3 Syra.

29 Agustus 2014
Sejenak Syra tertegun memandangi lelaki berkulit putih pucat yang melitas di hadapannya. Lelaki itu tampak misterius dengan segala apa yang dikenakannya. Mulai dari jaket kulit, kaos v-neck, celana jeans, sepatu, gelang, dan anting bulat yang menempel pada telinga kirinya, semuanya berwarna hitam. Lelaki itu memiliki kaki yang jenjang dan badan yang tidak terlalu gemuk, juga tidak terlalu kurus. Tidak tampak otot yang menonjol, semua biasa-biasa saja. Rambutnya tampak rapi dengan potongan spike. Sepertinya lelaki itu sudah cukup dewasa.
Lelaki itu mengambil posisi duduk di pojok ruangan. Lengkap dengan kopi hitam pekat yang baru saja dipesannya tadi saat tak sengaja melintasi Syra yang sedari tadi mengamatinya dengan rasa penuh antusias. Syra tampaknya semakin penasaran dengan lelaki itu. Setiap detil gerakan lelaki itu diperhatikannya tanpa berkedip. Tak satupun Syra hiraukan, termasuk kopi yang ada dihadapannya, berubah semakin dingin. Tak sempat diseruputnya cairan kental pahit kesukaannya itu karena terlalu asik memandangi lelaki misterius yang duduk tepat di hadapannya.
Dengan rasa setengah tak yakin, Syra pun menghampiri meja lelaki misterius berkostum hitam-hitam itu.
"Excuse me. May I sit here?"
"Oh, sure. My pleasure, miss."
"Thank's. I'm Syra. How do you do?"
"How do you do, Syra. I'm Zuo."
"Are you waiting someone?"
"Yes. I'm waiting my soul."
"Are you kidding? Soul? By the way, where are you from, Zuo?"
"I'm from somewhere can't be seen by."
Zuo mengambil jeda sambil menghela nafas panjang. Lalu menyeruput kopi hitam pekat di hadapannya.
"I'm seeking the loosing soul. I have to bring it back. To my palace."
Dada Syra mendadak sesak. Rasa penasaran ini semakin mengacak-acak bathin Syra. Ada rasa penasaran yang tak biasa. Jantung Syra mendadak berdetak kencang, nafas Syra terengah-engah. Syra keringat dingin. Sekujur tubuh Syra mendadak membeku.
Zuo diam. Syra pun diam. Wajah Zuo menggambarkan ketegasan. Syra tunduk seperti ada rasa kalah. Rasa apa ini ia pun tak paham. Zuo menatap tajam ke depan tanpa isi. Tatapan Zuo kosong. Lelaki itu mematung dan tak bergerak sama sekali. Dingin. Syra semakin menggigil dibuat rasa kacau yang menumpuk dalam jiwanya seketika itu. Ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Sesuatu yang sangat mengusiknya.
Aku datang. Aku mencari jiwa yang sepi. Aku datang, mencari-mu.
Ada suara-suara aneh yang berbisik di telinga Syra. Semakin kuat dan semakin kencang. Lama kelamaan terdengar seperti teriakan-teriakan histeris hingga kalimat tersebut tak terdengar jelas. Mereka ramai.
"Diaaaaaaammmmmmm!!!!!!"
Syra teriak dan menghentakkan meja sekuat tenaga. Semua mata tak luput dari kejadian itu. Semua mengamati dengan cara mereka masing-masing. Zuo masih bungkam. Zuo tak tampak cemas.
Syra semakin histeris dan menjambak-jambak rambutnya. Mari, kembalilah pulang. Putri kegelapan, kembalilah pulang. Kerajaanmu adalah kerajaan Hitam. Rakyatmu menantimu, Putri. Segeralah sempurnakan reinkarnasimu. Jangan sesatkan jiwamu pada wujud aneh ini. Ini bukan tempatmu, kembalilah. Kembalilah.
"Syra."
"Ya?"
Percakapn itu terputus hanya sampai di sana. Mendadak semuanya menjadi gelap. Hitam, pekat. Tak ada meja-meja dan kursi. Tak ada kopi. Tak ada 'coffee shop' dan keramaian. Tak ada suara riuh, hening. Tak ada manusia seperti wujud Syra. Tak ada apapun. Namun seperti ada yang mendengung. Lengang. Senyap. Syra tak kuasa mengontrol rasa takutnya. Ia pun berteriak semakin kencang dan kencang. Ia meronta-ronta tetapi suaranya mendadak hilang. Kedap. Semuanya hampa.
***
"Syra, ini kerajaanmu. Selamat kembali pulang, Syra. Selamat datang."
"Zuo, aku..."
Syra pun diperlakukan sebagai seorang Putri Raja. Segala keperluannya dilengkapi. Semua penghuni di sana tampak aneh. Ada yang bertanduk tetapi berjalan dengan tiga kaki. Ada yang berbulu lebat tetapi hanya memiliki mulut, tanpa mata dan hidung. Ada yang bertubuh sangat mungil dengan kepala yang sangat besar. Ada yang berjalan pincang tanpa tangan. Ada yang sekujur tubuhnya basah dengan cairan yang mirip seperti air liur monster.
Apakah mereka alien? Atau apa? Apa mereka hantu? Pikir Syra. Syra pun tak yakin benar.
***
Semua tampak aneh. Seluruh ruangan  hitam dan gelap. Tapi Syra dapat melihat segala makhluk yang ada di sana. Syra dapat melihat mereka, yang berwujud namun tak berwarna. Bukan dengan mata. Bukan. Sebab tak ada cahaya di sana. Syra melihat dengan sesuatu yang lain. Berbeda. Melihat dengan cara merasakan. Syra sendiri pun tak paham. Tapi Syra melihat. Melihat dalam kesenyapan. Sepi. Lengang. Tapi Syra tetap melihat. Bukan dengan mata, tetapi dengan sesuatu yang lain. Tak ada bentuk yang konkret. Mereka tampak hanya seperti sebuah pola. Kosong. Tanpa bentuk yang nyata. Absurd dan tak berwarna. Hampa dan kosong. Terlalu sulit untuk dijelaskan menggunakan kata-kata. Bahkan surat para pujangga pun tak dapat mewakili penjelasan yang Syra rasakan.
"Ini Kerajaan Hitam, Putri Syra."
"Iya, Putri. Kami sudah terlalu lama merindukan kembalinya Putri Syra ke sini."
"Hidup Putri Syra. Sembah Putri!"
"Hidup!"
Suara riuh gemuruh pecah memenuhi ruangan itu. Ruang hitam pekat tanpa warna. Tempat ini menyeramkan. Tapi tampaknyaSyra mulai terbiasa dengan perbuatan baik para penghuni Kerajaan Hitam. Dia mulai mengaminkan bahwa benar ia adalah seorang Putri pemimpin Kerajaan Hitam. Syra mulai terbuai dengan segala pelayanan dan kuasa yang berada dalam kedua genggaman tangannya. Keinginannya maka itu perintah bagi makhluk penghuni Kerajaan Hitam. Kemana Zuo? Zuo tak tampak. Sudah lama sekali. Bahkan Syra tak tahu persis berapa lamanya waktu yang dihabiskannya di situ tanpa Zuo. Tak ada waktu. Tak ada cahaya. Tak ada lama dan sebentar. Hanya rasa puas yang ada di sana. Dan Syra mengangungkan rasa puas itu. Padahal tak ada apapun di sana. Hanya makhluk aneh yang absurd dan kesunyian.  Syra hanyalah Putri dari Kerajaan Hitam yang diselimuti kesenyapan. Senyap tanpa suara. Hampa. Tetapi Syra bahagia.
***
"Bagaimana? Sudah ada kabar?"
"Belum."
"Sudah 10 tahun, Syra menghilang. Tak ada tanda-tanda apapun."
Dan sampai sepanjang usia bumi habis pada masa kesudahannya pun Syra tak kunjung kembali. Syra menghilang. Seluruh kerabat Syra hidup dengan kecemasan dan sejuta tanda tanya sepanjang waktu mereka. Apa yang terjadi dengan Syra. Gadis itu tiba-tiba menghilang. Syra lenyap dari muka bumi. Tanpa jejak sama sekali.
Syra bermain terlalu jauh. Ia melintasi perbatasan wilayah. Di sana, di dunia yang gelap. Kerajaan Hitam. Syra betah dan jiwanya tertawan oleh rasa nyaman yang membuainya. Hingga kini, Syra tak pernah kembali. Ia abadi. Dalam Kerajaan Hitam. Tanpa warna. Tanpa cahaya. Gelap. Hitam. Pekat. Tak ada apapun, selain hanya kepuasan. Syra hidup. Tetapi mati. Syra menghilang dan tertawan.  Selamanya.
Oleh: Putri (Nangbidok)
Medan, 290814

2 Karena Bahagia Itu Sederhana

22 Agustus 2014
Karena bahagia itu sederhana.
Sepasang kekasih di sudut taman sedang tertawa lepas dan memancarkan rona bahagia di wajah mereka masing-masing. Sekilas tak ada yang spesial dari pemandangan ini. Namun, aku sendiri pun semakin ikut tersihir dengan rasa bahagia yang mereka miliki. Seolah-olah angin ikut menebarkan kebahagiaan mereka yang meluap-luap ke sekitar wilayah taman.
Kulihat sebuah pohon cemara besar yang cukup rimbun memayungi mereka dari terik matahari yang menyengat siang itu. Mereka duduk bersila dan saling berhadapan di atas sebuah bangku tua berwarna coklat dan berbahan besi yang sebagian besinya sudah berkarat. Warna cat coklat bangku tua itu juga  tak jauh berbeda dengan warna karat yang menutupi sebahagian bangku. Sehingga tak terdeteksi mana bagian karat yang seharusnya dihindari mana yang tidak. Sebab kata guru biologiku dulu karat akan berbahaya bagi kesehatan kulit.
Dalam hati aku bergumam. Lelaki itu pasti tidak cukup modal untuk membawa kekasihnya kencan di restoran mahal. Dasar lelaki tidak bertanggung jawab! Ini lagi, wanita ini terlalu bodoh. Mengapa mau hanya diajak duduk di sebuah taman seperti ini. Ini pasti wanita murahan yang bisa diajak berkencan hanya dengan modal 'cinta' dan 'makan angin'. Benar-benar sepasang kekasih yang aneh! Darimana mereka memperoleh sumber tawa itu? Apanya yang membahagiakan? Ini malah menyiksa. Pacaran itu semestinya ya di kafe, lounge, setidaknya ke tempat yang lebih baik dari ini. Ini apa, taman? Hah! Mereka pasti masyarakat golongan rendah. Iya, itu sudah pasti. Mana level orang-orang kelas atas seperti aku ini berkencan di taman seperti ini. Hahaha. Gengsi lah, ya.
Kupandangi pakaian yang mereka pakai, hanya kaos dan celana jeans. Tak ada yang spesial, mereka pun hanya mengenakan sendal jepit. Tak ada gadget yang canggih di tangan mereka, yang pada umumnya dipegang oleh orang-orang kebanyakan saat sedang duduk di manapun. Entah untuk mebalas pesan, entah untuk browsing internet, ataupun hanya sekedar pamer kepada sekitar dan mengotak-atik tak karu-karuan seluruh aplikasi yang tersimpan di dalamnya tanpa tujuan yang jelas. Sepasang kekasih ini tak tampak memegang alat canggih apapun. Tak ada tas mahal KW-Super di dekat wanita itu dan tak ada jam tangan yang mencolok dari tangan lelakinya. Dasar orang susah. Modal cinta saja bisa betah panas-panasan di taman. Aneh.
Lihat-lihat! Air mineral. Mereka hanya meneguk air mineral kemasan. Tak ada cemilan, hanya air putih. Air putih? Gila. Hahaha. Lucu sekali, pacaran modal air putih. Ini lucu! Lucu!
Mereka tampak mesra dan bahagia. Aku rasa mereka lebih pantas dianggap sepasang sahabat, sebab mereka terlihat 'asik' dengan beberapa candaan yang mengundang tawa di bibir mereka masing-masing. Kalau si wanita sudah tertawa, dia akan memukul-mukul manja lengan kekasihnya. Dan sesekali lelaki itu mengecup dahi kekasihnya yang tertutup poni. Adegan yang hampir mirip di film-film Korea. Jujur, aku tak suka. Kukira itu adalah film pembodohan. Membuai para pencintanya untuk berkhayal sesuatu yang sangat mustahil terjadi. Aku selalu merasa geli kalau adikku dan para sahabatnya berteriak-teriak histeris membicarakan jalan cerita film drama korea yang baru saja mereka saksikan.
Dua jam berlalu. Sepasang kekasih yang kuamati dari tadi masih saja berkelakar mesra. Mata mereka pun masih berbinar-binar. Saling menatap. Seolah ada pesan yang mereka sampaikan melalui hati ke hati. Mereka bertatapan lama, wajah mereka semakin mendekat. Si wanita mulai memejamkan mata sambil membuka sedikit bibirnya. Eh, eh, eh, ada apa ini? Eh? Masa aku harus mengamati mereka ber... PLAKKKK!!! Kekasih wanita itu menjitak dahinya yang tertutup poni lalu tertawa-tawa puas. Mereka pun akhirnya saling tertawa. Sejujurnya kalau untuk yang ini akupun ikut tertawa juga. Ini adegan yang sangat lucu menurutku. Karena merasa malu, si wanita menggelitik pinggang kekasihnya, lalu mereka pun berlari-larian saling mengejar satu sama lain.
Cara pacarannya 'jadul', ih! Lebay... Dasar masyarakat kelas bawah. Norak!
Tampaknya mereka kelelahan. Akhirnya si wanita memberi kode kepada kekasihnya, ia meminta pulang. Mereka bangkit dari bangku taman dan bergandengan tangan mesra sambil berjalan menyusuri rerumputan dan bunga-bunga yang indah. Tanpa mereka sadari pun mereka melewati aku yang sedari tadi mengamati kebahagiaan 'aneh' mereka. Wajah mereka tetap tidak terlepas dari senyuman malu-malu. Ya, seperti inilah kalau sedang kasmaran. Mabuk karena cinta. Cinta yang kerrr... re. Ah?
Aku tersentak! Gumamku tadi terbata dan terputus tiba-tiba. Aku dikagetkan dengan apa yang baru saja kulihat. Kalian tahu? Kalian tahu? Mereka memasuki sebuah mobil sport mewah. AUDI R8 V10!!! Dan langsung melesat jauh. Aku terpelongo memandangi pemandangan barusan. Sangat mengagetkan.
Aku yang sedari tadi hanya duduk ber-AC di salam mobil Avanza milikku, tertunduk malu telah terburu-buru menilai sepasang kekasih tadi. Memandang cinta yang murni dari sebuah kemewahan dunia. Aku salah besar mengenai ini.
Aku benar-benar merasa tertampar dengan pelajaran yang kudapat siang ini. Ternyata bahagia itu sederhana. Ya, bahagia itu sederhana.
Akupun semakin tambah kesal dengan kekasihku yang sedari tadi kunanti tak kunjung datang. Mendingan pergi saja. Punya kekasih 'kaya-raya' , tapi tidak memiliki waktu luang untuk hanya sekedar makan siang saja. Ini sebuah ironi. Akupun segera beranjak dari taman itu. Menyusuri jalanan ibu kota yang macetnya luar biasa. Apalagi di jam-jam makan siang seperti ini.
Medan, 230814
Oleh: Putri (Nangbidok)

0 Kekasih.

21 Agustus 2014
Kekasih, demi rasa rindu yang kuendap dalam darahku, kucari warna indah senyumanmu dalam imaji. Kegaiban cinta merasuki sekujur tubuh, lalu aku patuh pada setiap lirihnya sepi, Kekasih.
----
Kucari hatimu dalam ritmis air hujan, menggenang. Lalu aku gelisah dan air mataku tumpah ruah. Dalam langkah yang papah, aku tertatih, terseok, menilik sepotong kisah yang terbungkam. Lama, lama sekali.
----
Kekasih, aku menemukanmu dalam sunyi. Ketika malam semakin legam, ketika matahari berdiam.  Di sana aku hidup dalam imaji. Bersamamu, di ruang hati yang sepi.
----
Ajari aku mencintai tanpa pamrih. Seperti kau yang selalu menanti di ujung simpang. Berdiri, tanpa sesuatu yang pasti. Di sana, di ujung simpang yang semakin sepi.
----
Kekasih, lantunan doa adalah kekuatan. Ajarkan aku mendamba dalam sebuah iman. Bahwa aku pasti milikmu. Sekalipun kau bukanlah pilihan. Aku tetap ingin mendamba.
----
Di sini, rasa rinduku mendidih. Kesabaranku seperti akan mengeluarkan lavanya. Ingin kucuri tubuhmu dari pasungan tata krama, biar kita berpesta dalam cinta. Saat itu, cahaya pasti akan menyeringai. Riang ria, berbahagia bersama kita.
----
Kekasih.
Medan, 220814
Oleh: Putri (Nangbidok)

1 Pendakwa!

Jika mencintai adalah dosa, untuk apa ada rasa?
Jika berzinah adalah hina, untuk apa ada gairah?
Jika neraka adalah duka, untuk apa ada karma?
Jika menikah adalah ibadah, untuk apa ada pe es ka?
Hidup ini adalah parodi tawa.
Penuh lelucon-lelucon sampah.
Aku mencintai dirimu, dan itu dianggap menjijikkan.
Menjijikkan, lebih dari sampah.
Jika sampah memang tak berguna,
Untuk apa orang-orang miskin mengais-ngaisnya dengan penuh peluh?
Tidakkah dunia ini benar-benar lupa.
Bahwa norma hanyalah milik para pendakwa?
Bukan milik manusia pendosa.
Mendakwa, hanya mendakwa.
"Kau, bersalah!"
"Matilah, kau!"
"Dasar penghuni neraka jahanam!"
Benarkah demikian, sayang?
Kukira, mengasihi adalah kunci utama.
Bukan malah merampas hak-hak sesama.
Jika kita sampah, mereka pun tak jauh lebih berharga dari kita.
Setidaknya kau dan aku masih memahami arti cinta yang sesungguhnya.
Bukan seperti mereka,
Yang berkhotbah, lalu berzinah.
Bertaubat, kemudian bermaksiat.
Atau jangan-jangan kau dan akupun adalah bagian dari mereka?
Pendakwa.
Oleh: Putri (Nangbidok)
210814

6 Bayangan Cantik

15 Agustus 2014
23 Maret . 11.30 WIB
Sayang, jangan lupa obatnya diminum ya. Ntar malem mau dibawain apa? Kamu istirahat yang cukup, jangan banyak gerak dulu. Aku masih di kantor, sebentar lagi keluar makan siang sama Heri. Sampai ketemu nanti malam sayang. Love you!
"SMS dari siapa, sayang?"
"Oh. Enggak. Ini, anu."
"Roy? Kenapa ngga dibales? Bales aja. Ngga apa-apa."
"Ntar aja deh."
"Yaudah, sekarang kita kemana?"
"Ngopi, yuk!"
***
23 Maret . 20.30 WIB
"Halo, yank"
"Yank, bukain pintu. Aku udah di depan."
"Iya, sayang. Sebentar aku suruh Bi Jum."
Roy, lelaki tampan ini adalah kekasihku. Sangat tampan dan juga sudah cukup mapan. Yang kutahu, dia sangat mencintai aku. Aku kenyang dengan segala perhatian dan cinta darinya. Lelaki yang romantis. Setiap berkunjung, Roy tak pernah lupa membawakanku bunga dan coklat. Boleh kukatakan bahwa ia adalah lelaki idaman hampir semua wanita. Aku bangga memilikinya.
"Sayang, apa kabar? Masih pusing kepalanya? Wah! Anget! Masih demam kamunya."
"Ngga kok, sayang. Aku udah seger gini. Aku sehat, loh!"
"Tadi siang kamu ngga kemana-mana kan, sayang?"
"Ngga sayang. Aku tiduran di kamar aja. Ngga kuat keluar."
"Iya, sayangku. Oh, iya. Aku bawa... ini...!!!"
"Wah mawar!!! Hmmm... thank u babe. Coklat!!! Waaaahaaa..."
"Nih, aku juga bawa ini nih."
"Sop ceker??? Asssiiikkkk!!!"
"Aku suap kamu ya, sayang."
Seperti inilah situasi yang terjadi setiap kali Roy mengunjungiku. Aku diperlakukan seperti ratu. Teramat sangat spesial. Aku merasa sangat diperhatikan. Sebagai wanita, aku tersanjung dengan segala perhatian yang diberikannya. Ya, Roy adalah lelaki yang spesial.
***
25 Maret . 10.00 WIB
"Semalam kemana?"
"Ke dokter. Roy permisi dari kantor."
"Oh. Baik banget ya, dia."
Senyum itu. Dia tersenyum dengan seonggok rasa perih yang tertimbun lama di dalam hatinya. Dia menatapku tajam. Tatapan yang penuh luka. Aku tahu, dia ingin berteriak dengan tangisnya yang tertahan. Aku tahu itu. Akupun begitu. Aku paham dengan apa yang dirasakannya. AKu merasakannya sayang. Aku tahu kau hancur! Aku tahu kau luka! Aku tahu.
"Hey, cantik. Kenapa nangis?"
"Ngga, sayang. Ngga apa-apa. Perih aja mataku. Kemasukan debu, kali"
"Sini aku tiup."
Aku rengkuh dia dengan segera. Kudekap dia sekuat-kuatnya. Hangat. Aku merasakan rasa yang berbeda. Aku merasa aman dan nyaman berasa dalam pelukannya. Aku sangat mencintai dia. Teramat sangat mencintai dia. Bahkan jauh! Jauh dari aku mencintai, Roy.
***
26 Maret . 13.00 WIB
"Cantik. Makan di mana kita?"
"Di tempat biasa aja, sayang."
"Kamu ada kelas?"
"Ada. Tapi ntar jam empat."
"Oke. Oh, ya. Semalem Roy ke rumah?"
"Ngga, sayang."
"Yaudah, yuk sayang. Mobil aku parkir di sana."
"Iya, sayang. Hayuk."
***
28 Maret . 09.00 WIB
"Sayang, nanti siang mau dibawain makan siang apa?"
"Ah, ngga usah. Aku makan bareng Dewi, kok. Lagian masih ada tugas kampus, sayang. Sayang makan sama Heri aja, ya."
"Oh, gitu ya sayang. Oke deh. Bye. Love you my baby Cantik."
"Love you too my baby Roy."
"Yuk, berangkat."
"Iya, sayang."
"Kamu ntar ngga takut dapet E apa, bolos mulu?"
"Ah, ngga sayang. Males aja liat dosennya."
"Yaudah, tapi semester depan udah bisa berubah ya, sayang."
"Hehehe."
Dea langsung mencubit hidungku dan mengecup keningku.
***
08 April. 19.00 WIB
"Sayangku, Dea... kenapa mukanya cemberut gitu, sih?"
Dea hanya tersenyum
Kurengkuh ia. Kubenamkan wajahnya di leherku. Dia menangis.
"Aku sayang kamu, Cantik. Aku sangat menyangimu dengan setulus hatiku. Aku benar-benar mencintai semuanya kamu."
"Iya, sayang. Aku pun demikian. Aku juga benar-benar mencintai kamu. Apa adanya kamu. Semuanya kamu, aku cinta, Dea! Aku cinta."
Malam itu, Dea hanya menangis di pelukanku. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Rasa sakit ini. Terlalu dalam menusuk relung jiwa kami. Aku, Dea, kami saling mencintai. Sekalipun tak pantas. Tapi kami benar adanya dan rasa ini nyata. Dea dan aku adalah aib bagi norma dan realitanya hidup. Orang-orang seperti kami ini tak layak menikmati bahagia kami. Cinta bukanlah anugerah, melainkan dosa. Masyarakat seolah-olah Tuhan. Kami dihakimi, dicerca, dan dikutuki dengan segala sumpah serapah. Yang aku sangat tidak suka adalah bahwa aku dan Dea diberi cap sebagai wanita "Lesbian". Entah bahasa apa itu. Entah dari mana dan apa maknanya, kami pun tak tahu. Yang kami tahu hanyalah cinta dan sebuah rasa yang tak biasa. Kami menyebut ini bahagia. Apa bedanya kami dengan insan lainnya? Kamipun berhak bahagia.
***
Tiga tahun berlalu. Roy melamarku untuk menjadi pendamping dalam hidupnya. Keluargaku dan keluarganya sudah menentukan tanggal baik untuk hari pernikahan kami. Bahagiakah aku? Tidak. Aku sakit. Hatiku hancur dan air mataku berderai dalam bathinku. Senyum palsu yang kulukiskan di wajahku semakin membunuh setiap inci dari jiwaku. Dadaku sesak, penuh, seperti akan meledak. Sekujur tubuhku meriang menahan kesedihan yang kusembunyikan jauh di balik relung ini. Sejatiku adalah wanita. Wanita harus menikah dan berkeluarga. Dan kesejatian ini adalah siksaan jahanam bagi raga dan sukma yang tak bersalah ini.
***
18 Mei . 23.00 WIB
Kurebahkan tubuhku di samping tubuhnya. Dea, wanita ini selalu menjadi surga. Tempat bernaung dan menumpahkan segala keluh. Hanya memeluknya saja, bathinku tenang. Ketakutanku lenyap untuk sesaat. Aku mencintaimu, Dea. Sayangku.
"Aku mencintaimu, Cantik. Sangat mencintaimu. Berbahagialah."
Dea menangis. Ingin sekali kuseka air mata itu. Tapi tanganku sekejap terasa kebas dan kaku. Kondisi ini sangat menyiksa. Sakit sekali.
"Masa depanmu sudah di depan mata Cantik. Selamat atas pernikahanmu. Bulan depan, kamu bukan lagi Cantikku. Kamu takkan lagi untukku. Aku harus tau diri. Iya kan, Cantik?"
Aku terisak dan sesak. Tiada sepatah kata pun kuucap, hanya isakan tangis yang terbungkam oleh kesunyian malam.
"Dea, sayang. De... Ak... Aku... maafin aku. Maafin aku. Aku ngga tau harus berbuat apa. Ibuku berharap aku segera menikah. Aku membawa nama keluarga. Aku ngga tau akan apa jadinya kalau keluargaku tau tentang kita. Maafin aku yang belum sanggup menanggung siksa moral dari cemoohan masyarakat kita. Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu! Tapi aku lemah. Apa yang harus kulakukan?"
"Sayang, kamu ngga salah. Ini memang sudah seharusnya. Kamu harus membahagiakan ibumu. Keluargamu takkan pernah mengerti kita. Ketahuilah, aku tetap mencintaimu. Selalu dan akan terus mencintaimu. Aku tetap di sini. Ngga kemana-mana. Aku akan selalu menjadi penghuni dunia bayang-bayang itu. Aku pasti akan selalu setia menjadi bayanganmu. Dimanapun kamu ada, aku ada di disitu."
"Dea... aku takut!!! Aku takut kamu ninggalin aku. Setelah aku menikah kita masih boleh ketemuan, kan??? Aku mungkin akan mati kalau tanpa hadirmu."
"Kan ada Roy, sayang. Dia mencintaimu dengan tulus.  Berbahagialah, ada dua makhluk Tuhan yang teramat sangat mengagumimu dan mencintaimu dengan ketulusan. Berbahagialah, sayang. Jangan nangis lagi."
"Kamu jangan pergi. Aku mohon."
"Iya, aku ngga pergi. Nanti, kamu bebas kapan aja main ke rumah aku. Aku selalu ada buatmu. Kapanpun kamu butuh, aku ada. Aku janji. Udah ah, aku ngga mau kamu nangis. Kan kamu yang ninggalin aku duluan. Hehehehe."
Mungkin Dea benar, aku adalah manusia yang sangat beruntung. Aku dicintai dan dijaga oleh ketulusan dua insan yang berbeda. Tapi seumur hidup aku harus menanggung siksa bathin ini. Setiap kali aku harus bercinta dengan Roy, ada bayangan Dea yang meracuni syarafku. Seketika itu pula aku tercekik dan sesak oleh rasa cinta yang gila ini. Dan setiap kali aku bercinta dengan Dea, bayangan Roy juga selalu hadir dalam ingatanku. Selalu begitu. Bayangan mereka, bayangan mereka selalu saja menghantui kemanapun aku pergi.
***
Bertahun-tahun aku menikah, rumah tanggaku berjalan lancar. Aku dan Roy dianugerahkan 3 orang anak. Kini anakku yang sulung sudah duduk di bangku SMA.  Roy dan aku semakin menua. Kami tidak lagi muda. Roy berhasil membahagiakan aku dan anak-anakku. Keluarga kami sangat harmonis. Aku bangga memiliki suami seperti Roy. Dan seiring berjalannya waktu, aku terlalu fokus pada keluarga kecilku. Tanpa kabar dari Dea. Kukira dia sudah melupakan aku. Akhirnya kuputskan untuk menutup lembaran kisah lama bersamanya. Tapi... ini tidak berarti aku melupakan Dea. Aku ingin tahu kabarnya. Dimana Dea? Sudah seperti apa dia sekarang? Apakah masih ada cinta di jiwanya untukku? Apakah Dea masih menjadi penghuni dunia bayang-bayang itu? Aku sangat merindukannya. Dea... Aku merindukanmu...
***
Mendadak aku ingin tahu kabar Dea. Aku rindu. Sejenak saja aku ingin memeluknya, lalu pergi. Aku ingin mendekapnya, merasakan hangat nafasnya. Aku rindu dia. Dea.
"Halo... Ini bener nomernya Agung?"
"Ya, siapa?"
"Agung! Hey! Ini aku, Cantik. Masih inget aku? Dulu kita sering nongkrong bareng! Aku, kamu, Dea, Alan, Mario."
"Kamu... pacarnya Dea dulu kan? Cantik! Wah dapet nomer aku darimana? Surprise banget kamu nelpon aku! Kamu sanggup yah, nikahan ngga ngundang kita-kita."
"Maafin aku, Gung. Kamu masih sama Alan? Apa kabar Alan?"
"Wah, masih Cantik. Kita tinggal serumah sekarang. Kamu... kamu ngga jengukin Dea?"
"Jenguk? Dea? Ini aku malah mau nanya ke kamu kabar Dea. Dea apa kabar? Dea sakit? Gung, serius!"
"Kamu ngga tau? Pantesan. Udah sebulan Dea di rumah sakit. Koma."
Tuttt...Tuttt... Tuttt...
Dea sakit? Koma? Shit!!! Lelucon apa ini? Mengapa di saat seperti ini aku tidak ada di sampingnya? Dulu, Dea selalu menjadi bayanganku. Menemani aku, kemanapun dan kapanpun, Dea setia. Aku meninggalkannya, dan kini Dea sakit. Aku tidak ada di sampingnya.
***
Innalillahi Wainnalilahi roji'un.
Belum sempat aku melihatnya. Dea pergi meninggalkan aku untuk selamanya. Semalam saja aku tahu mengenai keadaanya yang koma, Dea langsung pergi begitu saja. Tanpa kecupan, tanpa rengkuhan, tanpa desah nafasnya yang hangat. Dia pergi, tanpa pamit. Dea pergi! Dea meninggal! Dea meninggal!
***
Ini detik-detik tersakit dalam hidupku. Neraka yang sesungguhnya. Kupeluk Jenazah Dea, kuciumi seluruh wajahnya. Dingin. Dea! Deaaaaaaaaaa! Aku berteriak-teriak histeris. Menangis memeluknya. Mengguncang-guncangkan jenazah Dea yang kaku. Berharap ia mendengar dan bangun.
"Dea... bangun!!! Dea!!! Sayang!!! Deaaaaaaaaaaaaaaa!!!"
Kupeluk jenazah Dea yang tak lagi hangat seperti saat-saat dulu. Mata indahnya tak lagi teduhkan aku. Mata itu tertutup dan lenyap untuk selamanya. Dan nafasnya, nafas yang dulu menjadi nafasku. Kemana nafas harum itu? Mana?
"Deaaaaa... bangunnnn... bangun sayaaaaang! Ini aku dateeeeeng peluk kamu. Maafin aku! Maafin aku Deaaaaaa!"
***
"Alaaaaan... bangunin Dea! Bangunin Dea! Aaaarrrrrrggghhh! Bangunin Dea, laaaaaan"
"Udah ya, Cantik. Dea udah bahagia di sana."
"Lan, kasihin ini sama Cantik. Ini titipan Dea yang harus disampein ke Cantik."
Aku menerima sebuah tumpukan album, map, buku harian, dan file suara yang tersimpan di beberapa disc milik Dea. Kubuka lembar demi lembarnya, masih di lembar pertama air mataku sudah tumpah ruah. Banyak tulisan-tulisan Dea tentangku. Setiap hari. Hanya tentang aku. Di sana ada foto-foto ku, lengkap. Ini membuat dadaku seketika sesak! Kutemukan beberapa tulisan;
*
Hari ini Cantikku mengenakan gaun pengantin yang anggun. Bukan denganku. Tetapi aku tetap berbahagia untuknya. Ini cintaku.
*
Cantik kemana? Dia tak jua datang seperti janjinya sebelum menikah. Sudah sebulan ini aku tak mendengar suara riangnya. Hujan, aku rindu cantikku. Bawa dia pulang, Hujan.
*
Aku menguntitnya dari kejauhan. Hari ini kulihat Cantik di halamannya sedang menyiram tanaman-tanamannya. Dia tampak sangat bahagia.
*
Hatiku remuk! Melihat Cantik dipeluk mesra oleh lelaki itu. Tubuh ini kedinginan tanpa dekapannya. Cantik, kenapa kamu lupakan aku.
*
Hari ini aku menemani Cantik berbelanja baju-baju bayi dari kejauhan. Tetap saja dia tak sadar bahwa aku selalu ada di dekatnya.
*
Menjadi bayangan adalah takdirku. Untuk Cantik, aku rela menjadi apa saja. Termasuk menjadi bayangannya. Yang mengawasinya, menemani dalam kesetiaan, namun semu dan tak terjamah. Aku ini bayangan yang selalu menjaganya.
*
Cantik semakin tampak anggun. Membesarkan anak-anaknya yang lucu. Aku masih di sini, hidup salam dunia bayangan yang diciptakannya untukku. Aku selalu menemaninya, seperti janjiku.
*
Aku sakit kanker. Berapa lama lagi aku mampu menjaga Cantikku? Kenapa aku harus kalah dan gagal menjaganya lebih lama. Tuhan! Angkatlah penyakit ini. Aku masih harus menjaga Cantikku dari jauh.
*
Cantik, aku kesakitan. Kumohon, tenangkan sakitku. Peluk aku, Cantik. Kamu dimana? Kamu lupa aku masih di sini? Kamu lupa dengan janji cinta kita? Cantik. Aku semakin lemah.
*
Menjadi bayangan selamanya adalah tanda cintaku. Jika pun aku harus meninggal, dalam dunia baka pun ruh ku pasti akan selalu menjagamu. Cantik, aku mencintaimu.
*
Cantik, mungkin jasadku akan habis. Tapi jiwa dan ruh ku akan senantiasa bersemayam dalam dirimu. Saat kamu melihat bayanganmu, ingatlah bahwa itu aku. Aku yang tak akan pernah berlalu dari keberadaanmu. Kita pasti akan selalu bersama, seperti janji kita. Sekalipun kita takkan pernah menyatu. Aku akan selalu mencintaimu. Aku menjagamu dengan ikhlasku. Dengan cintaku.
*
...
Oleh: Putri (Nangbidok)
Medan, 160814

2 Sejenak

3 Agustus 2014
Tatap mata beradu
Mata yang tak kukenali asalnya
Jiwa yang tak kusinggahi sebelumnya
Menyengat jantungku seketika itu
Sedetik per sekian mikron waktu
Jantungku berhenti berdegup
Sebuah tatap
Saling membalas
Sebuah senyum
Saling tersimpul
Sebuah cerita
Saling melebur
Ada bunyi-bunyi lainnya
Seperti kupu-kupu yang bahagia karena nektar bunganya
Seperti itulah nada-nada dalam sekujur tubuhku berbunyi
Sebuah rengkuhan
Sejenak menenangkan
Tersentak
Aku mendadak sesak
Sebab kita bukan teman
Bukan juga pilihan
Bukan
Dan selesainya
Aku rindu
Aku merindumu
Berharap waktu akan mendamaikan hatiku
Mempertemukan kita
Pada wujud yang berbeda pula
Aku rindu

0 Kemarin

1 Agustus 2014
Kemarin kita bersumpah bahwa darah adalah mahar bagi cinta
Kemarin kita bermadah bersama dalam sebuah kidung pujian senja
Kermarin kita berserah pada jiwa yang penuh dengan gairah
Sumpah darah, lenyap.
Madah pujian, lenyap.
Jiwa, tak lagi bergairah. Lenyap.
Waktu-waktu hanyalah dusta.
Dustaku mendustai hatimu.
Suka-duka hanyalah cerita.
Ceritaku yang hanya akan menjadi karya.
Jiwa-jiwa tersiksa dalam jeruji norma.
Aku hendak apakan luka ini? Luka kita menyesah raga hingga lemah tanpa daya.
Sumpah darah mestinya tak sia-sia.
Madah pujian mestinya tak terbungkam.
Jiwa kita mestinya bebas dalam rasa, asa, dan cinta.
Keindahan yang mendasar pada hal yang berbeda, istimewa dari yang lainnya.
Keindahan yang mestinya tak dikotori kata dosa. Kata mereka.
Keindahan yang mestinya memiliki hak yang serupa dengan manusia pada umumnya. Cinta yang sama. Cinta.
Kemarin hanya akan menjadi kemarin.
Cerita hanya akan menjadi cerita.
Dusta hanya akan menjadi dusta.
Seharusnya kita kembali bermadah bersama.
Seharusnya kita kembali bersumpah demi darah yang tertumpah.
Seharusnya.
Dan kemarin pun seharusnya tak mesti ada.
Atau...
Semestinya tak pernah ada kini!
Hingga kemarin akan selalu menjadi hari ini.
Oleh: Putri (Nangbidok)
Medan, 020814

0 Dunia Bayang-Bayang

Hanya melodi yang keluar dari tuts-tuts piano itu. Serangkaian nada yang hingga saat ini masih membawaku kepada mimpi yang tertunda. Kenangan itu, mendadak menyapa.
Di tengah pekatnya malam aku berbisik pada awan, aku mencintainya. Sampaikan padanya bahwa aku belum mampu menyerah pada realita. Kebahagiaanku hanya sebatasmu, awan. Bersamanya, bahagiaku terlihat namun tak tergapai. Sepertimu, pekat malam tak menjauhkan kau dari langit itu. Kau tampak, namun tak nyata. Kau tak ada. Awan, bahagiaku selayaknya dirimu.
Mengapa ada jika tak terjamah? Mengapa indah jika akhirnya kau menghitam? Lalu? Kau menangis? Hujanmu bukti bahwa kau rindu pada bumi. Begitupun airmataku. Aku menyerah pada asalku. Cintaku indah, kemudian perlahan menghitam. Dan tangisan adalah akhirnya.
Di sini, aku masih bersama dengan melodi-melodi indah itu. Mereka masih mengalun, menghipnotisku. Merasuk hingga ke seluruh nadi. Aku kalah! Aku menangis, kemudian menyerah pada bumi, asalku.
Awan, sampaikan salamku padanya. Jangan minta dia untuk memaafkanku, aku tak layak. Biarlah aku menyapa indahnya melalui bayangan saja. Hanya bayangan. Biarlah aku memeluknya dengan cinta. Sekalipun hanya bayangannya saja. Bahagiaku memang seperti awan. Indah, tak terjamah. Ada namun tiada.
Hanya melodi dari tuts-tuts piano itu yang menjadi teman setia. Di sana, ada kita. Sekalipun aku menyerah pada bumi asalku. Aku tetap mencintainya melalui nada. Biarlah realita menelan segala yang asa, aku tetap untuknya.
Dalam dunia bayang-bayang, di sana aku akan bebas membahagiakannya. Sekalipun aku teringat pada bumi, asalku.
Dan kini relakan aku yang harus pergi. Sejenak meninggalkannya di sudut sepi. Sebentar saja, sebentar saja. Istirahatkan dia dalam lelahnya, awan. Nanti aku pasti kembali menyapa dia. Di sana, di dunia kami berdua. Hanya aku bersama dengannya, di dunia yang tak terjamah, dunia bayang-bayang.
Oleh: putri (nangbidok)
(Medan,020814)
*selalu ada rindu untuknya yang selalu setia menanti dalam dunianya, dunia bayang-bayang*