Saya
mengikuti sebuah aksi orasi dalam rangka memperingati International Women’s Day
(IWD) pada tanggal 8 Maret 2013 silam. Aksi orasi ini merupakan bentuk
partisipasi mahasiswa yang perduli dengan isu-isu perempuan yang marak beredar
di ranah publik akhir-akhir ini. Ada sekitar 8 organisasi yang menaruh sumbangsih
dalam kegiatan ini, diantaranya beberapa organisasi mahasiswa, organisasi yang
bergerak membela kaum perempuan, organisasi yang peduli dengan nasib kaum tani,
dan organisasi masyarakat lainnya. Saya bersama puluhan massa berkumpul di Tugu
SIB, tempat yang sudah disepakati sebelumnya untuk kami berkumpul.
Masing-masing
dari kami memegang sebuah poster dan spanduk-spanduk yang berisikan protes kami
terhadap diskriminasi kaum perempuan di negeri ini. Ada poster yang bertuliskan
‘Hentikan Pelecehan Seksual Kepada Kaum Perempuan!!!’, ‘Berikan Cuti Haid
Kepada Perempuan!!!’, ‘Tubuh Perempuan Bukan Objek Penjualan Kaum Kapitalis!!!’,
‘Berikan Ruang Gerak Politik Yang Bebas Bagi Kaum Perempuan!!!’, dan lain
sebagainya. Dari beberapa aspirasi yang ditulis di atas, jelas bahwa
permasalahan perempuan saat ini sangat memprihatinkan, khususnya di negeri ini.
Komnas
Perempuan mencatat dalam waktu 13 tahun terakhir ini ada sekitar 93.690 kasus
kekerasan seksual yang dilaporkan. Artinya, setiap hari ada 20 perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual. Pada tahun 2011, Komnas Perempuan mencatat
ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 4.377 kasus diantaranya
merupakan kasus kekerasan seksual. Fakta ini sangat mengiris perasaan kami yang
sadar dengan permasalahan ini.
Pada
pukul 10.30 WIB, kami memulai aksi kami dan menyiapkan mental dan tekad kami
untuk ‘berperang’. Kami turun ke jalan dan memadati hampir ¾ jalanan yang
notabene merupakan jalanan padat kota. Alhasil kemacetan terjadi dan tak
sedikit mata yang memandang ke arah kami. Ada yang memandang sinis, ada yang
tertawa, bahkan ada yang mengambil gambar kami saat sedang melakukan aksi.
Kami
berbaris rapi, lengkap dengan spanduk, bendera Indonesia dan bendera
masing-masing organisasi, spanduk-spanduk besar, dan sebuah pita ‘pink’ yang
mengikat tangan kiri kami. Terlihat beberapa kaum pria yang ikut andil dalam
barisan kami. Ini membuktikan bahwa permasalah isu perempuan bukan hanya kaum
perempuan yang perduli, melainkan juga kaum pria yang sadar akan kesenjangan
dalam stratifikasi gender yang membelenggu.
Ketua
koordinator memberi aba-aba dan orasi singkatnya. Kemudian dilanjutkan oleh
salah seorang mahasiswa yang merupakan ketua dari sebuah kelompok studi mahasiswa.
Beberapa aparat kepolisian mendampingi kami dan tetap memantau kegiatan kami.
Aksi berjalan lancar dan aman tanpa ada tindakan anarkisme. Wajar saja, hampir
setengah dari kami adalah ibu-ibu yang sudah hampir lanjut usianya. Tidak mungkin
anarkisme terjadi. Kemungkinannya sangat kecil.
Setelah
kurang lebih 1 jam kami berorasi di samping Tugu SIB, kami melanjutkan
perjalanan kami menuju kantor DPRD Sumatera Utara. Kami semua berjalan kaki
dengan berbaris rapi. Jalanan semakin padat, smapai-sampai aparat kepolisian
mengalihkan pengendara bermotor ke jalan yang lain. Di sepanjang jalan kami
meneriakkan aspirasi kami dan bernyanyi ‘yale-yale’ dengan semangat. Panasnya terik
siang itu tak menyurutkan langkah kami untuk terus melanjutkan kegiatan kami. Secara
serentak kami bernyanyi nyanyian yang katanya memang merupakan nyanyian wajib
bagi massa yang melakukan aksi demonstrasi.
Sejujurnya,
saya sendiri baru pertama kali mengikuti aksi semacam ini. Rasa canggung pasti
ada, namun semangat teman-teman seperjuangan lainnya membuat saya melebur dan akhirnya
mampu menyatukan diri dengan mereka. Saya melihat semangat juang yang tinggi
dari para mahasiswa dan masyarakat yang perduli dengan nasib perempuan di
negeri ini. Saya terharu dengan semuanya ini. Kalau dulu saya hanya bisa
melihat dari jauh dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang diinginkan para
demonstran ini sehingga melakukan demonstrasinya, namun sekarang saya sudah
paham untuk apa ini semua dilakukan. Aspirasi rakyat dibelenggu.
Di
depan kantor DPRD Sumatera Utara, terlihat pagar-pagar duri menghiasi depan
kantor DPRD Sumut tersebut. Timbul pertanyaan dalam benak saya mengapa harus
dipagari dengan seketat ini? Bukankah kantor ini adalah rumah kami, rumah
rakyat? Tidak adakah hak kami untuk menyuarakan isi hati kami kepada para wakil-wakil
kami? Orang-orang yang berbahayakah kami sehingga para wakil rakyat kami takut
kepada kami dengan memenuhi semua area dengan pagar-pagar besi berduri? Kami tidak
akan anarkis kalau kami diperlakukan dengan baik. Sadarkah kita semua akan hal
itu?
Semua
yang ada di depan kami tak menyurutkan niat kami untuk terus berorasi. Setelah beberapa
jam berlalu, tampak sekumpulan bapak-bapak pejabat keluar mendekati kami dengan
dikawal oleh aparat keamanan. Mereka berjarak sekitar 5 meter di hadapan kami,
berdiri dan mendengar suara-suara kami. Kemudian salah seorang dari mereka
menanggapi setiap permohonan kami. Tidak begitu lama, hanya sekitar 5 menit
saja beliau berbicara di hadapan kami. Dengan sigap kami pun meminta izin untuk
mengirimkan sebuah fax kepada beberapa lembaga terkait di ibu kota. 2 orang
dari barisan kami, mewakili untuk masuk ke dalam gedung DPRD untuk mengirim
poin-poin permohonan kami melalui fax.
Aksi
berjalan mulus dan kami pun masih menanti tanggapan dari para petinggi negara
terhadap aspirasi kami ini. Semoga saja, keberadaan perempuan di negeri ini
lebih diperhatikan dan dilindungi hak-haknya. Semoga.