0 Kado Natal

24 Desember 2014

Sebuah kado mungkin acap kali kita bayangkan sebagai sesuatu hal indah dan menggembirakan hati. Kado adalah harapan dan misteri tersembunyi yang ingin kita dapatkan. Saat perayaan besar, kita sering mengharapkan kado sebagai pelengkap sebuah perayaan itu. Apapun jeisnya, apapun ukurannya, seberapapun harganya, kado tetaplah menyenangkan. Dan aku, aku sangat suka kado!

Namun beriring waktu, aku menemukan sebuah fakta hebat yangmengejutkan. Sebuah kado tak selamanya memberi rasa bahagia. Kado yang melahirkan rasa sakit serta keperihan. Hati teriris dan jiwa seolah remuk saat harus menerima sebuah kado yang tak menyenangkan hati. Layakkah ini disebut sebuah kado?

Saat kali pertama kuterima kado itu dengan tanganku, rasa sakitnya belum begitu terasa. Saat kugenggam kado itu dengan penuh rasa penasaran, semakin kurasakan sakit yang menyiksa. Ada rasa panas seperti bara api yang membakar setiap sendi. Kubuka perlahan, mataku mendadak kabur dan airmata menggenang di situ. Air mataku tertumpah dan berubah menjadi titik-titik darah. Kuangkat kado yang kubuka tadi, sinarnya menusuk dan masuk ke dalam pori-pori kulit mikron per mikron. Sekujur tubuhku kaku. Ada rasa sakit yang tak tertahankan! Perih. Airmataku seketika membeku. Otakku tergerogoti oleh hewan-hewan kecil yang entah datang dari mana. Kurasakan sakit pada setiap organ dalamku. Mendadak darah termuntahkan dari rongga mulutku. Rasa sakit ini, rasa perih ini, ah tolong aku! Tolong! Tanganku terikat oleh tali emas yang tak tahu entah muncul darimana pula. Leherku serasa tercekik! Aku tak bisa bernafas dengan baik! Aku sesak! Tolong... tolong aku! Aku mulai lemas tak berdaya. Aku tersungkur. Mendadak saat itu telingaku dipekakkan oleh suara nyaring yang mengganggu poendengaranku. Aduh! Suara itu semakin kuat! Telingaku seperti tercucuk jarum demi jarum, sakit sekali! Kepalaku pusing. Pandangan mataku kabur. Aku menyerah! Aku menyeraaaaaaaah! Bapa... tolong... Bapaaaaaa!

Bapa? Siapa Bapa? Siapa? Tuhan? Saat sakit ingat Tuhan?

Suara itu menertawakanku. Semakin ramai dan smakin kuat. Mereka menertyawakan dan mengolok-olokku.

Jiwamu sudah kami tawan! Sebentar lagi kau pasti mati! Mati! Tapiu tidak secepat itu, kau harus menderita. Sebab deritamu adalah kesukaan bagi kami. Dasar manusia bodoh!!!

Ahhh, diam!!!!

Tuhan. Tolong. Tuhan. Tolong!!!!!

Mulutku yang penuh gumpalan darah, mulai kupakai untuk bernyanyi. Memuji dan menyembah. Entah siapa, tapi hatiku tertambat padaNya. Semakin aku memuji, semakin sakit rasa perihku. Semakin aku menyembah, semakin sesak leherku tercekik. Tuhan!!! Tolong!!!

Aku pingsan.

Saat mataku terbuka, banyak lilin yang mengelilingiku. Sekitarku sangat gelap! Gelap! Aku tak bisa melihat apapun. Dimana aku? Dimana?

Aku lahir, untukmu. Aku datang, untuk menyelamatkanmu. Jangan takut, hidupku kini milikku.

Siapa kau? Siapa?

Akulah yang kau panggil. Akulah yang kau sembah. Aku, datang untukmu.

Kurasakan suara itu memelukku. Suara itu menenangkanku. Suara itu melepaskanku dari rasa sakit dan perih itu. Saat aku menangis, semua perlahan lenyap. Kesakitanku tak lagi menjerat. Aku bebas! Aku bebas!

Tuan! Aku ingin ikut engkau!!!

Bukan Tuan. Tetatpi TUHAN. Akulah TUHANmu. Aku datang untuk menyelamatkan mu dari jerat maut musuhku. Kini kau aman.

TUHAN!!!
AKU MAU SETIA!!!
AKU MAU HIDUP SESUAI INGINMU!!!

Saat aku coba mulai berjalan, kurasakan ada tangan yang menggenggam erat tanganku. Ada sinar yang melingkupiku sebagai pelindung. Hidupku kini tak seberat dulu. Aku bebas!

Dan kurasakan sebuah suara yang kukenali berbisik di telingaku,

Kado itu, kado itu adalah pemberianku. Agar aku dapat mengambil kembali hatimu.
Selamat Natal, anakku.

MEDAN, 24 Desember 2014
Oleh: PUTRI (Nangbidok)

1 Kalau Masih 'Galau', Berarti Akalnya Belum Sehat

29 November 2014
"Anjing!"
"Kau yang anjing!"
"Setan!"
"Cuih!"
"Apa? Menantang kau?"
"Diam, biadab!"
"Berhenti memaki!!! Kalau tidak akan kuhabisi kau."
"Nah, habisi saja!"
"Kau... Argggghhhh!"
"Kenapa tidak jadi? Lakukan saja! Tidak berani?"
"Taik!"
"Hei... Mengapa lari? Hei... Selesaikan dulu ini."

Akankah kita menyangka bahwa perseturuan itu dilakukan oleh sepasang kekasih yang pada 20 jam lalu masih memadu kasih? Hubungan yang boleh dikatakan cukup matang karena sudah terjalin selama 5 tahun.Tidakkah ini sesuatu yang sangat membingungkan? Perjalanan yang tidak sebentar itu harus berakhir dengan sebuah perseturuan yang dihujani cacian dan makian. sungguh ironis.

Aku tak paham mengapa banyak sekali hal berlalu dan berubah begitu cepat. Sungguh, terlalu cepat. Hingga tak ada jeda untuk mempersiapkan diri menghadapi setiap keadaan yang berbanding terbalik dari sebelumnya. Aku pernah mendengar kisah tentang seorang suami yang menceraikan istrinya karena tak lagi memiliki tubuh yang molek. Ada pula kisah mengenai seorang istri yang menceraikan suaminya karena mulai mengalami ejakulasi dini. Merasa tidak terpuaskan, sang istri akhirnya berselingkuh dan menggugat cerai suaminya.

Aneh. Dunia memang benar-benar sudah gila. Wanita yang baik ketika berhadapan dengan seorang lelaki yang mengecewakannya, ia langsung mengutuki semua lelaki yang ada di muka bumi ini. Segala sumpah serapah dan amarah ia tumpahkan di segala jenis media sosial; facebook, twitter, friendster, BBM, dan lainnya.
"Dasar laki-laki! SEMUA samaaaaaaa aja! Buaya darat."
Untung saja Meggy Z sedang tidur, kalau tidak beliau pasti akan memberontak dengan lagu andalannya; tidak semua laki-laki i i i~~~
Hahaha.
Dan seorang pria yang sedang patahati karena dikecewakan pasangan wanitanya pun merasa bahwa wanita adalah 'Racun Dunia'. Menuduh semua wanita sama saja. Lalu kemudian menangis sambil menyanyikan lagu Changcutters; Wanita... Racun duniaaa~~~

Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa selalu bias? Sama seperti kondisi pertikaian di atas. Hubungan yang terjalin lama akhirnya rusak oleh karena sebuah masalah yang terjadi mungkin hanya menyerang beberapa menit saja. Adilkah jika kenangan bersama selama bertahun-tahun itu harus rusak karena satu permasalahan yang muncul sekali ini? Mengapa bias? Kemarau setahun terhapus oleh hujan sehari. Apakah tidak ada lagi toleransi bagi masalah yang terjadi sehingga harus memutuskan untuk berpisah? Apakah otak sudah terlalu mendidih sehingga hanya caci maki saja yang keluar seolah-olah usaha dalam pemecahan masalah? Ini benar-benar tidak adil.

Mengapa tidak mengingat kembali saja masa-masa indah saat pertama kali jatuh cinta? Tidakkah itu indah? Mengapa memutuskan untuk burusburu berpisah? Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Selalu ada jalan keluar untuk sebuah hambatan. Pasti ada. Ditunggu saja.

Jangan mau menjadi manusia musiman. Terlalu mudah berubah dan bertindak sesuai musim; keadaan. Bertindaklah hati-hati. Jangan mudah mengambil keputusan saat hati sedang panas. Ambil waktu untuk mengkoreksi diri sendiri dulu, agar tercipta pemikiran dan pertimbangan yang sehat. Agar dampat dari keputusan yang diambil pun sehat-sehat juga.

Kalau masih sakit hati dan 'galau', berarti belum sehat. Keputusan tersebut masih diproduksi oleh akal yang sakit. Sehatkan segera pikiran dan akal. Yakin bahwa akan selalu ada penyelesaian yang menyelesaikan. Bukan malah menambah daftar masalah yang harus dicari penyelesaiannya.

Tulisan ini pun mungkin masih akan menjadi sebuah tulisan dan menjadi pertingatan juga bagiku. Sebab akupun masih sama dengan manusia kebanyakan, gegabah dalam menetapkan keputusan.

Semoga kita dapat sama-sama belajar menghargai sebuah proses dan bersabar menanti hasil yang baik pada waktu yang baik pula. Tuhan memberkati.

Medan, 230814
Oleh: Putri (Nangbidok)

0 Ratap.

Sunyi mengoyak gendang telingaku, pekak!
Sudut kegelisahan merajai tahta durasi, sesak!

Sendiri aku sendiri meratapi getirnya rasa takut yang menyeruak.
Gergaji pilu mencabik-cabik jiwa tanpa ku mampu mengelak.

Jahanam kau, hantu-hantu sepi!
Kusumpah kau tersesat dalam arus reinkarnasi, nanti.

Jauhlah. Jauh sejauh-jauhnya enyah dariku.

Sepi, kusumpahi kau mati!

Sunyi, kukutuki kau mandul elegi.

Supaya tak lagi hantu-hantu bernyanyi menakuti.
Di sini, pada jiwa yang sedari dulu, sepi.

(Nangbidok, 301114)

0 Ironi Masa

23 Oktober 2014
Terselip rindu di  setiap mikron detik waktu
Menyusupi celah-celah durasi yang mencekikku sesak
Lama
Hari-hari terasa lama
Tanpamu
Bilakah ku dapat segera mengecup lembut kening itu
Bilakah ku segera mendekap hangat tubuh yang kedinginan, di sana, di sudut keluguannya
Aku teriak pada malam
Malam tak menyahut
Aku teriak pada hujan
Hujan pun menangisi tanahnya
Angin maukah kau mendengar keluh yang kulabuhkan pada samudra rindu?
Angin bisu
Semua tak seromantis sedia kala
Aku kembali pada penantianku
Ruang sepi penuh hampa
Kesenyapannya memekakkan telinga
Aku hilang dalam durasi yang fana ini
Terhilang
Menitikkan bulir-bulir air mata
Histeris tragis
Jiwaku teriris
Aku berharap masa akan menjaga rasa
Rasaku yang selalu terselip dalam setiap hembus nafas melalui detik per detiknya waktu
Dan durasi
Selalu membawaku padamu
Dalam diam
Dalam kenangan
Dalam harap
Dalam keabadian
Masa pasti jaga rasa
Masa pasti akan abadikan rasa
Selamanya
Medan, 241014, 02.10
Oleh: Putri (Nangbidok)

0 Aku Enggan Pulang

10 Oktober 2014
Sudah hampir enam jam lamanya aku menyusuri jalanan kota ini tanpa arah tanpa tujuan yang jelas di mana akan kuhentikan sepeda motorku ini. Kulirik sesekali ke arah kaca spion sebelah kanan dan kusaksikan wajahku sangat kusam penuh debu. Wajahku yang memang sudah hitam legam tampak semakin pekat tertutup lapisan debu dan kotoran akibat dari perjalananku yang tiada ujungnya ini. Sudah dua kali aku mengisi bensin sepeda motorku dan tiada jua aku puas dengan hasil perjalananku kali ini. Aku belum ingin pulang. Pesona jalanan ibu kota masih memikat hatiku dan memberikanku rasa ramai yang menghibur dari rasa sepi dan kalut. Aku melihat sekeliling dan terus menikmati suasana ramai dan bebas. Aku bebas. Jiwaku menari-nari menyusuri kemacetan dan riuhnya kendaraan pribadi yang membludak. Di sudut jalan tampak seorang anak dengan tangan menengadah mengharap belas kasih dari pengguna jalan. Ada pula sekelompok anak muda yang bernyanyi dengan gitarnya dan kemudian mengusungkan bungkusan plastik bekas permen. Tak jauh dari pemandangan itu, kulihat seorang ibu yang duduk memelas di pinggir trotoar jalan sambil menidurkan bayinya yang kurus di atas sebuah kain gendongan. Sementara di sampingku, sebuah mobil mewah keluaran terbaru melintasi jalanan yang sama dengan seorang ibu, sekelompok pengamen, dan anak yang mengemis tadi.

Aku masih berkeliling di tengah kesemerawutan ibu kota ini. Aku belum mau pulang. Aku masih terpesona dengan sihir jalanan yang ramai. Sebab aku benci sepi. Sepi bukan temanku, ia musuhku. Di tengah keramaian seperti ini, keceriaan menghampiriku. Dan aku kuat. Keceriaanpun ikut membuntutiku kemanapun aku menyusuri jalan demi jalan yang kupilih untuk kulintasi. Aku kuat di tengah keramaian, sebab ia temanku. Ramai membuatku hidup.

Hampir seluruh sudut kota ini telah kulintasi. Sendiriku. Sampai-sampai aku hapal dengan setiap letak dan waktu-waktu saat petugas aparat keamanan sedang melakukan razia. Aku hapal gerak-gerik mereka yang siap memangsa para pengendara. Aku hapal itu dan berkali-kali aku lolos sebab aku tak punyai surat izin untuk mengemudi. Tapi aku tetap melintas dengan hati yang gembira, sebab ramai itu temanku. Aku kuat di tengah keramaian.

Pesona jalanan yang ramai membuatku enggan pulang. Sebab aku berteman dengan ramai dan membenci sepi. Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Langit terlihat pucat dan tampat matahari yang mengintip genit dari balik gumpalan awan. Seketika itu aku merasa sedih. Sebab aku berteman dengan ramai dan membenci sepi. Sudah saatnya aku pulang. Aku harus pulang dan menghamba pada sepi, musuhku.

***

"Assalammualaikum. Bu, aku pulang."
Belum ada sahutan dari dalam rumahku. Tampaknya monster itu belum mendengar salam dariku. Ah, biarkan sajalah yang penting aku sudah melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhanku kepadaku. Saat hendak memasuki sebuah rumah, ucapkanlah sebuah salah. Aku patuh padaNya karena Dia mengasihiku.

Kulangkahkan kakiku memasuki dapur sebab aku merasa lapar. POKKK!!! Mendadak aku merasa pandanganku berkunang-kunang. Sebuah benda keras membentur kepalaku. Sakit sekali sampai-sampai penglihatanku kabur. Seseorang pasti telah melemparkan benda keras tersebut. Sebuah asbak. Ternyata benda keras yang menghantam kepalaku adalah sebuah asbak. Yang melemparkannya pasti adalah seorang monster yang sangat mengerikan. Siapa lagi yang tega berbuat demikian kalau ia bukan seorang monster.

"Dari mana saja kau binatang!?"
Oh, ternyata benar bahwa yang melemparkan asbak tadi adalah seorang monster. Monster yang parasnya sudah kuhapal betul. Juga rasa tangannya yang berkali-kali menempel di pipiku. Seperti bukan manusia aku selalu dihajar dan dipukuli tanpa sebuah alasan yang jelas. Dua puluh dua tahun aku disiksa baik fisik dan psikis. Bathinku remuk dan jiwaku hancur. Sakitku sudah berkarat. Rumah bukanlah tempat peristirahatan untuk meletakkan rasa lelah, Tubuhku selalu bergetar tiap kali mendengar kata rumah. Rasa gemetar ini timbul karena aku merasa sangat ketakutan. Aku benci rumah sebab aku benci sepi.

Miris rasanya harus tinggal serumah dengan sesosok monster yang menegrikan. Ibarat harimau lapar ia selalu berusaha ingin menerkam dan mengganyang aku sampai habis. Jam-jam yang kulalui di dalam rumah terasa sangat lama dan menyiksa. Aku sepi terkurung dalam rasa kalut ini. Aku tersiksa dengan rasa takut yang menggerogoti setiap inci syaraf dan otakku. Aku hampir saja gila mengikuti jejak monster itu. Tapi sesungguhnya aku tak ingin gila sebab aku membenci sepi. Pesona jalanan selalu memanjakan aku sebab jalanan itu ramai. Dan aku berteman dengannya.

***
Pagi kembali menyapa. Terang memanggilku dengan tawa. Aku bangun dan bergegas keluar dari neraka ini; rumahku. Kembali lagi kususri jalanan ibu ota yang berliku. Tanpa arah, tanpa tujuan, hanya menikmati pesona jalanan yang ramai. Sebab mereka sahabatku dan sepi adalah musuhku. Aku enggan pulang. Aku tak mau kembali ke neraka di mana monster yang menakutkan itu tinggal. Di sana hanya ada rasa takut, cemas, gemetar, dan siksa. Aku sepi di sana sebab itu aku enggan pulang dan aku masih betah menikmati pesona jalanan. Meskipun harus melintasi jalanan yang itu-itu saja tanpa arah dan tujuan, aku tetap bahagia. Sebab aku merasa ramai, aku merasa bebas. Di sini tidak ada ketakutan, tidak ada rasa sepi. Semua ini adalah temanku sebab mereka adalah ramai. Teman, aku enggan pulang.

Medan, 10 Oktober 2014
Oleh: Putri Amelia (Nangbidok)

1 Hanya Sejenak

4 September 2014
Sejenak saja aku ingin mencumbui aroma tubuhmu. Sejenak. Hanya sejenak. Aku ingin dekatmu. Memeluk dengan tatapan hangat penuh harap. Rajai mimpi bersamamu, sejenak. Hanya sejenak.

0 Kita Adalah Jiwa

Aku tak pernah peduli siapa, apa, dan bagaimana kita. Yang kutahu bahwa kita adalah sejiwa. Kita adalah jiwa-jiwa yang terpaut dalam satu rasa. Membakar habis ketabuan dogma dengan sebuah harap. Membumbung tinggi ke tahta langit bersama dengan cinta. Terperangkap, hampa. Tak bermakna sebab kita adalah jiwa-jiwa yang terpaut dalam satu rasa.
Oleh: Putri (Nangbidok)
040910

3 Syra.

29 Agustus 2014
Sejenak Syra tertegun memandangi lelaki berkulit putih pucat yang melitas di hadapannya. Lelaki itu tampak misterius dengan segala apa yang dikenakannya. Mulai dari jaket kulit, kaos v-neck, celana jeans, sepatu, gelang, dan anting bulat yang menempel pada telinga kirinya, semuanya berwarna hitam. Lelaki itu memiliki kaki yang jenjang dan badan yang tidak terlalu gemuk, juga tidak terlalu kurus. Tidak tampak otot yang menonjol, semua biasa-biasa saja. Rambutnya tampak rapi dengan potongan spike. Sepertinya lelaki itu sudah cukup dewasa.
Lelaki itu mengambil posisi duduk di pojok ruangan. Lengkap dengan kopi hitam pekat yang baru saja dipesannya tadi saat tak sengaja melintasi Syra yang sedari tadi mengamatinya dengan rasa penuh antusias. Syra tampaknya semakin penasaran dengan lelaki itu. Setiap detil gerakan lelaki itu diperhatikannya tanpa berkedip. Tak satupun Syra hiraukan, termasuk kopi yang ada dihadapannya, berubah semakin dingin. Tak sempat diseruputnya cairan kental pahit kesukaannya itu karena terlalu asik memandangi lelaki misterius yang duduk tepat di hadapannya.
Dengan rasa setengah tak yakin, Syra pun menghampiri meja lelaki misterius berkostum hitam-hitam itu.
"Excuse me. May I sit here?"
"Oh, sure. My pleasure, miss."
"Thank's. I'm Syra. How do you do?"
"How do you do, Syra. I'm Zuo."
"Are you waiting someone?"
"Yes. I'm waiting my soul."
"Are you kidding? Soul? By the way, where are you from, Zuo?"
"I'm from somewhere can't be seen by."
Zuo mengambil jeda sambil menghela nafas panjang. Lalu menyeruput kopi hitam pekat di hadapannya.
"I'm seeking the loosing soul. I have to bring it back. To my palace."
Dada Syra mendadak sesak. Rasa penasaran ini semakin mengacak-acak bathin Syra. Ada rasa penasaran yang tak biasa. Jantung Syra mendadak berdetak kencang, nafas Syra terengah-engah. Syra keringat dingin. Sekujur tubuh Syra mendadak membeku.
Zuo diam. Syra pun diam. Wajah Zuo menggambarkan ketegasan. Syra tunduk seperti ada rasa kalah. Rasa apa ini ia pun tak paham. Zuo menatap tajam ke depan tanpa isi. Tatapan Zuo kosong. Lelaki itu mematung dan tak bergerak sama sekali. Dingin. Syra semakin menggigil dibuat rasa kacau yang menumpuk dalam jiwanya seketika itu. Ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Sesuatu yang sangat mengusiknya.
Aku datang. Aku mencari jiwa yang sepi. Aku datang, mencari-mu.
Ada suara-suara aneh yang berbisik di telinga Syra. Semakin kuat dan semakin kencang. Lama kelamaan terdengar seperti teriakan-teriakan histeris hingga kalimat tersebut tak terdengar jelas. Mereka ramai.
"Diaaaaaaammmmmmm!!!!!!"
Syra teriak dan menghentakkan meja sekuat tenaga. Semua mata tak luput dari kejadian itu. Semua mengamati dengan cara mereka masing-masing. Zuo masih bungkam. Zuo tak tampak cemas.
Syra semakin histeris dan menjambak-jambak rambutnya. Mari, kembalilah pulang. Putri kegelapan, kembalilah pulang. Kerajaanmu adalah kerajaan Hitam. Rakyatmu menantimu, Putri. Segeralah sempurnakan reinkarnasimu. Jangan sesatkan jiwamu pada wujud aneh ini. Ini bukan tempatmu, kembalilah. Kembalilah.
"Syra."
"Ya?"
Percakapn itu terputus hanya sampai di sana. Mendadak semuanya menjadi gelap. Hitam, pekat. Tak ada meja-meja dan kursi. Tak ada kopi. Tak ada 'coffee shop' dan keramaian. Tak ada suara riuh, hening. Tak ada manusia seperti wujud Syra. Tak ada apapun. Namun seperti ada yang mendengung. Lengang. Senyap. Syra tak kuasa mengontrol rasa takutnya. Ia pun berteriak semakin kencang dan kencang. Ia meronta-ronta tetapi suaranya mendadak hilang. Kedap. Semuanya hampa.
***
"Syra, ini kerajaanmu. Selamat kembali pulang, Syra. Selamat datang."
"Zuo, aku..."
Syra pun diperlakukan sebagai seorang Putri Raja. Segala keperluannya dilengkapi. Semua penghuni di sana tampak aneh. Ada yang bertanduk tetapi berjalan dengan tiga kaki. Ada yang berbulu lebat tetapi hanya memiliki mulut, tanpa mata dan hidung. Ada yang bertubuh sangat mungil dengan kepala yang sangat besar. Ada yang berjalan pincang tanpa tangan. Ada yang sekujur tubuhnya basah dengan cairan yang mirip seperti air liur monster.
Apakah mereka alien? Atau apa? Apa mereka hantu? Pikir Syra. Syra pun tak yakin benar.
***
Semua tampak aneh. Seluruh ruangan  hitam dan gelap. Tapi Syra dapat melihat segala makhluk yang ada di sana. Syra dapat melihat mereka, yang berwujud namun tak berwarna. Bukan dengan mata. Bukan. Sebab tak ada cahaya di sana. Syra melihat dengan sesuatu yang lain. Berbeda. Melihat dengan cara merasakan. Syra sendiri pun tak paham. Tapi Syra melihat. Melihat dalam kesenyapan. Sepi. Lengang. Tapi Syra tetap melihat. Bukan dengan mata, tetapi dengan sesuatu yang lain. Tak ada bentuk yang konkret. Mereka tampak hanya seperti sebuah pola. Kosong. Tanpa bentuk yang nyata. Absurd dan tak berwarna. Hampa dan kosong. Terlalu sulit untuk dijelaskan menggunakan kata-kata. Bahkan surat para pujangga pun tak dapat mewakili penjelasan yang Syra rasakan.
"Ini Kerajaan Hitam, Putri Syra."
"Iya, Putri. Kami sudah terlalu lama merindukan kembalinya Putri Syra ke sini."
"Hidup Putri Syra. Sembah Putri!"
"Hidup!"
Suara riuh gemuruh pecah memenuhi ruangan itu. Ruang hitam pekat tanpa warna. Tempat ini menyeramkan. Tapi tampaknyaSyra mulai terbiasa dengan perbuatan baik para penghuni Kerajaan Hitam. Dia mulai mengaminkan bahwa benar ia adalah seorang Putri pemimpin Kerajaan Hitam. Syra mulai terbuai dengan segala pelayanan dan kuasa yang berada dalam kedua genggaman tangannya. Keinginannya maka itu perintah bagi makhluk penghuni Kerajaan Hitam. Kemana Zuo? Zuo tak tampak. Sudah lama sekali. Bahkan Syra tak tahu persis berapa lamanya waktu yang dihabiskannya di situ tanpa Zuo. Tak ada waktu. Tak ada cahaya. Tak ada lama dan sebentar. Hanya rasa puas yang ada di sana. Dan Syra mengangungkan rasa puas itu. Padahal tak ada apapun di sana. Hanya makhluk aneh yang absurd dan kesunyian.  Syra hanyalah Putri dari Kerajaan Hitam yang diselimuti kesenyapan. Senyap tanpa suara. Hampa. Tetapi Syra bahagia.
***
"Bagaimana? Sudah ada kabar?"
"Belum."
"Sudah 10 tahun, Syra menghilang. Tak ada tanda-tanda apapun."
Dan sampai sepanjang usia bumi habis pada masa kesudahannya pun Syra tak kunjung kembali. Syra menghilang. Seluruh kerabat Syra hidup dengan kecemasan dan sejuta tanda tanya sepanjang waktu mereka. Apa yang terjadi dengan Syra. Gadis itu tiba-tiba menghilang. Syra lenyap dari muka bumi. Tanpa jejak sama sekali.
Syra bermain terlalu jauh. Ia melintasi perbatasan wilayah. Di sana, di dunia yang gelap. Kerajaan Hitam. Syra betah dan jiwanya tertawan oleh rasa nyaman yang membuainya. Hingga kini, Syra tak pernah kembali. Ia abadi. Dalam Kerajaan Hitam. Tanpa warna. Tanpa cahaya. Gelap. Hitam. Pekat. Tak ada apapun, selain hanya kepuasan. Syra hidup. Tetapi mati. Syra menghilang dan tertawan.  Selamanya.
Oleh: Putri (Nangbidok)
Medan, 290814

2 Karena Bahagia Itu Sederhana

22 Agustus 2014
Karena bahagia itu sederhana.
Sepasang kekasih di sudut taman sedang tertawa lepas dan memancarkan rona bahagia di wajah mereka masing-masing. Sekilas tak ada yang spesial dari pemandangan ini. Namun, aku sendiri pun semakin ikut tersihir dengan rasa bahagia yang mereka miliki. Seolah-olah angin ikut menebarkan kebahagiaan mereka yang meluap-luap ke sekitar wilayah taman.
Kulihat sebuah pohon cemara besar yang cukup rimbun memayungi mereka dari terik matahari yang menyengat siang itu. Mereka duduk bersila dan saling berhadapan di atas sebuah bangku tua berwarna coklat dan berbahan besi yang sebagian besinya sudah berkarat. Warna cat coklat bangku tua itu juga  tak jauh berbeda dengan warna karat yang menutupi sebahagian bangku. Sehingga tak terdeteksi mana bagian karat yang seharusnya dihindari mana yang tidak. Sebab kata guru biologiku dulu karat akan berbahaya bagi kesehatan kulit.
Dalam hati aku bergumam. Lelaki itu pasti tidak cukup modal untuk membawa kekasihnya kencan di restoran mahal. Dasar lelaki tidak bertanggung jawab! Ini lagi, wanita ini terlalu bodoh. Mengapa mau hanya diajak duduk di sebuah taman seperti ini. Ini pasti wanita murahan yang bisa diajak berkencan hanya dengan modal 'cinta' dan 'makan angin'. Benar-benar sepasang kekasih yang aneh! Darimana mereka memperoleh sumber tawa itu? Apanya yang membahagiakan? Ini malah menyiksa. Pacaran itu semestinya ya di kafe, lounge, setidaknya ke tempat yang lebih baik dari ini. Ini apa, taman? Hah! Mereka pasti masyarakat golongan rendah. Iya, itu sudah pasti. Mana level orang-orang kelas atas seperti aku ini berkencan di taman seperti ini. Hahaha. Gengsi lah, ya.
Kupandangi pakaian yang mereka pakai, hanya kaos dan celana jeans. Tak ada yang spesial, mereka pun hanya mengenakan sendal jepit. Tak ada gadget yang canggih di tangan mereka, yang pada umumnya dipegang oleh orang-orang kebanyakan saat sedang duduk di manapun. Entah untuk mebalas pesan, entah untuk browsing internet, ataupun hanya sekedar pamer kepada sekitar dan mengotak-atik tak karu-karuan seluruh aplikasi yang tersimpan di dalamnya tanpa tujuan yang jelas. Sepasang kekasih ini tak tampak memegang alat canggih apapun. Tak ada tas mahal KW-Super di dekat wanita itu dan tak ada jam tangan yang mencolok dari tangan lelakinya. Dasar orang susah. Modal cinta saja bisa betah panas-panasan di taman. Aneh.
Lihat-lihat! Air mineral. Mereka hanya meneguk air mineral kemasan. Tak ada cemilan, hanya air putih. Air putih? Gila. Hahaha. Lucu sekali, pacaran modal air putih. Ini lucu! Lucu!
Mereka tampak mesra dan bahagia. Aku rasa mereka lebih pantas dianggap sepasang sahabat, sebab mereka terlihat 'asik' dengan beberapa candaan yang mengundang tawa di bibir mereka masing-masing. Kalau si wanita sudah tertawa, dia akan memukul-mukul manja lengan kekasihnya. Dan sesekali lelaki itu mengecup dahi kekasihnya yang tertutup poni. Adegan yang hampir mirip di film-film Korea. Jujur, aku tak suka. Kukira itu adalah film pembodohan. Membuai para pencintanya untuk berkhayal sesuatu yang sangat mustahil terjadi. Aku selalu merasa geli kalau adikku dan para sahabatnya berteriak-teriak histeris membicarakan jalan cerita film drama korea yang baru saja mereka saksikan.
Dua jam berlalu. Sepasang kekasih yang kuamati dari tadi masih saja berkelakar mesra. Mata mereka pun masih berbinar-binar. Saling menatap. Seolah ada pesan yang mereka sampaikan melalui hati ke hati. Mereka bertatapan lama, wajah mereka semakin mendekat. Si wanita mulai memejamkan mata sambil membuka sedikit bibirnya. Eh, eh, eh, ada apa ini? Eh? Masa aku harus mengamati mereka ber... PLAKKKK!!! Kekasih wanita itu menjitak dahinya yang tertutup poni lalu tertawa-tawa puas. Mereka pun akhirnya saling tertawa. Sejujurnya kalau untuk yang ini akupun ikut tertawa juga. Ini adegan yang sangat lucu menurutku. Karena merasa malu, si wanita menggelitik pinggang kekasihnya, lalu mereka pun berlari-larian saling mengejar satu sama lain.
Cara pacarannya 'jadul', ih! Lebay... Dasar masyarakat kelas bawah. Norak!
Tampaknya mereka kelelahan. Akhirnya si wanita memberi kode kepada kekasihnya, ia meminta pulang. Mereka bangkit dari bangku taman dan bergandengan tangan mesra sambil berjalan menyusuri rerumputan dan bunga-bunga yang indah. Tanpa mereka sadari pun mereka melewati aku yang sedari tadi mengamati kebahagiaan 'aneh' mereka. Wajah mereka tetap tidak terlepas dari senyuman malu-malu. Ya, seperti inilah kalau sedang kasmaran. Mabuk karena cinta. Cinta yang kerrr... re. Ah?
Aku tersentak! Gumamku tadi terbata dan terputus tiba-tiba. Aku dikagetkan dengan apa yang baru saja kulihat. Kalian tahu? Kalian tahu? Mereka memasuki sebuah mobil sport mewah. AUDI R8 V10!!! Dan langsung melesat jauh. Aku terpelongo memandangi pemandangan barusan. Sangat mengagetkan.
Aku yang sedari tadi hanya duduk ber-AC di salam mobil Avanza milikku, tertunduk malu telah terburu-buru menilai sepasang kekasih tadi. Memandang cinta yang murni dari sebuah kemewahan dunia. Aku salah besar mengenai ini.
Aku benar-benar merasa tertampar dengan pelajaran yang kudapat siang ini. Ternyata bahagia itu sederhana. Ya, bahagia itu sederhana.
Akupun semakin tambah kesal dengan kekasihku yang sedari tadi kunanti tak kunjung datang. Mendingan pergi saja. Punya kekasih 'kaya-raya' , tapi tidak memiliki waktu luang untuk hanya sekedar makan siang saja. Ini sebuah ironi. Akupun segera beranjak dari taman itu. Menyusuri jalanan ibu kota yang macetnya luar biasa. Apalagi di jam-jam makan siang seperti ini.
Medan, 230814
Oleh: Putri (Nangbidok)

0 Kekasih.

21 Agustus 2014
Kekasih, demi rasa rindu yang kuendap dalam darahku, kucari warna indah senyumanmu dalam imaji. Kegaiban cinta merasuki sekujur tubuh, lalu aku patuh pada setiap lirihnya sepi, Kekasih.
----
Kucari hatimu dalam ritmis air hujan, menggenang. Lalu aku gelisah dan air mataku tumpah ruah. Dalam langkah yang papah, aku tertatih, terseok, menilik sepotong kisah yang terbungkam. Lama, lama sekali.
----
Kekasih, aku menemukanmu dalam sunyi. Ketika malam semakin legam, ketika matahari berdiam.  Di sana aku hidup dalam imaji. Bersamamu, di ruang hati yang sepi.
----
Ajari aku mencintai tanpa pamrih. Seperti kau yang selalu menanti di ujung simpang. Berdiri, tanpa sesuatu yang pasti. Di sana, di ujung simpang yang semakin sepi.
----
Kekasih, lantunan doa adalah kekuatan. Ajarkan aku mendamba dalam sebuah iman. Bahwa aku pasti milikmu. Sekalipun kau bukanlah pilihan. Aku tetap ingin mendamba.
----
Di sini, rasa rinduku mendidih. Kesabaranku seperti akan mengeluarkan lavanya. Ingin kucuri tubuhmu dari pasungan tata krama, biar kita berpesta dalam cinta. Saat itu, cahaya pasti akan menyeringai. Riang ria, berbahagia bersama kita.
----
Kekasih.
Medan, 220814
Oleh: Putri (Nangbidok)

1 Pendakwa!

Jika mencintai adalah dosa, untuk apa ada rasa?
Jika berzinah adalah hina, untuk apa ada gairah?
Jika neraka adalah duka, untuk apa ada karma?
Jika menikah adalah ibadah, untuk apa ada pe es ka?
Hidup ini adalah parodi tawa.
Penuh lelucon-lelucon sampah.
Aku mencintai dirimu, dan itu dianggap menjijikkan.
Menjijikkan, lebih dari sampah.
Jika sampah memang tak berguna,
Untuk apa orang-orang miskin mengais-ngaisnya dengan penuh peluh?
Tidakkah dunia ini benar-benar lupa.
Bahwa norma hanyalah milik para pendakwa?
Bukan milik manusia pendosa.
Mendakwa, hanya mendakwa.
"Kau, bersalah!"
"Matilah, kau!"
"Dasar penghuni neraka jahanam!"
Benarkah demikian, sayang?
Kukira, mengasihi adalah kunci utama.
Bukan malah merampas hak-hak sesama.
Jika kita sampah, mereka pun tak jauh lebih berharga dari kita.
Setidaknya kau dan aku masih memahami arti cinta yang sesungguhnya.
Bukan seperti mereka,
Yang berkhotbah, lalu berzinah.
Bertaubat, kemudian bermaksiat.
Atau jangan-jangan kau dan akupun adalah bagian dari mereka?
Pendakwa.
Oleh: Putri (Nangbidok)
210814

6 Bayangan Cantik

15 Agustus 2014
23 Maret . 11.30 WIB
Sayang, jangan lupa obatnya diminum ya. Ntar malem mau dibawain apa? Kamu istirahat yang cukup, jangan banyak gerak dulu. Aku masih di kantor, sebentar lagi keluar makan siang sama Heri. Sampai ketemu nanti malam sayang. Love you!
"SMS dari siapa, sayang?"
"Oh. Enggak. Ini, anu."
"Roy? Kenapa ngga dibales? Bales aja. Ngga apa-apa."
"Ntar aja deh."
"Yaudah, sekarang kita kemana?"
"Ngopi, yuk!"
***
23 Maret . 20.30 WIB
"Halo, yank"
"Yank, bukain pintu. Aku udah di depan."
"Iya, sayang. Sebentar aku suruh Bi Jum."
Roy, lelaki tampan ini adalah kekasihku. Sangat tampan dan juga sudah cukup mapan. Yang kutahu, dia sangat mencintai aku. Aku kenyang dengan segala perhatian dan cinta darinya. Lelaki yang romantis. Setiap berkunjung, Roy tak pernah lupa membawakanku bunga dan coklat. Boleh kukatakan bahwa ia adalah lelaki idaman hampir semua wanita. Aku bangga memilikinya.
"Sayang, apa kabar? Masih pusing kepalanya? Wah! Anget! Masih demam kamunya."
"Ngga kok, sayang. Aku udah seger gini. Aku sehat, loh!"
"Tadi siang kamu ngga kemana-mana kan, sayang?"
"Ngga sayang. Aku tiduran di kamar aja. Ngga kuat keluar."
"Iya, sayangku. Oh, iya. Aku bawa... ini...!!!"
"Wah mawar!!! Hmmm... thank u babe. Coklat!!! Waaaahaaa..."
"Nih, aku juga bawa ini nih."
"Sop ceker??? Asssiiikkkk!!!"
"Aku suap kamu ya, sayang."
Seperti inilah situasi yang terjadi setiap kali Roy mengunjungiku. Aku diperlakukan seperti ratu. Teramat sangat spesial. Aku merasa sangat diperhatikan. Sebagai wanita, aku tersanjung dengan segala perhatian yang diberikannya. Ya, Roy adalah lelaki yang spesial.
***
25 Maret . 10.00 WIB
"Semalam kemana?"
"Ke dokter. Roy permisi dari kantor."
"Oh. Baik banget ya, dia."
Senyum itu. Dia tersenyum dengan seonggok rasa perih yang tertimbun lama di dalam hatinya. Dia menatapku tajam. Tatapan yang penuh luka. Aku tahu, dia ingin berteriak dengan tangisnya yang tertahan. Aku tahu itu. Akupun begitu. Aku paham dengan apa yang dirasakannya. AKu merasakannya sayang. Aku tahu kau hancur! Aku tahu kau luka! Aku tahu.
"Hey, cantik. Kenapa nangis?"
"Ngga, sayang. Ngga apa-apa. Perih aja mataku. Kemasukan debu, kali"
"Sini aku tiup."
Aku rengkuh dia dengan segera. Kudekap dia sekuat-kuatnya. Hangat. Aku merasakan rasa yang berbeda. Aku merasa aman dan nyaman berasa dalam pelukannya. Aku sangat mencintai dia. Teramat sangat mencintai dia. Bahkan jauh! Jauh dari aku mencintai, Roy.
***
26 Maret . 13.00 WIB
"Cantik. Makan di mana kita?"
"Di tempat biasa aja, sayang."
"Kamu ada kelas?"
"Ada. Tapi ntar jam empat."
"Oke. Oh, ya. Semalem Roy ke rumah?"
"Ngga, sayang."
"Yaudah, yuk sayang. Mobil aku parkir di sana."
"Iya, sayang. Hayuk."
***
28 Maret . 09.00 WIB
"Sayang, nanti siang mau dibawain makan siang apa?"
"Ah, ngga usah. Aku makan bareng Dewi, kok. Lagian masih ada tugas kampus, sayang. Sayang makan sama Heri aja, ya."
"Oh, gitu ya sayang. Oke deh. Bye. Love you my baby Cantik."
"Love you too my baby Roy."
"Yuk, berangkat."
"Iya, sayang."
"Kamu ntar ngga takut dapet E apa, bolos mulu?"
"Ah, ngga sayang. Males aja liat dosennya."
"Yaudah, tapi semester depan udah bisa berubah ya, sayang."
"Hehehe."
Dea langsung mencubit hidungku dan mengecup keningku.
***
08 April. 19.00 WIB
"Sayangku, Dea... kenapa mukanya cemberut gitu, sih?"
Dea hanya tersenyum
Kurengkuh ia. Kubenamkan wajahnya di leherku. Dia menangis.
"Aku sayang kamu, Cantik. Aku sangat menyangimu dengan setulus hatiku. Aku benar-benar mencintai semuanya kamu."
"Iya, sayang. Aku pun demikian. Aku juga benar-benar mencintai kamu. Apa adanya kamu. Semuanya kamu, aku cinta, Dea! Aku cinta."
Malam itu, Dea hanya menangis di pelukanku. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Rasa sakit ini. Terlalu dalam menusuk relung jiwa kami. Aku, Dea, kami saling mencintai. Sekalipun tak pantas. Tapi kami benar adanya dan rasa ini nyata. Dea dan aku adalah aib bagi norma dan realitanya hidup. Orang-orang seperti kami ini tak layak menikmati bahagia kami. Cinta bukanlah anugerah, melainkan dosa. Masyarakat seolah-olah Tuhan. Kami dihakimi, dicerca, dan dikutuki dengan segala sumpah serapah. Yang aku sangat tidak suka adalah bahwa aku dan Dea diberi cap sebagai wanita "Lesbian". Entah bahasa apa itu. Entah dari mana dan apa maknanya, kami pun tak tahu. Yang kami tahu hanyalah cinta dan sebuah rasa yang tak biasa. Kami menyebut ini bahagia. Apa bedanya kami dengan insan lainnya? Kamipun berhak bahagia.
***
Tiga tahun berlalu. Roy melamarku untuk menjadi pendamping dalam hidupnya. Keluargaku dan keluarganya sudah menentukan tanggal baik untuk hari pernikahan kami. Bahagiakah aku? Tidak. Aku sakit. Hatiku hancur dan air mataku berderai dalam bathinku. Senyum palsu yang kulukiskan di wajahku semakin membunuh setiap inci dari jiwaku. Dadaku sesak, penuh, seperti akan meledak. Sekujur tubuhku meriang menahan kesedihan yang kusembunyikan jauh di balik relung ini. Sejatiku adalah wanita. Wanita harus menikah dan berkeluarga. Dan kesejatian ini adalah siksaan jahanam bagi raga dan sukma yang tak bersalah ini.
***
18 Mei . 23.00 WIB
Kurebahkan tubuhku di samping tubuhnya. Dea, wanita ini selalu menjadi surga. Tempat bernaung dan menumpahkan segala keluh. Hanya memeluknya saja, bathinku tenang. Ketakutanku lenyap untuk sesaat. Aku mencintaimu, Dea. Sayangku.
"Aku mencintaimu, Cantik. Sangat mencintaimu. Berbahagialah."
Dea menangis. Ingin sekali kuseka air mata itu. Tapi tanganku sekejap terasa kebas dan kaku. Kondisi ini sangat menyiksa. Sakit sekali.
"Masa depanmu sudah di depan mata Cantik. Selamat atas pernikahanmu. Bulan depan, kamu bukan lagi Cantikku. Kamu takkan lagi untukku. Aku harus tau diri. Iya kan, Cantik?"
Aku terisak dan sesak. Tiada sepatah kata pun kuucap, hanya isakan tangis yang terbungkam oleh kesunyian malam.
"Dea, sayang. De... Ak... Aku... maafin aku. Maafin aku. Aku ngga tau harus berbuat apa. Ibuku berharap aku segera menikah. Aku membawa nama keluarga. Aku ngga tau akan apa jadinya kalau keluargaku tau tentang kita. Maafin aku yang belum sanggup menanggung siksa moral dari cemoohan masyarakat kita. Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu! Tapi aku lemah. Apa yang harus kulakukan?"
"Sayang, kamu ngga salah. Ini memang sudah seharusnya. Kamu harus membahagiakan ibumu. Keluargamu takkan pernah mengerti kita. Ketahuilah, aku tetap mencintaimu. Selalu dan akan terus mencintaimu. Aku tetap di sini. Ngga kemana-mana. Aku akan selalu menjadi penghuni dunia bayang-bayang itu. Aku pasti akan selalu setia menjadi bayanganmu. Dimanapun kamu ada, aku ada di disitu."
"Dea... aku takut!!! Aku takut kamu ninggalin aku. Setelah aku menikah kita masih boleh ketemuan, kan??? Aku mungkin akan mati kalau tanpa hadirmu."
"Kan ada Roy, sayang. Dia mencintaimu dengan tulus.  Berbahagialah, ada dua makhluk Tuhan yang teramat sangat mengagumimu dan mencintaimu dengan ketulusan. Berbahagialah, sayang. Jangan nangis lagi."
"Kamu jangan pergi. Aku mohon."
"Iya, aku ngga pergi. Nanti, kamu bebas kapan aja main ke rumah aku. Aku selalu ada buatmu. Kapanpun kamu butuh, aku ada. Aku janji. Udah ah, aku ngga mau kamu nangis. Kan kamu yang ninggalin aku duluan. Hehehehe."
Mungkin Dea benar, aku adalah manusia yang sangat beruntung. Aku dicintai dan dijaga oleh ketulusan dua insan yang berbeda. Tapi seumur hidup aku harus menanggung siksa bathin ini. Setiap kali aku harus bercinta dengan Roy, ada bayangan Dea yang meracuni syarafku. Seketika itu pula aku tercekik dan sesak oleh rasa cinta yang gila ini. Dan setiap kali aku bercinta dengan Dea, bayangan Roy juga selalu hadir dalam ingatanku. Selalu begitu. Bayangan mereka, bayangan mereka selalu saja menghantui kemanapun aku pergi.
***
Bertahun-tahun aku menikah, rumah tanggaku berjalan lancar. Aku dan Roy dianugerahkan 3 orang anak. Kini anakku yang sulung sudah duduk di bangku SMA.  Roy dan aku semakin menua. Kami tidak lagi muda. Roy berhasil membahagiakan aku dan anak-anakku. Keluarga kami sangat harmonis. Aku bangga memiliki suami seperti Roy. Dan seiring berjalannya waktu, aku terlalu fokus pada keluarga kecilku. Tanpa kabar dari Dea. Kukira dia sudah melupakan aku. Akhirnya kuputskan untuk menutup lembaran kisah lama bersamanya. Tapi... ini tidak berarti aku melupakan Dea. Aku ingin tahu kabarnya. Dimana Dea? Sudah seperti apa dia sekarang? Apakah masih ada cinta di jiwanya untukku? Apakah Dea masih menjadi penghuni dunia bayang-bayang itu? Aku sangat merindukannya. Dea... Aku merindukanmu...
***
Mendadak aku ingin tahu kabar Dea. Aku rindu. Sejenak saja aku ingin memeluknya, lalu pergi. Aku ingin mendekapnya, merasakan hangat nafasnya. Aku rindu dia. Dea.
"Halo... Ini bener nomernya Agung?"
"Ya, siapa?"
"Agung! Hey! Ini aku, Cantik. Masih inget aku? Dulu kita sering nongkrong bareng! Aku, kamu, Dea, Alan, Mario."
"Kamu... pacarnya Dea dulu kan? Cantik! Wah dapet nomer aku darimana? Surprise banget kamu nelpon aku! Kamu sanggup yah, nikahan ngga ngundang kita-kita."
"Maafin aku, Gung. Kamu masih sama Alan? Apa kabar Alan?"
"Wah, masih Cantik. Kita tinggal serumah sekarang. Kamu... kamu ngga jengukin Dea?"
"Jenguk? Dea? Ini aku malah mau nanya ke kamu kabar Dea. Dea apa kabar? Dea sakit? Gung, serius!"
"Kamu ngga tau? Pantesan. Udah sebulan Dea di rumah sakit. Koma."
Tuttt...Tuttt... Tuttt...
Dea sakit? Koma? Shit!!! Lelucon apa ini? Mengapa di saat seperti ini aku tidak ada di sampingnya? Dulu, Dea selalu menjadi bayanganku. Menemani aku, kemanapun dan kapanpun, Dea setia. Aku meninggalkannya, dan kini Dea sakit. Aku tidak ada di sampingnya.
***
Innalillahi Wainnalilahi roji'un.
Belum sempat aku melihatnya. Dea pergi meninggalkan aku untuk selamanya. Semalam saja aku tahu mengenai keadaanya yang koma, Dea langsung pergi begitu saja. Tanpa kecupan, tanpa rengkuhan, tanpa desah nafasnya yang hangat. Dia pergi, tanpa pamit. Dea pergi! Dea meninggal! Dea meninggal!
***
Ini detik-detik tersakit dalam hidupku. Neraka yang sesungguhnya. Kupeluk Jenazah Dea, kuciumi seluruh wajahnya. Dingin. Dea! Deaaaaaaaaaa! Aku berteriak-teriak histeris. Menangis memeluknya. Mengguncang-guncangkan jenazah Dea yang kaku. Berharap ia mendengar dan bangun.
"Dea... bangun!!! Dea!!! Sayang!!! Deaaaaaaaaaaaaaaa!!!"
Kupeluk jenazah Dea yang tak lagi hangat seperti saat-saat dulu. Mata indahnya tak lagi teduhkan aku. Mata itu tertutup dan lenyap untuk selamanya. Dan nafasnya, nafas yang dulu menjadi nafasku. Kemana nafas harum itu? Mana?
"Deaaaaa... bangunnnn... bangun sayaaaaang! Ini aku dateeeeeng peluk kamu. Maafin aku! Maafin aku Deaaaaaa!"
***
"Alaaaaan... bangunin Dea! Bangunin Dea! Aaaarrrrrrggghhh! Bangunin Dea, laaaaaan"
"Udah ya, Cantik. Dea udah bahagia di sana."
"Lan, kasihin ini sama Cantik. Ini titipan Dea yang harus disampein ke Cantik."
Aku menerima sebuah tumpukan album, map, buku harian, dan file suara yang tersimpan di beberapa disc milik Dea. Kubuka lembar demi lembarnya, masih di lembar pertama air mataku sudah tumpah ruah. Banyak tulisan-tulisan Dea tentangku. Setiap hari. Hanya tentang aku. Di sana ada foto-foto ku, lengkap. Ini membuat dadaku seketika sesak! Kutemukan beberapa tulisan;
*
Hari ini Cantikku mengenakan gaun pengantin yang anggun. Bukan denganku. Tetapi aku tetap berbahagia untuknya. Ini cintaku.
*
Cantik kemana? Dia tak jua datang seperti janjinya sebelum menikah. Sudah sebulan ini aku tak mendengar suara riangnya. Hujan, aku rindu cantikku. Bawa dia pulang, Hujan.
*
Aku menguntitnya dari kejauhan. Hari ini kulihat Cantik di halamannya sedang menyiram tanaman-tanamannya. Dia tampak sangat bahagia.
*
Hatiku remuk! Melihat Cantik dipeluk mesra oleh lelaki itu. Tubuh ini kedinginan tanpa dekapannya. Cantik, kenapa kamu lupakan aku.
*
Hari ini aku menemani Cantik berbelanja baju-baju bayi dari kejauhan. Tetap saja dia tak sadar bahwa aku selalu ada di dekatnya.
*
Menjadi bayangan adalah takdirku. Untuk Cantik, aku rela menjadi apa saja. Termasuk menjadi bayangannya. Yang mengawasinya, menemani dalam kesetiaan, namun semu dan tak terjamah. Aku ini bayangan yang selalu menjaganya.
*
Cantik semakin tampak anggun. Membesarkan anak-anaknya yang lucu. Aku masih di sini, hidup salam dunia bayangan yang diciptakannya untukku. Aku selalu menemaninya, seperti janjiku.
*
Aku sakit kanker. Berapa lama lagi aku mampu menjaga Cantikku? Kenapa aku harus kalah dan gagal menjaganya lebih lama. Tuhan! Angkatlah penyakit ini. Aku masih harus menjaga Cantikku dari jauh.
*
Cantik, aku kesakitan. Kumohon, tenangkan sakitku. Peluk aku, Cantik. Kamu dimana? Kamu lupa aku masih di sini? Kamu lupa dengan janji cinta kita? Cantik. Aku semakin lemah.
*
Menjadi bayangan selamanya adalah tanda cintaku. Jika pun aku harus meninggal, dalam dunia baka pun ruh ku pasti akan selalu menjagamu. Cantik, aku mencintaimu.
*
Cantik, mungkin jasadku akan habis. Tapi jiwa dan ruh ku akan senantiasa bersemayam dalam dirimu. Saat kamu melihat bayanganmu, ingatlah bahwa itu aku. Aku yang tak akan pernah berlalu dari keberadaanmu. Kita pasti akan selalu bersama, seperti janji kita. Sekalipun kita takkan pernah menyatu. Aku akan selalu mencintaimu. Aku menjagamu dengan ikhlasku. Dengan cintaku.
*
...
Oleh: Putri (Nangbidok)
Medan, 160814

2 Sejenak

3 Agustus 2014
Tatap mata beradu
Mata yang tak kukenali asalnya
Jiwa yang tak kusinggahi sebelumnya
Menyengat jantungku seketika itu
Sedetik per sekian mikron waktu
Jantungku berhenti berdegup
Sebuah tatap
Saling membalas
Sebuah senyum
Saling tersimpul
Sebuah cerita
Saling melebur
Ada bunyi-bunyi lainnya
Seperti kupu-kupu yang bahagia karena nektar bunganya
Seperti itulah nada-nada dalam sekujur tubuhku berbunyi
Sebuah rengkuhan
Sejenak menenangkan
Tersentak
Aku mendadak sesak
Sebab kita bukan teman
Bukan juga pilihan
Bukan
Dan selesainya
Aku rindu
Aku merindumu
Berharap waktu akan mendamaikan hatiku
Mempertemukan kita
Pada wujud yang berbeda pula
Aku rindu

0 Kemarin

1 Agustus 2014
Kemarin kita bersumpah bahwa darah adalah mahar bagi cinta
Kemarin kita bermadah bersama dalam sebuah kidung pujian senja
Kermarin kita berserah pada jiwa yang penuh dengan gairah
Sumpah darah, lenyap.
Madah pujian, lenyap.
Jiwa, tak lagi bergairah. Lenyap.
Waktu-waktu hanyalah dusta.
Dustaku mendustai hatimu.
Suka-duka hanyalah cerita.
Ceritaku yang hanya akan menjadi karya.
Jiwa-jiwa tersiksa dalam jeruji norma.
Aku hendak apakan luka ini? Luka kita menyesah raga hingga lemah tanpa daya.
Sumpah darah mestinya tak sia-sia.
Madah pujian mestinya tak terbungkam.
Jiwa kita mestinya bebas dalam rasa, asa, dan cinta.
Keindahan yang mendasar pada hal yang berbeda, istimewa dari yang lainnya.
Keindahan yang mestinya tak dikotori kata dosa. Kata mereka.
Keindahan yang mestinya memiliki hak yang serupa dengan manusia pada umumnya. Cinta yang sama. Cinta.
Kemarin hanya akan menjadi kemarin.
Cerita hanya akan menjadi cerita.
Dusta hanya akan menjadi dusta.
Seharusnya kita kembali bermadah bersama.
Seharusnya kita kembali bersumpah demi darah yang tertumpah.
Seharusnya.
Dan kemarin pun seharusnya tak mesti ada.
Atau...
Semestinya tak pernah ada kini!
Hingga kemarin akan selalu menjadi hari ini.
Oleh: Putri (Nangbidok)
Medan, 020814

0 Dunia Bayang-Bayang

Hanya melodi yang keluar dari tuts-tuts piano itu. Serangkaian nada yang hingga saat ini masih membawaku kepada mimpi yang tertunda. Kenangan itu, mendadak menyapa.
Di tengah pekatnya malam aku berbisik pada awan, aku mencintainya. Sampaikan padanya bahwa aku belum mampu menyerah pada realita. Kebahagiaanku hanya sebatasmu, awan. Bersamanya, bahagiaku terlihat namun tak tergapai. Sepertimu, pekat malam tak menjauhkan kau dari langit itu. Kau tampak, namun tak nyata. Kau tak ada. Awan, bahagiaku selayaknya dirimu.
Mengapa ada jika tak terjamah? Mengapa indah jika akhirnya kau menghitam? Lalu? Kau menangis? Hujanmu bukti bahwa kau rindu pada bumi. Begitupun airmataku. Aku menyerah pada asalku. Cintaku indah, kemudian perlahan menghitam. Dan tangisan adalah akhirnya.
Di sini, aku masih bersama dengan melodi-melodi indah itu. Mereka masih mengalun, menghipnotisku. Merasuk hingga ke seluruh nadi. Aku kalah! Aku menangis, kemudian menyerah pada bumi, asalku.
Awan, sampaikan salamku padanya. Jangan minta dia untuk memaafkanku, aku tak layak. Biarlah aku menyapa indahnya melalui bayangan saja. Hanya bayangan. Biarlah aku memeluknya dengan cinta. Sekalipun hanya bayangannya saja. Bahagiaku memang seperti awan. Indah, tak terjamah. Ada namun tiada.
Hanya melodi dari tuts-tuts piano itu yang menjadi teman setia. Di sana, ada kita. Sekalipun aku menyerah pada bumi asalku. Aku tetap mencintainya melalui nada. Biarlah realita menelan segala yang asa, aku tetap untuknya.
Dalam dunia bayang-bayang, di sana aku akan bebas membahagiakannya. Sekalipun aku teringat pada bumi, asalku.
Dan kini relakan aku yang harus pergi. Sejenak meninggalkannya di sudut sepi. Sebentar saja, sebentar saja. Istirahatkan dia dalam lelahnya, awan. Nanti aku pasti kembali menyapa dia. Di sana, di dunia kami berdua. Hanya aku bersama dengannya, di dunia yang tak terjamah, dunia bayang-bayang.
Oleh: putri (nangbidok)
(Medan,020814)
*selalu ada rindu untuknya yang selalu setia menanti dalam dunianya, dunia bayang-bayang*

0 Rasa Rindu

29 Juli 2014
Apa kabar kamu yang dulu sempat menjejak di hatiku? Sudah berdamaikah kamu dengan seluruh dimensi alam dan waktu? Sesuatu yang ingin kuungkap adalah bahwa aku merindumu.
Di sini, sesekali aku masih berharap dapat berkelakar denganmu. Sekalipun semu, bayanganmu itu obat rindu. Senyum itu. Senyum itu yang dulu pernah menjadi antibiotik kala ku pilu.
Seandainya mesin waktu dapat kucuri dari para penduduk bawah tanah, akan kutelusuri masa-masa dahulu. Bilakah ku dapat kembali menggenggam lembut jari-jemarimu? Bilakah ku dapat merasakan hangat nafasmu? Bilakah kudapat mencium wewangian khas dari tubuhmu?
Sesekali aku merindumu. Sesekali aku menangis haru. Sesak aku di sudut waktu. Aku terbawa arus, jauh semakin menjauhimu. Di mana lagi kita akan bertemu?
Waktu tak berujung. Alam tak berbatas. Masa lalu jua takkan pernah lenyap. Pun kamu, akan abadi di sana. Di waktu yang tak berujung. Di alam yang tak berbatas. Di sana, rumahmu. Masa laluku. Di sana, tempatmu. Rasa rindu.
Oleh: putri (nangbidok)
Medan-290714

5 Pak Achong

24 Juli 2014

"...Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau sujud kepadaNya..."

Aku terdiam. Menunduk dalam keterbatasanku. Kucoba memadamkan api logikaku, percuma. Jiwaku berkecamuk, pertanyaan demia pertanyaan menghantam pikiranku tanpa ampun. Lagu itu. Lagu dari sebuah band papan atas di negeriku. Lagu yang berhasil membuat aku 'galau' memikirkan sesuatu yang seharusnya tak layak untuk kupikirkan. Aku ini siapa? Hanya manusia hina dina. Setidaknya itu makna yang dapat kusimpulkan untuk kita ciptaan Tuhan. Apa? Tuhan? Bicara apa aku ini. Sudah kutegaskan pada diriku, aku ini tak layak! Tolong... Jangan tanyakan. Hentikan pertanyaan ini. Hentikan rasa penasaran dan perbanyak saja berdoa. Berdoa. Ya, berdoa. Berkomunikasi dengan Sang Khalik. Oh... Sang Khalik, siapakah gerangan Engkau?

***

"Haiyaaaa... lu olang kok bengong aaaa??? Pantang loh anak gadis melamun di siang-siang bolong begini looooh... Haiya!"
Logat yang tak asing itu mengagetkanku. Mendadak aku tersadar dari alam pikir yang membuatku gila sejenak. Itu suara Pak Achong. Seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani di kampung kami. Beliau berdarah Tionghoa dan beragama... Buddha. Ah, beragama? Untuk apa membahas agama? Apa pentingnya?
"Eng.. eng.. ma maaf, pak.  Saya kelelahan. Lemas banget, pak. Soalnya semalam saya endak sempet sahur. Habis lembur sama cucian. Maaf ya, pak."
"Ah, elu! Gimana bangsa mau maju, elunya aja yang jadi wakilnya warga kampung kerja asal-asalan di sini. Ini tuh kantor, eneng. Seharusnya lu olang kerja. Kerjaaaa. Udah, udah, dilanjut kerjaannya. Puasa itu bukan alasan aaa. Haiya!"
Ada benarnya juga. Aku ini sekretaris kampung. Tidak seharusnya aku tertidur dalam tugas dinasku. Memalukan sekali aku ini, telah menyia-nyiakan kepercayaan warga.

"...Jangan biarkan damai ini pergi. Jangan biarkan semuanya berlalu. Hanya padaMu Tuhan tempatku berteduh, dari semua kepalsuan dunia..."

Ah mendadak semuanya lagu-lagu seperti ini. Radio apa ini. Apa karena bulan puasa ya. Hmm. Tuhan. Siapa Tuhan itu? Sang Khalik yang diagungkan. Nama yang tiada berwujud namun dianggap berkuasa. Berkuasa atas apa? Jika ya, dari manakah Ia berasal?
Untuk kesekian kalinya, aku 'galau'.

***

"Pengumuman...!!! Hari ini, oe pengen ngadain acara buka bersama untuk semua perangkat-perangkat desa. Nah, lu olang semua mesti pada ikut aaaa. Haiya, ini acara penting aaa. Untuk silahatumi aaa haiya sil.. silarahatu, eh siiiil.."

"Silaturahmi, pak. Gitu aja kok repot pak, ngomongnya." Celetuk salah seorang temanku.

"Eh bukaaaaan. Bukan itu. Oe maksud itu silll.. eng apa ya, silatuhahim. Apa ya, eng... Haiya, siiil.. siiiil.."

"Silaturahim." Ucapku datar.

"Oe tunggu di rumah oe, ya. Jam setengah 6. Sekarang, udah boleh pulang aaaa. Haiya."

***

Temanku mencubit tanganku, seolah menyampaikan sebuah kode rahasia. Dia membisikkanku sebuah pernyataan yang, ah entahlah. Pernyataannya membuatku kembali 'galau'. Ia bertanya, apakah boleh kita makan di rumah Pak RT. Bapak Achong yang seorang keturunan Tionghoa. Beliau yang tidak berpuasa mengadakan acara  berbuka puasa. Bersama di rumahnya. Ikut serta pula teman-teman yang beragama lain. Mereka tidak berpuasa. Apakah ini wajar? Ah, entahlah.

***

Suasana di rumah Pak Achong sudah mulai terlihat ramai. Beliau memang terkenal sebagai seorang Ketua RT yang menjunjung tinggi kebhinekaan di antara para warga. Ini baik, tapi apakah benar ini dibolehkan di agama kami? Ah, entahlah. Memangnya kenapa? Toh ini hanya sekedar acara makan-makan. Tapi... bagaimana dengan makanan yang dihidangkan? Apakah...
"Halal atau enggaknya, semua tergantung bagaimana kamu menanggapinya, neng. Ya tak mungkinlah Pak RT memberikan kita makanan yang tidak halal. Liat tuh, Pak RT menghidangkannya menggunakan kotak. Bukan piring punya pak RT. Udah ayo masuk! Semua udah pada ngumpul di dalem. Bentar lagi bedug loh, neng"
Anto memang selalu begitu. Lelaki ini selalu bijaksana di mataku. Kata-katanya selalu mendamaikan jiwaku. Baiklah, akhirnya aku berdamai dengan segala kekhawatiranku. Aku pun akhirnya segera memasuki kediaman pak RT.

***

"Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabbarahukatu. Bapak dan Ibu yang saya hormati. Saya akan menyampaikan Tausiah singkat untuk menyambut waktu berbuka yang tinggal 45 menit lagi..."
Kan, lihat. Apa ini? Pak RT mengundang seorang Uztad untuk menyampaikan tausiah. Oh, Tuhan. Mahadahsyat Engkau ya Khalik. Teman-teman semuanya ikut khusyuk mendengarkan tausiah dari uztad yang diundang itu.
Seketika aku merinding. Aku gemetar. Seperti ada yang mencabik-cabik hatiku. Ini lebih mirip rasa haru. Aku terharu dengan dahsyatnya momen ini. Tanpa sadar titik-titik air mata membasahi pipiku. Hening. Mendadak semua hening dan hampa. Aku hanya aku. Aku bersama dengan jiwaku. Ragaku terasa ringan. Rohku melesat cepat. Jauh, jauh ke suatu tempat penuh cahaya. Aku silau dengan cahaya putih ini. Sekelilingku sangat kontras dengan cahaya yang sangat menyilaukan. Aku tak dapat melihat apapun. Hanya ada aku dan tempat kosong ini. Tempat apa ini? Kakiku tak menapak! Kakiku! Aku melayang! Aku terbang! Ini gila. Aku ada di mana? Di mana aku ini? Gila.

"Eneng... Jangan takut!"

"Pak RT! Bapak..."

"Iya, kamu kaget? Kita ada di alam astral. Kita adalah roh di sini."

"Pak Achong, bawa saya pulang! Saya takut!"

"Pertanyaanmu telah membawamu sangat dalam ke alam bawah sadarmu. Kekhawtiran dan kerinduanmu tentang Tuhan menyeretmu pada rasa ingin tahu yang besar."

Mengapa Pak Achong... ah, kemana logat hokkiennya yang mustahil sekali lepas dari sosoknya? Bahkan berpidato saja beliau memakai logat khasnya. Benarkah ini semua? Aku pasti bermimpi.

***

"Eneng, lihat ini."

Ada sebuah tirai besar. Tirai itu disingkapkan oleh Pak Achong dan... Ah! Ada banyak orang di sana. Mereka berkelompok . Setiap kelompok itu dipimpin oleh sesosok yang bercahaya dan wajahnya menyilaukan hingga ku tak mampu melihatnya. Namun para pengikut dari masing-masing kelompok itu berpakaian aneh. Ada yang hanya memakai kain putih. Ada yg botak-botak dengan jubah kuning yang membalut tubuh mereka. Kelompok yang lain memakai pakaian dari lempengan tembaga dan emas. Lalu ada yang memakai jubah kebesaran. Ini aneh. Mereka pun berjalan mengikuti sesosok yang bercahaya itu. Pemimpin kelompok mereka.

"Apa yang ada di tangan mereka, pak? Mereka berucap apa?"

"Lihat, itu rosario.  Yang digenggam oleh kelompok itu, kitab suci mereka"

"Kalau yang itu?"

"Itu adalah kitab pujian kepada Maitreya"

Mereka bermacam-macam. Baik dari segi postur tubuh, jenis kulit, rambut, dan bola mata. Semua berbaur dengan kelompok mereka masing-masing. Mengikuti sosok yang bercahaya itu. Pak Achong menyebutnya Sang Pemimpin Kelompok.

"Kamu heran neng?"

"Mereka hendak kemana pak?"

"Mereka sedang menuju suatu tempat yang baka, neng. Tempat yang sama."

"Tempat? Rumah? Atau..."

"Entahlah neng, belum ada yang pernah benar-benar ke sana. Tetapi itulah yang dijanjikan."

Semua kelompok itu berjalan beriringan. Tampak sangat akur. Ini pemandangan yang indah. Jikalau aku bisa menggambarkannya, ini seperti surga. Setidaknya, surga yang sering aku dengar kedamaiannya. Sekalipun aku tak tahu, apa itu surga.

"Neng, semua adalah satu. Semua pasti akan ke sana. Tempat yang masih menjadi rahasia untuk umat manusia. Selama hidup, ikutilah Sang Pemimpinmu. Lakukan apa yang Ia perintahkan dengan baik. Toh saya dan kamu juga sedang dalam perjalanan itu."

Selesai Pak Achong menyampaikan pesan itu, mendadak cahaya yang menyilaukan tadi berubah menjadi gelap gulita. Aku tak dapat melihat apapun.

Allahu akbar! Allahu akbar!

Aku mendengar suara-suara itu. Aku seperti tertarik kepada suatu lubang. Aku terperosok jatuh ke dalamnya. Seperti melewati sebuah lorong sempit yang panjang, aku seperti melayang.

"Neng, kamu ngga apa-apa?"

Aku membuka mataku perlahan. Kulihat samar-samar banyak orang yang mengelilingiku dengan wajah cemas dan ketakutan. Seorang kiai memberikanku air putih. Sejenak aku tak ingat apapun. Jiwaku seperti kosong. Pak Achong, ialah orang pertama yang ingin kutemui.

"Eneng.. eneng.. haiyaaa.. lu olang pasti kelapalan... haiya... lu lemes aaaa... makanya lu sampe pingsan haiyaaaa"

Logat khas itu kembali. Lalu yang barusan itu siapa? Kejadian tadi apakah hanya mimpi? Tapi aku merasakannya seperti nyata. Aku meilhat apa yang ada di balik tirai. Semua nyata. Ini sangat aneh.

Aku hanya menangkap pesan terakhir yang dikatakan Pak Achong gadungan pada dunia mimpiku. Bahwa aku sedang ada dalam perjalanan bersama dengan rombongan yang lain. Menuju... ah, katanya sebuah tempat. Entah tempat apapun itu, aku tak mau ambil pusing.

"Makasi ya Pak Achong. Makasi udah mengadakan acara ini. Makasi karena sudah menjadi RT yang baik bagi kami. Bapak mengajarkan kami pluralisme dalam damai."

"Haiyaaaa... sama-sama aaa"

Orang-orang yang melihat kami berdua semuanya mengerutkan alis. Tak mengerti apa makna di balik ucapan yang saling berbalas tersebut. Hanya ucapan terimakasih yang sederhana, namun memiliki makna yang teramat dalam bagiku.

Hidup ini adalah perjalanan.

Oleh: Putri (Nangbidok)

6 Petaka Ulang Tahun

9 Juli 2014

Pagi ini tak ada yang beda. Aku masih tetap harus berangkat ke sekolah, menunggu bus jemputan di halaman rumah, dan menyapa teman-teman sekolahku dengan wajah kusut dan setengah sadar. Rambut keritingku tergerai sempurna dan tali sepatuku selalu terlepas dengan tiba-tiba. Saat hendak berlari menyapa sahabatku, aku tersandung dan ternyata itu akibat tali sepatuku yang lepas. Kubungkukkan badanku, dan... zonk!!! Ternyata aku salah pakai sepatu. Sepatu ku belang-belang. Sebelahnya warna kuning, sebelah lagi warna ungu. Ah, sial!!!

"Selamat ulang tahuuuuun Chikiii...!!!" Aku mendengar suara riuh dari ke lima sahabat-sahabatku sambil mengacak-acak rambutku. What? Apa nih? Ulang tahun? Aku? Nggg. "Siapa yang ulang tahun?"
"Iya, kamu lah chik! Cemana sih?"
"Aku lupa. Hadeh."
"Kalau kamu itu apa sih yang nggak lupa? Untung ajalah kamu masih ingat bernafas".
Aku ulang tahun? Tapi kenapa tidak ada ucapan selamat dari mama. Kenapa tidak ada kecupan di dahi dari papa. Kenapa tidak satupun keluargaku ingat? Bahkan akupun lupa dengan hari penting ini. Ma, pa, chiki rindu mama dan papa memeluk dan memberi semangat untukku. Tidakkah mama dan papa ingat bahwa kalian memiliki seorang putri? Aku kehilangan kehangatan keluarga. Aku kesepian ma, pa.
Tanpa sengaja airmataku tumpah. Aku melamun sejenak dan pikiranku mulai membawaku kepada rekaman-rekaman kenangan masa silam. Tentunya masa-masa indah bersama mama dan papa.

Saat itu usiaku 8 tahun. Inilah terakhir kalinya aku mendapatkan kehangatan kasih sayang kedua orang tuaku. Aku bangun tidur dengan banyak coklat di sekitar tempat tidurku. Banyak kotak-kotak kado yang berisi hadiah kesukaanku di setiap sudut kamarku. Boneka panda besar juga menyapaku di depan pintu kamarku. Boneka panda itu mengucapkan selamat ulang tahun padaku dengan penuh kasih sayang dan aku tahu bahwa itu adalah suara mama. Kemudian mama mengecup dahiku dan memelukku hangat. Mama mengajakku ke meja makan dan telah ada kue coklat yang sangat besar dipenuhi lilin-lilin kecil yang indah. Aku senang melihatnya. Aku senang melihat cahaya! Papa datang dari belakang sambil menutup mataku. Sambil berkata,"Selamat ulang tahun chiki. Putri kecil papa yang paaaaaling papa sayang!" Kemudian papa dan mama memelukku. Aku bahagisa sekali. Aku bahagia!

Dan aku sadar, itu hanyalah kenangan.

Sepulang sekolah, teman-teman mengajakku merayakan ulang tahunku ini. Tapi aku memilih untuk pulang. Ya, masih dengan wajah lesu dan sedikit harapan bahwa mama akan ingat ulang tahunku.

Tujuh tahun berlalu sejak aku berulang tahun pada usiaku yang ke delapan itu. Kini, tak ada lagi kasih, tak ada lagi perhatian. Tak ada yang peduli denganku. Aku seperti daun yang layu, kering. Tanpa siraman kasih dan cahaya harapan dari kedua orang tuaku. Aku sendiri di sudut meja makan. Sendiri menatapi foto keluarga kami. Kami bahagia. Ya, bahagia. Mama, papa, aku, dan adikku Chiko.

Chiko adalah adik laki-lakiku. Saat aku merayakan ulang tahunku yang ke delapan, Chiko sedang berlibur ke rumah nenek. Sesaat setelah kami berpelukan di depan kue coklat raksasa yang dihadiahkan mama dan papa, kami mendapat telepon dari Om Dude. Om Dude memberitahu sebuah kabar dukacita, bahwa Chiko meninggal. Chiko meninggal! Adikku meninggal tepat di hari ulang tahunku. Chiko ditabrak oleh orang yang tidak bertanggung jawab saat ia berjalan menuju mini market yang tak jauh dari rumah nenek. Kami sekeluarga kaget. Mendadak suasana bahagia berubah menjadi teriakan histeris kesedihan.

Tujuh tahun berlalu, rumah ini pun mendadak menjadi neraka. Sikap mama dan papa yang dingin. Sampai saat ini mama masih sering menangis di tengah-tengah malamnya. Papa dingin dan hampir tak pernah senyum. Dan aku, aku tersiksa dengan semua sikap mereka. Aku dianggap seperti tidak ada. Aku sendiri sekarang. Kamar tidurku lah rumah dan tempat peristirahatan yang nyaman bagiku. Tanpa kehadiran mama dan papa lagi di sini. Boneka panda hadiah dari mama, kini semakin berdebu di sudut kamarku. Ah! Aku lelah menangisi keadaan ini! Aku lelah menahan kerinduanku. Dekat namun jauh. Ada seperti tiada. Aku tersiksa! Bahkan tak jarang kami hanya berkomunikasi lewat surat yang dituliskan di secarik kertas origami ditempelkan di pintu lemari es kami. Tak ada percakapan sama sekali. Bahkan untuk uang sekolahpun mereka mengirimnya lewat rekeningku. Tanpa ada bahasa pengantar dari mereka.

Jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku masih sunyi sendiri terduduk di meja makan rumah kami. Papa dan mama belum pulang. Tak ada pesan singkat, tak ada telepon, tak ada kabar sedikitpun. Kemana mereka? Kemana orang tuaku? Tidakkah mereka sadar bahwa aku sedang berulang tahun yang ke 15 hari ini? Apakah mereka sudah benar-benar lupa? Apakah begitu?

Tak lama, bel rumah kami berbunyi. Ah, mungkin itu mereka! Mungkin papa dan mama menyiapkan kado untukku hari ini. Aku berlari bersemangat membuka pintu. Dan aku mendapati 4 orang berseragam polisi. Mereka menyampaikan kabar bahwa mobil orang tuaku bertabrakan dengan sebuah bus besar dan keduanya rusak parah. Lalu mama? Papa? Mereka tak dapat selamat dari hantaman keras kecelakaan tersebut. Kini mereka benar-benar meninggalkanku. Kakiku lemas. Sekujur badanku kaku. Airmataku pun tak mampu keluar. Aku terdiam dan linglung. Jantungku serasa remuk dan pecah! Aku ingin muntah. Kakiku tak kuat menahan tubuhku. Aku terjatuh. Terduduk. Hanya jiwaku yang berteriak-teriak! Aku hilang, aku linglung. Kesedihan ini teramat mengerikan. Aaaaarrrrrrggghh!!! Aku ingin mati! Aku lebih baik mati saja! Aku lebih baik mati!

"Kami menemukan ini di jok mobil belakang dari mobil orang tua kamu."
Sebungkus kado merah jabu dengan pita emas. Mataku kabur, tapi kucoba membaca tulisan yang tertulis di atasnya. Samar-samar kueja perlahan. Selamat Ulang Tahun Putri Kecil Mama dan Papa, Chiki Cendana Prabuwija.

-medan, 09Juli2014-

0 Puisi Aku yang Masih Sama

6 Juni 2014

Puing-puing kisah berserakan di sarang logika
Mengotori akal dengan seonggok trauma
Menyendat menutupi aliran darah
Hingga otakku beku kebas tanpa nafas
Hampir saja aku mati diserang puing-puing kisah nostalgia

Sejatinya aku adalah aku
Yang dulu, kini, dan nanti
Aku adalah aku yang tetap dengan raga yang sama
Tapi aku bukan aku
sebab jiwa semakin lama akan semakin lenyap
Logika akan berkembang dan aku pada masa lalu akan mati
Mati bersama cerita-cerita lama

Bila aku dapat menghentikan dunia
Akan kuletakkan waktu di titik bahagia
Tiada ku ubah porosnya
Biarkan dunia penuh dengan gelak tawa
Bukan tangisan ataupun ketakutan
Bukan penistaan ataupun penindasan
Bukan penyiksaan bukan!
Hanya kasih sayang yang akan memenuhi pipa-pipa kehidupan

Hidup dan uap adalah sama
Sebentar kelihatan lalu lenyaplah kemudian
Jika selalu saja terpuruk dalam ingatan lama
Kapan logika akan berkembang?
Biar jiwa semakin lenyap
Asalkan logika menyempurnakan hidup
Bukan sebaliknya

Aku masih tetap sama
Aku yang adalah aku
Dalam raga yang sama
Namun aku bukan lagi aku
Sebab jiwaku musnah
Logikaku bertambah-tambah

-07Juni14-
Nangbidok

0 Tinta Waktu-ku Habis

Banyak cerita yang kubaca dari karya para maestro dunia. Tapi tak satupun sama dengan apa yang sedang kutulis. Tulisanku berbeda rasa dari semuanya yang pernah ada. Sebab dia juga tak ada selain hanya dia.
Telalu lama aku bermain-main dalam labirin itu kemarin, hingga tulisanku terabaikan. Sesuangguhnya aku sedang menulis dengan tinta waktu kemarin itu. Tawa canda di bulan Mei adalah tawa canda terenyah buatku. Karena ada dia yang menemaniku memapah langkahku yang nyatanya benar berat untuk kulewati sendiri.
Sekarang tinta waktuku bersamanya telah habis. Aku kembali pada realita, bahwa aku membutuhkan tinta hitam dan mulai kembali menulis di selembar kertas usang. Sayang, seandainya dia di sini menemaniku menulis. Mungkin aku tak butuh kertas-kertas ini.
Seandainya dia dapat membaca kisahku kini, kuharap senyumannya tak luntur dari sempurna indah bibir mungilnya itu. Seandainya.
kerutan demi kerutan mulai tampak di dahiku, apa ide ceritaku kali ini? Ide-ide dalam otakku koma untuk beberapa saat. belum siuman total dari mati surinya kemarin. Terlalu pedih memang, tapi semua syarat-syarat alam ini harus dituntaskan.
Aku tak habis pikir dengan semua yang sempat terjadi, namun benar bahwa dia telah menjadi sumber bahagia sekaligus menjadi sumber rasa sakitku yang mendalam. Trauma, menjadi penyakit yang teramat sulit dipulihkan buatku.
Namun tak apa, tulisan ini pernah sempurna bersamanya. Hadirnya selalu membawaku ke dalam impian-impian yang mencurangi realita. Indah, terlalu indah malah.
Sekarang, biarlah aku bersama tulisanku. Bercinta di atas kertas-kertas buram' disetubuhi oleh tinta-tinta hitam. Menghasilkan anak yaitu sebuah cerita. Kisah yang pernah kutiliskan sebelumnya melalui tinta waktu, kini kembali kutorehkan dalam sebuah cerita di atas kertas buram. Tanpa resah kemudian, kuhabisi tinta hitam ini. Kembalikan ideku, kembalikan aku. Dekatkan aku pada realita, jangan curangi aku bersama dengan kesemuan indahnya. Dia indah, namun tak nyata.

0 Entah Apa Judulnya

Entah apa judulnya, akupun tak pernah tahu. Sebab ini semua tak diketahui sejak kapan berawal dan kapan pula telah berakhir. Sebuah kesalahan yang paling manis. Dosa terindah yang menyeringai masuk ke dalam kehidupanku. Dia, yang sempat mengisi hari-hariku. Dia, yang pernah dan akan selalu menjadi yang paling memahami aku. Sekalipun raga lenyap dari pandangan, jiwaku tetap menyimpan indah cintanya. Selalu, abadi.

Ini adalah sebuah lirik lagu yang pernah diciptanya buatku sebelum ia pergi ke alam realita. Menyedihkan? Ya. Mengharukan? Ya. Membahagiakan? Ya, karena aku sempat mengenalnya dan menggenggam erat tangannya. Sayang, semoga kau tenang di alam sana. Alam realita penuh dengan puja dari mereka. Sehat-sehatlah selalu, aku memelukmu dari sini.

----------------------------
Awal senyum manismu menyambutku,
ada rasa yg tak biasa mghampiri diriku,
hingga kini kau mewarnai hidupku,
selamanya kutetap milikmu.

setiap langkah yg kita lalui brsama,
menuliskan cerita yg tak pernah terduga,
hanya kau & aku yg bisa melewati semua dgn sgenap cinta.

cinta yg t'lah persatukan kita, meleburkan sgenap asa yg tak pernah kita duga bersama,
tetaplah disisiku selamanya,
krn ku hanya ingin dirimu satu sampai Dia memanggilku kembali.
------------------------------

Terimakasih untuk sebuah lagu yang indah. Yang pernah teralun dari bibir mungilmu. Terimakasih.

2 Teriakan Seorang Bisu Rasa

11 April 2014
Dimensi kesekian mendadak menyapa dan mencumbuku tanpa jeda. Apa namanya dan bagaimana identitas kejelasan ruang ini pun tak kutemui maknanya. Sejenak kurebahkan arti di dalam sebuah senyum yang meggoda sukmaku. Senyum itu menggodaku untuk terus terperosok semakin dalam, dalam, dan dalam. Memaksaku untuk terus menikmati setiap desahan asa yang terdengar melalui pita suara yang redam dalam logika. Aku mencari jalan keluar, aku ingin pulang! Pulang? Pulang kemana? Dari mana aku ini sebenarnya berasal? Sebuah dunia tak terjamah, aku ini dari sana. Kekosongan sempat merajai jiwa ini. Ramai tak merasa ada. Sepi tak merasa hilang. Semu, hanya semu yang tampat nyata. Keberanianku mengenal sosok cinta yang berbeda, perlahan membawaku lari. Aku berlari kepada sebuah harapan yang penuh gairah cinta. Ini asa yang tidak biasa. Ini jiwa yang tak lagi sama. Dimensi ini adalah rumah baru tempatku berdiam. Nafasku penuh dengan cinta. Hatiku penuh dengan rasa. Otakku penuh dengan gairah. Semuanya ini akankah musnah? Entah! Aku tak pernah tau kapan ini dimulai. Dan aku pun tak pernah ingin tau kapan ini akan segera berakhir. Yang aku tau hanyalah hari ini Hanya saat ini. Aku bersamamu, menyatu. Sebuah tatap penuh harap adalah sumber tenaga untuk kembali berjalan menapaki dunia yang penuh dusta. Sesungging senyum menggoda itu selalu menjadi oksigen di tengah kesesakan dusta yang penuh paksa. Aku tak ingin lari. Tak lagi ingin pergi. Tak sejejakpun ingin kuasingkan dari zona ini. Hanya kau dan aku, menyatu. Sayang, jikalau kaupun harus pergi nanti, aku takkan ingin mencari lagi. Tak akan menjajaki hati-hati yang lain. Ini tempat peristirahatanku yang terakhir. Kuburku ada dalam jiwamu itu. Surgaku ada dalam kebersamaan kita. Neraka ini kita yang punya. Siapa yang sanggup masuki? Tak akan ada. Mereka pasti mati. Detik ini aku seperti kembali. Apakah kita ini merupakan produk reinkarnasi? Siapa kau, sayangku? Siapa kita? Aku merasa seperti hidup kembali dan mengulang sebuah kisah yang sama. Entah dimana, entah di lapisan dunia yang mana. Aku merasa kita ini tak jauh berbeda. Kau memang aku dan aku memang kau. Siapa empunya kita? Siapa penulis skenario jalan cerita kita. Sayang, yang kutahu hanya kau saat ini. Yang kuharap hanya denganmu hingga nanti. Yang berharga bagiku hanya harapmu dan jiwamu merengkuh setiap sendi-sendiku yang semakin lemah. Sayang, aku ingin tetap tenang. Tanpa harus menjadi bayang-bayang dunia yang tampak seolah tenang. Kita ini tak lebih dari sepasang wayang yang dimainkan oleh seorang dalang. Entah sampai kapan, takkan terbayang. Janji ku bersamamu, janjiku di relung jiwamu. Kita bersembahyang berasama di atas sajadah nya cinta. Bernafas dengan dupa asa. Aku percaya, setianya kita, adalah setianya Tuhan. Hingga sampai pada kesudahan, aku dan kau akan menjadi sebuah kitab sucinya para pemuja cinta yang bisu akan rasa.

5 Bersetubuh dengan Dia, Siluet Luka

23 Februari 2014
------Teruntukmu yang sempat singgah-------

Di seberang jalan aku melihat sebuah siluet luka yang kabur terhalang kabut senja. Aku diam, tunduk, lalu meringkuk. Bukan aku takut, aku hanya masih merasa asing dengan bentukmu yang buram. Aku diam dan pura-pura tak melihat. Kucari arti, tak jua kutemui. Siluet luka di seberang jalan kini tampak semakin dekat. Ternyata kau adalah sebuah pribadi. Manusia! Oh, siluet luka itu kini berubah menjadi sesosok anak manusia yang tampak sangat indah. Ini mahakarya Tuhan! Benarkah kau itu siluet luka yang kulihat di seberang jalan tadi? Indahnya. Kupandangi setiap inci dari sisimu. Ini aneh, tak ada tanda-tanda duka. Namun mengapa engkau tampak sebagai siluet luka? Kau diam di ujung seberang jalan sana. Hei, sadarkah bahwa kau adalah indah? Sadarkah kau bahwa ada harta yang tersimpan dalam jiwamu yang hampa? Oh, hampa? Entahlah. Aku baru saja melihatmu beberapa menit yang lalu. Namun bathinku serasa ikut tercabik saat melihat bayanganmu yang membentuk sebuah siluet dipenuhi luka, buram terhalang kabut senja. Aku melihatnya, luka. Begitu banyak luka yang tertimbun dalam jiwamu yang hampa. Sebentar saja aku memandangimu. Seketika itu aku merasa, aku cinta. Ah! Cinta lagi, cinta lagi. Bosan! Ini bukan cinta yang biasa. Bukan cinta yang harfiah. Ini cinta antar dimensi yang tak lazim keberadaannya. Sangat tidak lazim. Lantas, bagaimana selanjutnya? Kau tersenyum. Senyumanmu mengaburkan pandanganku. Mata duniawiku buta. Intuisiku menggerayangi, aku pasrah. Ilusi pun tercipta. Mata bathin seolah berkata, kau adalah aku. Aku adalah kau, benar begitu? Mungkin saja. Tapi yang kutahu, aku hilang kendali. Nalar ini tertikam oleh rasa yang aku tak tahu ini apa. Hanya pasrah. Nalar kita saling merangsang. Ide-ide kita bersetubuh dalam satu kesatuan harmoni yang indah. Membuahi alam pikir kita, dan aku melahirkan karya kemudian. Sayang, entah harus kusebut apa kau beserta dengan lukamu itu. Entah harus bagaimana aku harus memaknai persetubuhan ini. Bathin kita menyatu namun raga ini bagaikan minyak dan air yang takkan pernah menjadi larutan utuh. Kita berbeda, kita harus terpisah. Sebentar saja kunikmati persetubuhan ini. Selamanya mungkin takkan pernah aku melupakan kau beserta dengan lukamu. Kau adalah mahakarya indah. Jangan lagi kau pernah menjadi sebuah siluet luka. Aku cin... hentikan sajalah. Kita tak sama.

22 Februari 2014 -pupu-

2 Ratu

19 Januari 2014
"Hei, kamu Ratu kan? Kenalin aku Denis."
"Iya kak, semua orang di sini kenal kak Denis."
"Sabtu malem ada acara ngga? Kita ke Cafe Ceria yuk."
"Hah? Kak... Mkasudnya?"

Halah, Ratuuu ngga usah mikiiiir. Kak Denis, loh. Kak Deniiiis. Aduh Ratu, bego ih! Ratu, jarang-jarang kak Denis...... Kasak-kusuk ramai terdengar dari mulut para sahabatnya.

"Iya kak."
"Sip. Ketemu di sana ya Ratu."
"Siap, kak."
"Bye..."
"Dadaaah..."

                                                                          *  *  *

Ratu sibuk mempersiapkan dirinya. Baju baru, sepatu baru, tas baru, parfum baru, dan bandana baru. Semua khusus untuk pertemuan perdana mala ini. Aku harus tampil cantik.Sudah lama aku menantikan malam ini. Sudah 3 tahun aku memendam, rasa ini tak berubah. Hingga keajaiban pun datang, malam ini nyata! Tanpa disadarinya, air matanya tumpah.

Wangi parfumnya menyengat ke seluruh ruangan. Ia tampak begitu anggun dengan dress yang ia kenakan. Penampilannya sempurna. Sangat setimpal dengan persiapannya. Namun keringat terus bercucuran dari dahinya. Nafasnya terengah-engah. Ia gugup. Maklum saja, dia akan bertemu dengan pria yang ia cinta diam-diam selama 3 tahun. Ini kesempatannya!

"Mama, Mbak Ratih mana ma?"
"Oh, mbak mu permisi makan dengan temannya. Kamu mau kemana ini cah ayu?"
"Hehehe... Ada janji sama temen ma... Ratu permisi ya, ma."
"Jangan lama-lama pulang ya, nak. Kalau bisa bareng saja dengan mbak mu. Suruh dia jemput."
"Siap, laksanakan. Hehehe. Dah, mamaaa..."

                                                                             *  *  *

Ratu tampaknya begitu gemetar. Ia kesulitan mengatasi rasa gugupnya. Tangannya dingin dan pucat. Ini gila! Pria yang ia cintai akan duduk semeja bersamanya menyantap hidangan bersama, di sabtu malam yang... Ah, ini romantis. Kamu pasti tampan, kak. Ia berucap sendiri dalam hatinya.

Meja 3, di sudut ruangan. Ratu duduk mencoba menenangkan dirinya. Ia mengatur nafas sembari melihat arloji yang ia pakai. Kak, Denis kok belum datang yah... Ratu menunggu dengan sabar. Pujaan hatinya tak kunjung tiba. Ia melihat sekeliling dan... itu dia! Seorang pria mengenakan jas coklat berjalan ke arahnya bersamaan dengan... Siapa wanita itu? Kok, mukanya ngga asing gitu yah.

Mereka semakin mendekat. Ratu semakin penasaran dengan wanita itu. Mereka bergandengan tangan. Mbak Ratih!!! Ratu merasa lehernya tercekik. Mendadak ia sulit sekali bernafas. Jantung yang tadi berdegup dengan sangat kencang, spontan melemah. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Ia terguncang. Bumi seperti membolak-balikkan dirinya. Ia merasa gamang saat itu. Ini sangat menyakitkan!

"Dek, maaf mbak ngga ngasih tau kamu dulu, ya. Mbak mau ngasih surprise! Nih, kenalin pacar baru mbak."
"Iya, Ratih. Kemarin aku udah cari-cari adik kamu. Akhirnya aku bisa kenalan juga. Sesuai dengan permintaan kamu, aku ajak dia ke sini."
"Makasi ya, sayang."

Ratu tak bergumam. Mulutnya seperti terkunci. Sulit baginya untuk berkata-kata saat itu.

"Eh, aku jarang lihat adik kamu loh, Ratih. Ngga nyangka kalau dia junior aku."
"Iya, kak. Beda ya sama kak Denis. Semua orang kenal kakak. Kak Denis ini seniorku yang paling terkenal loh, mbak."
"Oh, ya? Hahaha. Mbak ngga nyangka, deh. Kok adik mbak yang cantik ini ngga pernah cerita ya, kalau punya senior ganteng. Hehehe."

Kebahagiaan menyelimuti wajah mbak Ratih. Lalu apa kabar dengan Ratu?  Ia menangis dalam diamnya. Tertawa dalam luka. Malam itu malam tersulit baginya. Ia menjadi pembohong besar, berpura-pura bahagia padahal hatinya tercabik-cabik oleh kenyataan yang baru saja mengahntamnya. Apa-apaan ini. Ratu mengutuki alam dan ia pun pasrah terhanyut pada kekecewaan terdalamnya.

8 Cinta Butuh Cinta

18 Januari 2014
Pernah jatuh cinta ? Apa hebatnya jatuh cinta ? Aneh rasanya saat mendengar kata-kata romantis keluar dari orang yang katanya sedang jatuh cinta. Inilah, itulah. Selalu ada kata-kata manis yang berlebihan. Nyatanya apakah cinta itu semanis puisi cinta ? Apakah cinta dapat terasa manis semanis senyuman mereka yang jatuh ke dalamnya?

Mungkin saja cinta akan terasa manis, kalau ada cinta yang lain melengkapinya. Artinya cinta itu tak dapat berdiri sendiri. Jadi ketika cinta itu bersambut dengan cinta yang satunya, bahagia akan tercipta. Namun bagaimana sebaliknya ? Cinta yang tak bersambut. Cinta yang tak punya cinta. Faktanya, untuk bahagia cinta harus punya cinta. Huhuhuhu :'(

Cinta itu pahit! Cinta itu mematikan! (Itu kalau cinta tak punya cinta lain yang menyambutnya). Cinta ini hanya akan menjadi racun. Perlahan racun itu akan menggerogoti perasaan, logika, syaraf, bahkan jiwa! Cinta sungguh sangat berbahaya. Cinta adalah pembunuh saat cinta tak punya cinta. Menyedihkan.

Insan yang bercinta adalah penjudi. Mereka mempertaruhkan 50:50 hidupnya. Kebahagiaan dan maut secara bersamaan  mengancamnya. Cinta akan memuliakannya. Cinta juga akan menghempasnya hingga 'mampus'. Betapa berbahayanya cinta.

Aku tak paham mengapa cinta harus abu-abu ? Terkadang bahagia, terkadang sedih. Mengapa harus ada cinta jika cintanya tak disambut cinta yang lain ? Apa gunanya cinta tanpa cinta ? Mengapa harus ada cinta yang tanpa jawaban ? Seseungguhnya ini menyakitkan. Sungguh. Ini siksaan berat. Darimana aku tahu ?

Sebab aku adalah cinta yang tak disambut cinta. Apalah arti cintaku jika tanpa cinta ? Karena cinta memang butuh cinta. Setidaknya ini tak mengecewakan.

0 Sesama Tuhan Akur...

Dalam sekejap kekaguman itu menusuki setiap sendi dan syarafku. Wow, damainya. Kekuatan magis dan pengaruh spiritual terasa sangat kental di sini. Sejenak kulupakan siapa aku, bagaimana aku, dan darimana aku berasal. Tak peduli apakah aku seorang yang memeluk agama Hindu atau bukan. Aku  tak peduli dengan pengkotakan terhadap agama-agama yang ada. Menurutu doktrin itu salah. Selagi aku tak mengikuti tata ibadahnya, takkan menjadi masalah. Ini bentuk kekagumanku saja.

Langkah pertama memasuki gerbang itu terasa aneh. Ada perasaan lain yang mencoba mengalihkan perhatianku. Betapa indahnya perbedaan ya Tuhan. Decak kagumku tak berhenti. Aku terus berbicara dalam hati sambil memperhatikan setiap ruangan dan segala dekorasi yang sangat memukau. Jujur, aku terpesona.

Bagiku ini adalah hal yang baru, memasuki rumah para dewa. Dewa-dewi berkumpul di sana. Mungkin mereka sedang bercengkrama, atau mungkin sedang berdiskusi tentang segala kerusakan dunia? Ah, entahlah. Yang jelas aku turut merasakan kehangatan mereka saat itu.

Kuperhatikan setiap detil yang ada. Patung-patung yang merupakan manifestasi keberadaan mereka, aku mengagimu keindahannya. Aku menatap ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah, semuanya indah. Sekelilingku penuh dengan aroma magis yang luar biasa. Bau dupa semerbak menusuki penciumanku. Hmm, Baunya lumayan.

Di dalam sana, ada sebuah  patung yang paling besar. Mungkin itu patung dewa yang paling mereka hormati. Tampak sekelompok ibu-ibu yang sedang duduk secara 'lesehan' di lantai tempat mereka memuja para dewa. Mereka terlihat sangat cantik mengenakan sari. Sari yang mereka pakai tampak begitu menawan. Keanggunan terpancar dari gerak-gerik tubuh para ibu itu. Ini menakjubkan!

Menurutku, ini merupakan kekayaan alam. Betapa indahnya saat manusia mampu menghargai setiap karya budaya yang tercipta. Betapa indahnya ketika semua umat manusia yang beragama maupun yang tak beragama saling mendukung dan menghormati satu dengan lainnya. Saat umat manusia yang tak ber-Tuhan dan yang mengaku ber-Tuhan tidak saling menghakimi . Ini adalah harmonisasi yang luar biasa. Kehidupan ini sangat kaya!

Aku rasa surga akan nyata dalam dunia saat kondisi yang kurindukan di atsa dapat terwujud dan tercipta. Ya, Tuhan. Kau sungguh luar biasa. Kau dan sesama Tuhan yang mereka sembah saja terlihat akur, lantas mengapa para pengikutmu tak dapat akur? Mereka sombong Tuhan.

0 Gugup Sendiri

15 Januari 2014
Wah, dia datang! Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Peluhku bercucuran dan astagah! tanganku pucat. Mendadak aku merasa gugup hingga gemetar. Matanya tersenyum menatapku namun bibirnya datar. Hari ini sejujurnya kukatakan, dia sangat tampan! Rasanya bumi seperti berhenti berputar dan waktu pun diam. Aku harus apa? Aduh, gugup. Kucoba cairkan suasana dengan sebuah 'tos tangan' ke arahnya, walau sebenarnya dia ingin menjabat tanganku.

"Dari mana bang?"
"Dari fakultas. Jumpain dosen."
"Wah, kapan seminar?"
"Kapan ya... em... Hehehe... Tadi baru di acc"
"Wahaa! Selamat ya. Liat dong skripsinya. Manatau bia dijiplak"
"HAHA. nah."

Melihat skripsi? Oh, bukan... Ini hanya taktik mengatasi rasa gugup ini. Melihat dia duduk di sampingku rasanya aku tak percaya. HAHA! tak kuhiraukan kata demi kata dalam lembaran skripsi itu. Aku menipu diriku. Lembar demi lembarnya malah memunculkan ingatanku tentang indah pesonanya. Aih, ini gila. Selanjutnya apa?

Dia masih diam. Suasana hening. Aku tak tahu harus mengangkat topik apa. Kamu datang menemuiku tapi kenapa sepertinya tak berniat berbincang? Haruskah aku yang selalu memulai? Lembaran terakhir skripsi kututup, namun belum ada juga suara bergeming dari mulutnya. Ah, kesal! Dia diam, aku diam. Kami seperti orang bodoh.

Senyumannya sedikit kaku, tampak tak ikhlas. Aku bingung menanggapinya. Ah, udah ah! Sombong. Kalau harus aku yang memulai, ogah ya! Gengsi dong. 20 menit terisi hanya dengan suara yang bergumam dalam hati. Mungkinkah kami berbicara melalui hati? Mungkin saja.

Ayo dong ajak aku pergi... Kemana kek... Masih saja diam. Ngapain sih kamu dateng kalo cuma bikin kesel kayak gini? ihh... Dia masih asik mengutak-atik handphone nya.

"Aku balik dulu ya, dek."
"Hah? Oh iya, iya."
"Ada urusan mendadak soalnya"
"Mau kemana bang?"
"Jumpain temen."
"Hati-hati ya..."
"Langsung pulang dek. Jangan main aja kerjanya. Cabut dulu ya"

Aku pikir, kita... Ah, aku saja yang merasakan serangan asmara ini ternyata. Dia berlalu meninggalkan pertemuan kami. Dengan cepat punggungnya lenyap dari pandanganku. Aku masih terdiam dan tak paham mengapa harus aku yang gugup sendiri.

0 [Cerita Mini] : GAGAL 10 JUTA!

"Wah, kamu cantik sekali malam ini. Siap berangkat?"
"Iya. Terima kasih."
"Tunggu ya, aku bukain pintu mobilnya. Silahkan masuk tuan putri."
"Ah, Angga! Paling bisa yah. Dasar..."

Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai di rumah ibadah itu.

"Eh, Bro! Banu mana?"
"Tuh, di sana."

Ana merasa seperti di atas angin pada saat itu. Ia melayangkan tatapan layas kepada gadis-gadis yang mengamati mereka. Ana merasa menang karena dapat berdekatan dengan Angga, sekalipun mereka bukan sepasang kekasih.

"Banu! Happy Sunday, bro."
"Eh, iya. Sip Ngga."
"Ehem..."
"Kenalin, ini Ana. Na, ini sohib aku, Banu."
"Ana..."
"Banu..."

Banu menepuk punggung Angga tanda salut. Angga membalasnya dengan senyum penuh kemenangan.

"Bro, siap Misa uangnya aku kasih, ya!"

Angga mendadak batuk dan berdehem.

"Eheeeem. Eh, Misa udah mau dimulai. Yuk, ke dalem."
"Oke, bro. Aku nyusul."

Ana memasuki ibadah Misa dengan penuh tanda tanya. Ada yang janggal dari percakapan yang terpotong tadi. Ah, tidak ada apa-apa. Percakapan mereka terpotong karena Misa sudah dimulai. Mungkin Angga memang batuk. Ana bergumam sendiri dalam hatinya. Misa kali ini sepertinya hampa. Ana memandangi wajah Angga yang sedang khusuk berdoa memejamkan mata sambil berlutut. Ngga, aku sayang kamu.

                                                                          *  *  *

PING!!!
PING!!!
PING!!!
Blackberry Angga ketinggalan. Karena banyak sekali 'PING!!!' Ana mengira pasti itu BBM penting. Dari Banu rupanya. Ana membuka BBM tersebut.

BRO, UDAH SAMPE MANA? UANG KEMENANGANMU UDAH KUTRANSFER YA. UNTUK TAHAP MENGAJAK KE GEREJA DAN BERPACARAN KAU MENANG. SELAMAT YA! HAHAHA. INGAT, LEVEL TERTINGGI KAN? 10 JUTA BRO! KALO KAU BISA NIDURIN ANA, 10 JUTA BERSIH!

"Ana sayang. Kok nunggu di luar sih. Kan panas, kenapa ngga di dalem mobil aja, sih?"
"Ana, kamu kok nangis? Kamu sakit?"

PLAAAAKKK! Ana berlari meninggalkan Angga.

Angga tak menghiraukan Ana. Ia hanya tertawa dan sudah mendapat alasannya.

"HAHAHAHA! GAGAL KAN 10 JUTANYA."

Angga melaju dengan kecepatan tinggi dan sepanjang perjalanan ia tertawa terpingkal-pingkal. Sialan, pikirnya.

By : PUPU

4 Nanti, Aku Pasti Menuliskanmu Sebuah Puisi.

14 Januari 2014
Berjam-jam aku diam. Membisu di sudut kebingungan.
Lelah mencari kata. Tak jua kutemukan kata yang tepat.
Masih kupandangi selembar kertas buram di depanku. Masih lengang aksara.
Penaku lesu. Lemah terkulai seolah menyerah.
Nafas-nafas panjang kuhela dengan paksa. Berharap membuatku lega.
Peluhku bercucuran. Dadaku bergetar kencang.
Jantungku memberontak. Aku gugup!
Ah, gila! Ini terlalu gila.
Lelucon apa ini?
Mengapa sulit sekali menciptakanmu sebuah puisi?
Aku ini ahli. Tak sulit untuk menjanjikanmu sebuah puisi.
Karena aku penjelajah hati.
3 jam berlalu,
Aku masih terpaku pada lamunanku
Tak ada ada aksara. Aku hampa bahasa.
Padahal aku mahir ciptakan puisi!
Apalagi untuk menggombali hati, ya aku paling ahli.
Sial! Kertasku masih bersih. Tak ada goresan kata.
Gugup. Aku merasakan guncangan hebat selama 3 jam ini.
Aku gugup  saat harus  membayangkan bayanganmu.
Dan menuliskannya dalam aksara.
Kucoba selami hati. Pelan-pelan kucari.
Kubuka ruang ilusi. Segera kutemui arti.
Kulihat bayangan dari bayanganmu.
Tersenyum menatapku.
Astagah! Kau ini siapa?
Tatapan itu. Tatapan kita beradu! Aku candu.
Sejenak aku merasa teduh.
Sudut lain kulihat senyumanmu menyambut.
Seketika aku kaku.
Pembuluh darah ini seolah dialiri sengatan listrik bertegangan tinggi.
Mengerikan! Ini hinaan.
Keindahanmu memasung inspirasiku. Aku merasa seperti bukan lagi aku.
Kharismamu menjerat logikaku. Aku lupa kalau ini aku.
Ah, aku belum bisa menuliskanmu sebuah puisi.
Sebab aku masih ingin menikmati pesona itu. Meskipun ini ilusi.
Tapi aku pasti akan segera menepati janjiku nanti.
Menuliskanmu sebuah puisi.
Aku ingin terus menatapmu tatapan itu. Tatapan teduh.
Meskipun menatapnyamembuatku bodoh.
Meskipun menatapnya membuatku linglung.
Meskipun menatapnya membuatku hampir mati sesak.
Aku tetap merasakan teduhmu.
Nanti, selesai kunikmati ilusi ini.
Aku berjanji akan memberikanmu hadiah sebuah puisi.
Tidak sekarang. Mungkin nanti.
Akan kuhadiahkan kau sebuah puisi.

Sebuah puisi untuk dia yang berinisial 'DAS'
Waktu dibaca olehnya,
dia kecewa karena aku tak memberikannya sebuah puisi seperti yang diinginkannya.
Sesungguhnya puisi itu adalah : kamu.