Menulis dengan nyawa.
Kalimat itu
memaksaku untuk terus merenung. Saat aku membaca sebuah buku ‘best seller’
milik salah seorang tokoh penulis yang terkenal di Indonesia. Aku tahu tapi
sesungguhnya aku tak memahaminya. ‘kamu hanya menulis dengan serangkaian kata
yang kamu pilih. Bagus, namun tak bernyawa’ Mirip sekali. Ya, kalimat yang ada
di buku yang kubaca sama persisnya dengan sebuah komentar yang aku terima dari
seseorang yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Entah aku ini terlalu
berlebihan menyebut orang itu demikian, namun begitulah yang kurasakan. Dia
membawaku terbang bebas. Memaknai hidup dengan keaslian. Kurasa dia sangat
hebat dalam menilai sesuatu. Dia benar, aku sendiri mengakui itu. Aku seperti
kehilangan nyawa. Yang aku sadari bahwa nyawa itu hanya datang jika aku menulis
secara jujur. Menggambar isi hati dengan kata-kata yang polos. Mengalir. Tanpa
harus takut salah. ‘Nyawa...’ gumamku dalam hati. Masih dalam posisi telentang
aku menghadap langit-langit kamarku. Diam sejenak lalu mulai menelusuri ingatan
demi ingatan terdahulu. Aku masuk ke dalam rekaman-rekaman histori perjalanan
hidupku. Banyak sekali. Sampai-sampai aku hampir melupakan sebagian dari apa
yang pernah aku lewati. Kisah demi kisah kubaca abstrak dalam memori otakku.
Seperti sedang menonton film, aku menonton diriku sendiri. Di sana, di alam ingatan
itu. Aku menemukan nyawa. Banyak kejujuran yang semakin terkikis oleh tuntutan
keadaan. Nyawa itu, kejujuranku menjalani hidup. Kejujuran yang kumaksud adalah
keberanianku menyuarakan inginku. Cita-cita, hobi, minat, bakat, dan usahaku
untuk mereka. Saat aku menjadi diriku sendiri. Bersahabat dengan mereka.
Berkelakar dalam imajinasi di luar nalar manusia. Duniaku, tempat dimana aku
bebas mengekspresikan segalaku. Tanpa harus menjadi siapa agar apa. Aku, dulu
di duniaku bersama dengan kejujuranku. Kini, aku sendiripun merasa, nyawaku
hilang terbang. Hari demi hari bergulir dengan biasanya. Tak ada minat, hasrat,
dan rasa antusias. Semua terjadi saja dengan seadanya. Mengalir seperti air
yang akhirnya akan bermuara ke laut. Diam, tenggelam, dan lenyap. Belum sampai
aku di sana. Masih dalam perjalanan terhanyut dalam arusnya. Aku belum lenyap.
Tersadar dalam diam, bantalku basah. Airmata menggenangi sudut kiri dan kanan
mataku. Mereka membasahi pipi kanan dan kiri lalu tumpah terserap oleh kain
bantal merah jambu milikku. Aku menghela nafas panjang, lalu tersendat
membuangnya. ‘Dimana nyawa itu’ aku bergumam. Hatiku seolah berbicara. ‘Dia di
sini. Segera temukan dia. Kau mampu’ Seperti berdialog dengan seorang kawan,
aku berdialog dengan diriku sendiri, suara hatiku. ‘Apakah aku mampu?’ Ya, aku
tak yakin apakah aku akan mampu kembali menjadi aku yang ‘bernyawa’. Dikte dan
larangan sudah terlalu tebal menutupi hasrat ini. Tekanan dan ketakutan biasa
menghujaniku. Keterbatasan dan keadaan membuatku harus berpikir realistis. Keadaan
yang memaksa tunduk kepada realita. Apa itu realita? Sebegitu kejamnyakah
hingga ia merampas nyawaku? Aku hidup, tapi dalam kekosongan. Semua merupakan
paksaan. Semua ini paksaan! Aku harus menjadi itu karena supaya aku bagaimana.
Aku harus begini supaya aku begitu. Hal terburuk yang menjadi dampaknya adalah
aku. Aku yang sekarang ini. Aku yang biasa dengan dikte dan kekangan. Aku yang
terkekang dengan batasan realita. Bermimpi setinggi langit-langit kamarku pun
aku takut. Takut terjatuh dan merasakan sakit. Dimana semua mimpi-mimpiku?
Kejujuranku menjadi diriku sendiri, kini hilang. Lenyap. Perjalananku hanya
sebuah kebohongan. Aku bukanlah diriku. Kini, aku masih menjadi aku yang
memaksa mencoba menjadi siapa. Berlaku demikian supaya apa dan bagaimana.
Terpaksa, untuk menyenangkan hati-hati mereka yang inginkan aku begini begitu.
Keadaan. Salah satunya adalah keadaan selain orang tuaku. Realita ini begitu
kejam sampai-sampai dia merampas nyawaku. Jangan salahkan aku, aku kini hilang
hasrat. Menjalani semuanya hanya demi menjalankan kewajiban. Demi memuaskan
orang lain. Bukan memuaskanku. Dalam keadaan masih terlentang, aku menutup
mataku yang terasa perih akibat menagis terlalu lama, lalu kembali menghela
nafas panjang. Aku bangkit perlahan dan mengambil langkah kecil kearah cermin.
Aku melihat wajahku. Tanpa ekspresi, datar. Kusoroti kedua mata yang adalah
mataku. Kulihat kedalam, dalam, dalam, aku mendapatinya. Terlalu jauh. Nyawa ku
sudah terlalu jauh tertanam di sana. Jauh. Terlalu lelah untuk mengambilnya
kembali. Biarlah aku menjadi diriku ini yang entah siapa. Agar aku dapat
menjadi apa dan bagaimana. Dan hasratku, biarkan kujamah mereka dalam diamku,
kekosonganku. Aku (terpaksa) bahagia. Bahagia dalam diri yang lain. Siapa yang
akan menjadi apa. Aku yang berbeda dengan aku yang terdahulu.
0 tinggalkan komentar:
Posting Komentar