan bayangkan 'mall', supermarket modern hanya ada satu, yaitu yang memiliki simbol A berwarna merah darah. Yah, kalian tahu lah.
Ayo, sekarang beranjak ke tempat tinggalku. Rumah yang kutempati bersama teman-teman sekampusku ini tidak jauh dari lokasi sekolah tempatku mengajar. Lokasinya ada di dalam sawit-sawit yang membentang, tapi ada jalan kecil tempat untuk menapaki langkah kakiku. Rumahnya nyaman. Sangat nyaman! Pemilik rumah adalah sepasang suami istri yang tampak begitu harmonis. Mereka adalah Pak Udin dan Bu Pipit. Dua orang ini sangat ramah dan menerima kami dengan sangat terbuka. Perlahan ketakutanku mulai luntur. Keresahanku yang sedari tadi betah menghantui, kini sudah digantikan dengan rasa aman. Tidak butuh waktu yang lama untuk beradaptasi dengan semua ini. Ah, senangya!
Perutku keroncongan, aku lapar. Ada makanan? Wah, jangan pusingkan urusan makan. Semua sudah tersedia. Lengkap 3 kali sehari, dengan menu yang berbeda tiap segmen waktunya. Huaaa...menyenangkan bukan?!
Nah, sudah bisa dibyangkan kan? Walaupun kondisi lingkungan di sini masih sangat sepi, aku merasa senang dan nyaman. Ternyata, ketakutanku semula tidak menghasilkan fakta apapun.
Rasa betahku ini tidak berhenti di sini saja. Alasan lain kenapa aku senang adalah tidak lain karena teman-teman baruku yang ramah. Meski aku dan mereka tidak saling mengenal sebelumnya, namun tidak sulit untuk menjalin keakraban antara satu dengan yang lainnya.
Sejujurnya, aku adalah satu-satunya mahasiswa Katolik yang ada di rombongan ini. Sisanya mereka semua beragama Islam. Tapi jangan khawatirkan aku, mereka semua adalah Muslim yang taat. Muslim yang juga terbuka dengan kemajemukan. Aku diterima dengan hangat. Menyengkan? Jelas!!! Sebentar saja aku sudah menyayangi mereka semua.
Aku memang dekat dengan semua temanku. Tapi, jelas ada beberapa orang yang memang benar-benar sudah seperti belahan jiwaku. Mereka yang selalu mengerti dan sepemikiran denganku. Tanpa niat berkelompok, aku memiliki hubungan yang jauh lebih erat dengan mereka. Aku akan menyebutkan nama mereka satu-satu di cerita selanjutnya. Ini hanya pengantar saja.
Inginku ialah menulis semua ceritaku di sini, namun rasa senangku yang meluap-luap menyulitkanku untuk ingat dengan blog ini. hehehe. Maklumlah, waktuku tersita oleh canda tawa dan serangkaian kisah lainnya bersama teman-temanku di sini. Ada banyak kegiatan dan kebiasaan baru yang kulakukan di sini, hingga membuatku sedikit lupa dengan duniaku sebelumnya.
Yah, intinya banyak sekali pengalaman baru yang keperoleh di sini. Aku merasa sangat beruntung dengan goresan takdir ini. Rasa syukurku melimpahi aku yang awalnya terlalu cemas. Hingga akhirnya rasa betahku kini malah membuatku takut untuk segera berlalu dari sini. Terlalu indah.

*Kecup Hangatku untuk kalian*

0 Revisi Resensi

22 Juni 2013
halooo...
lama sudah saya tidak menulis di blog ini... Tidak ada cukup waktu dan tenaga untuk menulis di sini... Tapi, bukan berarti saya tidak menulis... Saya punya note pribadi juga di rumah :) hehehe...

Kali ini saya ingin memposting revisi dari resensi saya sebelumnya...
Puji Sang Empunya Kehidupan!!! Resesnsi saya diterimaaaa :)
Ini tulisan pertamna saya yang dipublikasikan ke khalayak umum...
Berikut revisinya... :

Judul Buku : Si Parasit Lajang
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Februari 2013
Pada Februari 2013 kemarin, Kepustakaan Populer Gramedia menerbitkan kembali buku Si Parasit Lajang karangan seorang penulis yang sangat fenomenal setelah diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2003. Penerbitan pertama buku ini benar-benar mendapat sambutan hangat dari para pembaca yang menyukai tulisan-tulisan seorang Ayu Utami. Buku ini berisi autobiografi miliknya yang mewakilkan suara hatinya sebagai seorang wanita lajang yang tangguh.

            Terdapat beberapa perubahan dalam penerbitan buku yang ke dua. Perubahan tersebut dipaparkan langsung oleh penulis yang mencantumkan penambahan beberapa poin pada pengantar yang berisi alasan mengapa seorang wasnita tidak harus menikah menurut versinya. Walau tidak banyak, perubahan tersebut cukup memberi warna baru bagi buku ini. Covernya pun berganti. Penerbitan ke dua buku ini memakai sketsa yang dibuat langsung oleh penulis. Selain yang sudah saya sebutkan, beberapa kata ataupun kalimat mendapat perubahan mengikuti perkembangan masa kini. Penyesusaian diharapkan mampu memberi 
imajinasi yang kuat bagi para pembaca yang lahir pada masa yang jauh dari masanya saat menulis buku ini. 

Membaca lembar demi lembar isi buku ini, tak ubahnya seperti membaca blog pribadi seorang Ayu Utami. Materi tulisan kebanyakan diambil dari keseharian milik penulis. Entah itu tentang pekerjaan, para sahabat, perjalanan, pemikiran feminisnya dan tentang keputusannya untuk tidak menikah di masa itu.  Pilihan yang menjadi favorit saya, adalah cerita-cerita bersama seorang teman setianya, Sahal. Benar-benar sangat alami. Banyak percakapan yang dilakukannya dengan Sahal yang menggelitik hati nurani saya dan membuat saya tersadar akan banyak hal.

Menurut saya pribadi, tulisan-tulisan dan logika berpikir yang dipaparkan Ayu Utami pada buku ini sangatlah menarik. Tulisan berjudul Parasit Lajang misalnya. Dalam bab ini Ayu Utami menuliskan alasan penyebutan Parasit Lajang bagi wanita yang memutuskan untuk tidak menikah. Ternyata penyebutan itu didapat dari seorang feminis Jepang. Menurut Ayu Utami, yang diambil dari riset temannya, kebanyakan perempuan Jepang yang karirnya maju tidak menikah. Dan wanita demikian umumnya tetap menumpang di rumah orang tua mereka, rumah yang tak perlu mereka pedulikan sebab ada ibu yang mengerjakan itu, dan ayah yang tak rela membiarkan gadisnya sendirian. Penulis  menyebut makhluk seperti ini, barangkali juga dirinya sendiri, single parasite (Parasit Lajang).
 Tulisan menarik lainnya juga ada pada bab Rocco Siffredi. Sebenarnya ini bab tentang film porno, namun bagi saya tetap ada sebuah pemikiran menarik yang didapat dari tulisan ini. Kapitalisme akan melihat manusia sebagai pasar. Karena itu kebutuhannya harus dipenuhi. Memang, persoalannya selera perempuan masih di bawah bentukan selera pria . Tapi, sekali lagi, kapitalisme juga menyediakan jalan.

Saat ini sudah mulai banyak produk kecantikan buat lelaki. Sabun dengan janji membuat muka tidak berminyak. Obat jerawat. Susu sixpack. Banyak iklam mulai mengeksplorasi sensualitas pria. Pria juga harus bagus, sebagaimana selama ini perempuan dituntut. Tentu ini tidak adil bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria bagus pada jamannya. Tapi, demi strategi, biarlah. Biar cowok-cowok itu tak seenaknya merasa berhak menilai perempuan secara fisik. Mereka juga akan dinilai sebagai objek.

Tulisan-tulisan Ayu Utami pada setiap babnya sangat frontal dan berani. Berbagai pesan yang disampaikan juga sangat menggelitik. Hampir semua karyanya yang dituang dari buku ini mengandung kebenaran. Fakta-fakta tersirat juga dikuak dalam buku ini. Sangat cerdas. Meskipun penulis menyimpang dari nilai-nilai adat, budaya, dan agama ketimuran, namun kekuatannya berfikir dan bersikap kritid tak mengurangi harganya sebagai seorang penulis permepuan yang cerdas. Sedikit ngotot dengan pendapatnya namun penulis menggunakan gaya bahasa yang halus dan tidak dengan penuh emosi.

Dalam buku ini, Ayu Utami menegaskan bahwa menikah adalah pilihan dan bukan merupakan kewajiban, khususnya buat para wanita. Tidak ataupun belum menikah bukanlah merupakan sebuah aib yang memalukan yang harus diratapi. Wanita lajang yang sudah berumur tidak harus dikucilkan dan dirasa 'tidak laku'. Sebab dengan menggunakan sebuah riset seorang temannya yang merupakan wanita Jepang, dia mengatakan bahwa wanita lajang di Jepang jauh lebih sukse dengan yang menikah. Jadi jelas bahwa harga wanita single itu mahal.

Buku ini baik sekali untuki menjadi bahan bacaan setiap wanita yang memilih untuk tetap 'single' ,aupun beluim siap berhadapan dengan pernikahan. Para wanita yang belum ata8upun tidak menikah dengan alasan apapun tidak perlu merasa cemas dan minder dengan status yang mereka sandang. Pilihan untuk tidak menikah bukanlah pilihan yang 'haram' sebenarnya. Tidak sepatutnya wanita lajang itu merasa malu dan rendah diri. Melalui buku ini, para wanita dapat lebih percaya diri dengan keberadaannya. Bahwa wanita tidak lagi harus menerima begitu saja apa yang menjadi jalan hidupnya mengenai statusnya sebagai wanita yang harus menjadi 'istri' atau apapun. Wanita berhak memilih jalan hidupnya. 
Nilai humanis dan kebebasan memilih sangat ditonjolkan pada tulisan-tulisannya. Perlindungan hak-hak wanita sebagai manusia sangat dibahsa dan mendapat banyak proteksi dari penulis yang juga sangat getol mengkampanyekan tentang ideologi-ideologi feminisnya.  Byuku ini perlu menjadi bacaan para pria juga agar cara berpikir pria dapat lebigh 'open minded'. Pria harusnya melindungi wanita dan bukan menjadikan wanita sebagai objek dan memainkannya.

Ayu Utami menyadarkan dan mengetuk hati nurani kita dengan sangat lantang tentang hasil aplikatif yang realistis mengenai nilai-nilai dan pelajaran mengenai agama yang menhikat kita. Ditegaskan dalam kutipannya berikut ini: “Saya teringat seorang teman. Dia pria, sudah menikah, dan punya pacar lagi. Si pacar mau bersetubuh dengan dia tetapi dia hanya mau jika mereka menikah. Saya bilang, “Kenapa tidak berzinah saja?” Ia jawab, “Nanti Tuhan menangis.” Saya katakan lagi, “Kenapa kamu memilih menyakiti istrimu, pihak yang le

Benar-benar buku yang sangat cerdas. Kemampuan berbahasa Ayu Utami sangat membantunya untuk membuat buku ini tidak terasa berat. Keberpihakannya kepada kaum feminis juga tidak terlalu mencolok dan memojokkan kaum pria. Ayu memang mengangkat sisi kekuatan dari seorang wanita lajang yang berkomitmen untuk hidup secara bebas, namun ia juga tidak ‘menjatuhkan’ para pria yang cenderung menjadi syarat utama wanita untuk bahagia.

Kelemahan dari buku ini ialah sulit diterima oleh beberapa golongan yang bertentangan dengan kaum feminis. Buku ini sebenarnya dapat dibaca oleh semua golongan, hanya saja tentu sulit. Mengapa? Banyak ideologi-ideologi ataupun pandangan yang sangat jauh berbeda dari yang kebanyakan yang diungkap di sini. Sehingga pandangan tersebut terpojok oleh keadaan pada umumnya. Soalnya Ayu Utami telah menembus zona nyaman keterikatan seorang wanita pada nilai-nilai kuno yang kaku. . Selain itu, adat, budaya, dan agama yang masih dalam area ketimuran sangat-sangat di'terobosnya' lewat begoitu saja. Lawannya adalah mereka yang mengagungkan nilai-nilai itu semua. Namun, apa yang telah disampaikan penulis sebenarnya sangat benar. Ayu Utami sangat berani dan kritis. Ayu Utami adalah Kartini reformasi bagi saya

2 Resensi : Si Parasit Lajang (Ayu Utami)

10 Juni 2013
Hai sahabat, kali ini saya mulai belajar meresensi sebuah buku. Awalnya saya terinspirasi oleh sebuah tawaran yang berasal dari seorang senior saya untuk menulis di rubrik 'resensi' majalah yang dikelola oleh beliau. Sebenarnya saya diminta untuk meresensi 'Gadis Pantai' karya Pram, namun karena ada kesalahan komunikasi di antara kami, resensi novel tersebut ternyata sudah pernah terbit. Dengan deadline satu hari lagi, saya dipaksa untuk meresensi buku lain yang baru saya baca. Setelah bingung mencari, saya menjatuhkan pilihan pada buku karangan Ayu Utami, Si Parasit Lajang. Berikut resensi saya :


Judul Buku : Si Parasit Lajang
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Februari 2013

Kali ini saya sangat tertarik untuk meresensi buku karangan Ayu Utami yang berjudul ‘Si Parasit Lajang’. Pada Februari 2013 kemarin, Kepustakaan Populer Gramedia menerbitkan kembali buku ini setelah diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2003. Penerbitan pertama oleh Gagas Media mendapat sambutan hangat dari para pembaca yang menyukai tulisan-tulisan seorang Ayu Utami.
            Buku ‘Si Parasit Lajang’ yang kembali diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia ini memiliki beberapa perubahan (baik penambahan dan pengurangan) pada beberapa isinya. Salah satu yang sangat menonjol adalah beberapa alasan penulis mengapa ia memilih untuk tidak menikah pada saat menulis buku ini. Perubahan lain yang tampak jelas terletak pada cover. Untuk terbitan tahun 2013 ini, Ayu Utami menciptakan sketsanya sendiri untuk cover buku ‘Si Parasit Lajang’.
Saat membaca buku ini, tak ubahnya seperti membaca blog pribadi Ayu Utami. Materi tulisan kebanyakan diambil dari keseharian penulis. Entah itu tentang pekerjaan, para sahabat, perjalanan, pemikiran feminisnya dan tentang keputusannya untuk tidak menikah di masa itu.  Pilihan yang menjadi favorit saya, adalah cerita-cerita bersama seorang teman setianya, Sahal.
Menurut saya pribadi, tulisan-tulisan dan logika berpikir yang dipaparkan Ayu Utami pada buku ini sangatlah menarik. Tulisan berjudul Parasit Lajang misalnya. Dalam bab ini Ayu Utami menuliskan alasan penyebutan Parasit Lajang bagi wanita yang memutuskan untuk tidak menikah. Ternyata penyebutan itu didapat dari seorang feminis Jepang.
Menurut Ayu Utami, yang diambil dari riset temannya, kebanyakan perempuan Jepang yang karirnya maju tidak menikah. Dan wanita demikian umumnya tetap menumpang di rumah orang tua mereka, rumah yang tak perlu mereka pedulikan sebab ada ibu yang mengerjakan itu, dan ayah yang tak rela membiarkan gadisnya sendirian. Penulis  menyebut makhluk seperti ini, barangkali juga dirinya sendiri, single parasite (Parasit Lajang).
Tulisan menarik lainnya juga ada pada bab Rocco Siffredi. Sebenarnya ini bab tentang film porno, namun bagi saya tetap ada sebuah pemikiran menarik yang didapat dari tulisan ini. Kapitalisme akan melihat manusia sebagai pasar. Karena itu kebutuhannya harus dipenuhi. Memang, persoalannya selera perempuan masih di bawah bentukan selera pria . Tapi, sekali lagi, kapitalisme juga menyediakan jalan.
Saat ini sudah mulai banyak produk kecantikan buat lelaki. Sabun dengan janji membuat muka tidak berminyak. Obat jerawat. Susu sixpack. Banyak iklam mulai mengeksplorasi sensualitas pria. Pria juga harus bagus, sebagaimana selama ini perempuan dituntut. Tentu ini tidak adil bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria bagus pada jamannya. Tapi, demi strategi, biarlah. Biar cowok-cowok itu tak seenaknya merasa berhak menilai perempuan secara fisik. Mereka juga akan dinilai sebagai objek.
Tulisan-tulisan Ayu Utami pada setiap babnya sangat frontal dan berani. Berbagai pesan yang disampaikan juga sangat menggelitik. Hampir semua karyanya yang dituang dari buku ini mengandung kebenaran. Fakta-fakta tersirat juga dikuak dalam buku ini. Sangat cerdas.
Bahasa yang digunakan juga sangat mudah dipahami. Sehingga membuat pembaca seolah sedang bertatap muka dengan penulis. Tidak bertele-tele, singkat, lugas, dan padat adalah gaya menulis Ayu Utami yang dituangkan di sini. Keberpihakannya kepada kaum feminis juga tidak terlalu mencolok dan memojokkan kaum pria. Ayu memang mengangkat sisi kekuatan dari seorang wanita lajang yang berkomitmen untuk hidup secara bebas, namun ia juga tidak ‘menjatuhkan’ para pria yang cenderung menjadi syarat utama wanita untuk bahagia.

Kelemahan dari buku ini ialah sulit diterima oleh beberapa golongan yang bertentangan dengan kaum feminis. Buku ini sebenarnya dapat dibaca oleh semua golongan, hanya saja tentu sulit. Mengapa? Banyak ideologi-ideologi ataupun pandangan yang sangat jauh berbeda dari yang kebanyakan yang diungkap di sini. Sehingga pandangan tersebut terpojok oleh keadaan pada umumnya. Soalnya Ayu Utami telah menembus zona nyaman keterikatan seorang wanita pada nilai-nilai kuno yang kaku. Ayu Utami adalah Kartini reformasi bagi saya.

oleh : Bernadette Putri Amelia (puu)
@BernPutriA

0 kuGILAi malam

1 Juni 2013
Setiap menjelang malam, selalu saja aku riang. Enggan terlelap. Kucintai malam yang teduh ini. Hanya di sini, aku merasakan kedamaian yang menenangkan. Malam membalutku dengan sangat damai. Tak akan. Tak akan kulewati malam ini dengan tergesa-gesa.

Sebenarnya lelah. Namun, mata dan jiwa enggan beristirahat. Kulewati jam-jam istirahat dengan diam. Di saat semua orang terlelap dalam mimpi mereka, aku masih di sini duduk termenung menikmati keteduhan malam. Ini bukan penyakit. Bukan juga ikut-ikutan trend. Tapi menurutku, inilah passion.

Tak dapat kujelaskan mengapa aku sangat menggilai malam. Walaupun mataku membengkak akibat kurang tidur, namun semuanya tak menjadi begitu berarti. Malam membuatku tenang. Mata yang merah, wajah yang sembab, tetap tertutupi dengan teduhnya rasaku.

Memang aneh kalau dipikir-pikir. Semuanya terasa percuma. Sia-sia. Tapi di sinilah letak kenikmatan itu. Damainya malam, tak dapat digantikan dengan apapun. Aku betah di sini. Dengan sendiriku aku bebas.

0 nyawa ( kosong )

Menulis dengan nyawa.
Kalimat itu memaksaku untuk terus merenung. Saat aku membaca sebuah buku ‘best seller’ milik salah seorang tokoh penulis yang terkenal di Indonesia. Aku tahu tapi sesungguhnya aku tak memahaminya. ‘kamu hanya menulis dengan serangkaian kata yang kamu pilih. Bagus, namun tak bernyawa’ Mirip sekali. Ya, kalimat yang ada di buku yang kubaca sama persisnya dengan sebuah komentar yang aku terima dari seseorang yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Entah aku ini terlalu berlebihan menyebut orang itu demikian, namun begitulah yang kurasakan. Dia membawaku terbang bebas. Memaknai hidup dengan keaslian. Kurasa dia sangat hebat dalam menilai sesuatu. Dia benar, aku sendiri mengakui itu. Aku seperti kehilangan nyawa. Yang aku sadari bahwa nyawa itu hanya datang jika aku menulis secara jujur. Menggambar isi hati dengan kata-kata yang polos. Mengalir. Tanpa harus takut salah. ‘Nyawa...’ gumamku dalam hati. Masih dalam posisi telentang aku menghadap langit-langit kamarku. Diam sejenak lalu mulai menelusuri ingatan demi ingatan terdahulu. Aku masuk ke dalam rekaman-rekaman histori perjalanan hidupku. Banyak sekali. Sampai-sampai aku hampir melupakan sebagian dari apa yang pernah aku lewati. Kisah demi kisah kubaca abstrak dalam memori otakku. Seperti sedang menonton film, aku menonton diriku sendiri. Di sana, di alam ingatan itu. Aku menemukan nyawa. Banyak kejujuran yang semakin terkikis oleh tuntutan keadaan. Nyawa itu, kejujuranku menjalani hidup. Kejujuran yang kumaksud adalah keberanianku menyuarakan inginku. Cita-cita, hobi, minat, bakat, dan usahaku untuk mereka. Saat aku menjadi diriku sendiri. Bersahabat dengan mereka. Berkelakar dalam imajinasi di luar nalar manusia. Duniaku, tempat dimana aku bebas mengekspresikan segalaku. Tanpa harus menjadi siapa agar apa. Aku, dulu di duniaku bersama dengan kejujuranku. Kini, aku sendiripun merasa, nyawaku hilang terbang. Hari demi hari bergulir dengan biasanya. Tak ada minat, hasrat, dan rasa antusias. Semua terjadi saja dengan seadanya. Mengalir seperti air yang akhirnya akan bermuara ke laut.  Diam, tenggelam, dan lenyap. Belum sampai aku di sana. Masih dalam perjalanan terhanyut dalam arusnya. Aku belum lenyap. Tersadar dalam diam, bantalku basah. Airmata menggenangi sudut kiri dan kanan mataku. Mereka membasahi pipi kanan dan kiri lalu tumpah terserap oleh kain bantal merah jambu milikku. Aku menghela nafas panjang, lalu tersendat membuangnya. ‘Dimana nyawa itu’ aku bergumam. Hatiku seolah berbicara. ‘Dia di sini. Segera temukan dia. Kau mampu’ Seperti berdialog dengan seorang kawan, aku berdialog dengan diriku sendiri, suara hatiku. ‘Apakah aku mampu?’ Ya, aku tak yakin apakah aku akan mampu kembali menjadi aku yang ‘bernyawa’. Dikte dan larangan sudah terlalu tebal menutupi hasrat ini. Tekanan dan ketakutan biasa menghujaniku. Keterbatasan dan keadaan membuatku harus berpikir realistis. Keadaan yang memaksa tunduk kepada realita. Apa itu realita? Sebegitu kejamnyakah hingga ia merampas nyawaku? Aku hidup, tapi dalam kekosongan. Semua merupakan paksaan. Semua ini paksaan! Aku harus menjadi itu karena supaya aku bagaimana. Aku harus begini supaya aku begitu. Hal terburuk yang menjadi dampaknya adalah aku. Aku yang sekarang ini. Aku yang biasa dengan dikte dan kekangan. Aku yang terkekang dengan batasan realita. Bermimpi setinggi langit-langit kamarku pun aku takut. Takut terjatuh dan merasakan sakit. Dimana semua mimpi-mimpiku? Kejujuranku menjadi diriku sendiri, kini hilang. Lenyap. Perjalananku hanya sebuah kebohongan. Aku bukanlah diriku. Kini, aku masih menjadi aku yang memaksa mencoba menjadi siapa. Berlaku demikian supaya apa dan bagaimana. Terpaksa, untuk menyenangkan hati-hati mereka yang inginkan aku begini begitu. Keadaan. Salah satunya adalah keadaan selain orang tuaku. Realita ini begitu kejam sampai-sampai dia merampas nyawaku. Jangan salahkan aku, aku kini hilang hasrat. Menjalani semuanya hanya demi menjalankan kewajiban. Demi memuaskan orang lain. Bukan memuaskanku. Dalam keadaan masih terlentang, aku menutup mataku yang terasa perih akibat menagis terlalu lama, lalu kembali menghela nafas panjang. Aku bangkit perlahan dan mengambil langkah kecil kearah cermin. Aku melihat wajahku. Tanpa ekspresi, datar. Kusoroti kedua mata yang adalah mataku. Kulihat kedalam, dalam, dalam, aku mendapatinya. Terlalu jauh. Nyawa ku sudah terlalu jauh tertanam di sana. Jauh. Terlalu lelah untuk mengambilnya kembali. Biarlah aku menjadi diriku ini yang entah siapa. Agar aku dapat menjadi apa dan bagaimana. Dan hasratku, biarkan kujamah mereka dalam diamku, kekosonganku. Aku (terpaksa) bahagia. Bahagia dalam diri yang lain. Siapa yang akan menjadi apa. Aku yang berbeda dengan aku yang terdahulu.

0 9 NYAWA

31 Mei 2013

Manusia dengan 9 nyawa. Begitulah pantasnya gadis itu disapa. Entah apa yang membuatnya selalu terhindar dari kematian. Padahal, maut tak bosan-bosan mendekati dan menyapanya. Sejak bayi, dia sudah sakit-sakitan. Serangan penyakit mematikan bertubi-tubi datang menyerang, namun ia tetap bertahan. Tubuh yang kecil mungil sudah harus dihiasi dengan segala jenis selang untuk bertahan hidup. Kulit halus nan lembut pun dipenuhi dengan jahitan-jahitan mengerikan. Dia tampak begitu bersahabat dengan alat-alat rumah sakit yang membantunya bernafas, meskipun tersenggal-senggal. Menggenaskan sekali nasib gadis malang itu. Rumah sakit menjadi ‘rumah kedua’ baginya.
Beruntung dia memiliki sepasang kakek dan nenek yang luar biasa, serta keluarga yang amat sangat menyayanginya. Harapan hidup adalah sebuah ucapan penghiburan semata dari semua orang yang menjenguk bayi mungil itu, kemudian merasa iba. Namun hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan optimisme keluarganya untuk menanti kesembuhan bagi dia. Oh, bayi mungil yang malang.
Akhirnya semangat sokongan keluarga yang benar-benar mengharapkan kesembuhan bagi si bayi malang tidak sia-sia. Semua harapan dan usaha mereka berbuah manis. Bayi yang lemah kini telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang amat sehat, cantik, dan cerdas. Setiap bertemu siapa saja yang ‘pasrah’ dengan kondisinya terdahulu, gadis itu selalu mendengar kata-kata yang mencerminkan ekspresi takjub dan haru. Air muka mereka tampak berpeluh, heran dirasa. Mereka tak henti memeluk dan menciumi gadis yang memiliki 9 nyawa tersebut. Semua memuji kebesaran Sang Empunya kehidupan. Segala ucapan syukur keluar dari mulut-mulut mereka yang tak menyangka bahwa gadis ini masih mampu bertahan dan bertumbuh hingga dewasa.
Mendengar segala kesaksian yang diutarakan oleh semua orang tentangnya dan dikuatkan oleh dokumentasi foto-foto saat masa-masa operasinya, dia merasa bahwa hidup ini bukan sekedar kehidupan baginya. Artinya, apa yang dialaminya bukan hal lumrah yang dialami orang kebanyakan. Dia merasa ‘terpilih’ unutk menerima hadiah nyawa kehidupan ini. Nyawa kedua baginya. Kehidupan kedua atau apalah namanya. Dia sangat bersyukur. Walau bekas jahitan yang mengerikan masih mengiasi sebagian tubuhnya, namun gadis itu tetap bersyukur.
Saya sangat menaruh simpati pada keluarganya. Benar-benar optimisme yang luar biasa! Tanpa ada mereka yang menyokong dengan harapan, mungkin tak akan pernah ada seorang gadis yang bertumbuh hingga berusia 20 tahun sekarang ini. Tidak akan ada dia, si gadis dengan 9 nyawa. Pahamilah, kekuatan sebuah harapan itu sangat luar biasa! Kepercayaan mampu mengubah situasi sekitar kita. Ya, berpikirlah bahwa kamu bahagia, maka kamu akan bahagia! Coba saja kalau tidak percaya. Hehehe.
Hal yang mustahil, terasa sangat mungkin apabila pola pikir kita dapat memiliki konsep yang sangat matang mengenai optimisme hidup. Berjuang, percaya, dan lakukan. Kita akan menjadi makhluk yang kesekian untuk menjadi seperti gadis itu. Makhluk yang terpilih. Mungkin.

0 untittled~

27 Mei 2013
Mendamba cahaya masuk ke relung jiwa
Aku benci malam
Aku benci malam merampas cahaya yang kudamba
Malam tak hadirkan terang
Malam tak persilahkan ia datang
Ia...
Bayangan yang lahir atas nama terang
Aku masih setia mendamba terang hingga bayangan datang
Tak ku hirau aku menghamba
Aku menghamba pada terang
Kau pasti datang bayangan yang lahir atas nama terang

-putriamelia 8/4/13-

0 kala itu~

Nyanyian hujan dini hari ini membiusku.

Hening. Sepi.


Aku diam.


Sukmaku hilang.


Eksistensinya melemah.


Kosong.


Nyanyian hujan dini hari ini terdengar menggodaku.


Aku dibuatnya tinggi oleh desahan angin yang berdesir.


Pikiranku melayang.


Terbang.


Sadarku hilang.


Mengawang. Menggerayang kenangan.


Di persimpangan jalan. Kala itu. Nyanyian hujan mencumbui kita.


Kala itu. Kala itu. Ya. Kala itu.

0 -Bilakah?-

Bilakah kelakar kita tercipta?

Duduk di sini


Aku menunggu


Aku selalu dengan abdiku


Mari temui


Duduk di sini


Suarakan hasratmu


Wakilkan dia dalam sen
yum


Mari di sini


Aku menunggu


Bilakah kau sudi mampir?

Aku masih sama dengan abdiku


Sini kemari


Bawa ini


Bawa abdiku


Bersamamu


Bilakah itu? Bilakah?


Entah.



P.A.17.4.13

0 hujan...

Hujan...

jangan binasakan malam...

Aku tau malam itu gelap, tp dia adalah tempat dimana bulan bertahta...


Malam tak seburuk apa yg dituliskan sejarah tentangnya...


jangan hujan, jangan habisi malam...

1 cerita tentang kawan

Tawa kita adalah harmonisasi melodi-melodi indah.
Kita adalah bahagia, kawan.
Melukis mimpi kita bersama.
Berkumpul dalam dimensi ruang sempit ini.
Namun gairah kita tak dibatasi olehnya.
Kawan, ini mimpi kita. Gantungkan ia pada cakrawala yang membentang.
Tertawalah bahagia.
Karna kita satu.
Karna kita bersama.
Karna kita bisa.
Tertawalah bahagia dengan asa yang ada. Cita-cita.
Dan ia pasti nyata.