Belajar Menulis Citizen Reporter: MEMPERINGATI INTERNATIONAL WOMEN’S DAY

5 April 2013


Saya mengikuti sebuah aksi orasi dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD) pada tanggal 8 Maret 2013 silam. Aksi orasi ini merupakan bentuk partisipasi mahasiswa yang perduli dengan isu-isu perempuan yang marak beredar di ranah publik akhir-akhir ini. Ada sekitar 8 organisasi yang menaruh sumbangsih dalam kegiatan ini, diantaranya beberapa organisasi mahasiswa, organisasi yang bergerak membela kaum perempuan, organisasi yang peduli dengan nasib kaum tani, dan organisasi masyarakat lainnya. Saya bersama puluhan massa berkumpul di Tugu SIB, tempat yang sudah disepakati sebelumnya untuk kami berkumpul.
Masing-masing dari kami memegang sebuah poster dan spanduk-spanduk yang berisikan protes kami terhadap diskriminasi kaum perempuan di negeri ini. Ada poster yang bertuliskan ‘Hentikan Pelecehan Seksual Kepada Kaum Perempuan!!!’, ‘Berikan Cuti Haid Kepada Perempuan!!!’, ‘Tubuh Perempuan Bukan Objek Penjualan Kaum Kapitalis!!!’, ‘Berikan Ruang Gerak Politik Yang Bebas Bagi Kaum Perempuan!!!’, dan lain sebagainya. Dari beberapa aspirasi yang ditulis di atas, jelas bahwa permasalahan perempuan saat ini sangat memprihatinkan, khususnya di negeri ini.
Komnas Perempuan mencatat dalam waktu 13 tahun terakhir ini ada sekitar 93.690 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Artinya, setiap hari ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Pada tahun 2011, Komnas Perempuan mencatat ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 4.377 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Fakta ini sangat mengiris perasaan kami yang sadar dengan permasalahan ini.
Pada pukul 10.30 WIB, kami memulai aksi kami dan menyiapkan mental dan tekad kami untuk ‘berperang’. Kami turun ke jalan dan memadati hampir ¾ jalanan yang notabene merupakan jalanan padat kota. Alhasil kemacetan terjadi dan tak sedikit mata yang memandang ke arah kami. Ada yang memandang sinis, ada yang tertawa, bahkan ada yang mengambil gambar kami saat sedang melakukan aksi.
Kami berbaris rapi, lengkap dengan spanduk, bendera Indonesia dan bendera masing-masing organisasi, spanduk-spanduk besar, dan sebuah pita ‘pink’ yang mengikat tangan kiri kami. Terlihat beberapa kaum pria yang ikut andil dalam barisan kami. Ini membuktikan bahwa permasalah isu perempuan bukan hanya kaum perempuan yang perduli, melainkan juga kaum pria yang sadar akan kesenjangan dalam stratifikasi gender yang membelenggu.
Ketua koordinator memberi aba-aba dan orasi singkatnya. Kemudian dilanjutkan oleh salah seorang mahasiswa yang merupakan ketua dari sebuah kelompok studi mahasiswa. Beberapa aparat kepolisian mendampingi kami dan tetap memantau kegiatan kami. Aksi berjalan lancar dan aman tanpa ada tindakan anarkisme. Wajar saja, hampir setengah dari kami adalah ibu-ibu yang sudah hampir lanjut usianya. Tidak mungkin anarkisme terjadi. Kemungkinannya sangat kecil.
Setelah kurang lebih 1 jam kami berorasi di samping Tugu SIB, kami melanjutkan perjalanan kami menuju kantor DPRD Sumatera Utara. Kami semua berjalan kaki dengan berbaris rapi. Jalanan semakin padat, smapai-sampai aparat kepolisian mengalihkan pengendara bermotor ke jalan yang lain. Di sepanjang jalan kami meneriakkan aspirasi kami dan bernyanyi ‘yale-yale’ dengan semangat. Panasnya terik siang itu tak menyurutkan langkah kami untuk terus melanjutkan kegiatan kami. Secara serentak kami bernyanyi nyanyian yang katanya memang merupakan nyanyian wajib bagi massa yang melakukan aksi demonstrasi.
Sejujurnya, saya sendiri baru pertama kali mengikuti aksi semacam ini. Rasa canggung pasti ada, namun semangat teman-teman seperjuangan lainnya membuat saya melebur dan akhirnya mampu menyatukan diri dengan mereka. Saya melihat semangat juang yang tinggi dari para mahasiswa dan masyarakat yang perduli dengan nasib perempuan di negeri ini. Saya terharu dengan semuanya ini. Kalau dulu saya hanya bisa melihat dari jauh dan bertanya-tanya apa sebenarnya yang diinginkan para demonstran ini sehingga melakukan demonstrasinya, namun sekarang saya sudah paham untuk apa ini semua dilakukan. Aspirasi rakyat dibelenggu.
Di depan kantor DPRD Sumatera Utara, terlihat pagar-pagar duri menghiasi depan kantor DPRD Sumut tersebut. Timbul pertanyaan dalam benak saya mengapa harus dipagari dengan seketat ini? Bukankah kantor ini adalah rumah kami, rumah rakyat? Tidak adakah hak kami untuk menyuarakan isi hati kami kepada para wakil-wakil kami? Orang-orang yang berbahayakah kami sehingga para wakil rakyat kami takut kepada kami dengan memenuhi semua area dengan pagar-pagar besi berduri? Kami tidak akan anarkis kalau kami diperlakukan dengan baik. Sadarkah kita semua akan hal itu?
Semua yang ada di depan kami tak menyurutkan niat kami untuk terus berorasi. Setelah beberapa jam berlalu, tampak sekumpulan bapak-bapak pejabat keluar mendekati kami dengan dikawal oleh aparat keamanan. Mereka berjarak sekitar 5 meter di hadapan kami, berdiri dan mendengar suara-suara kami. Kemudian salah seorang dari mereka menanggapi setiap permohonan kami. Tidak begitu lama, hanya sekitar 5 menit saja beliau berbicara di hadapan kami. Dengan sigap kami pun meminta izin untuk mengirimkan sebuah fax kepada beberapa lembaga terkait di ibu kota. 2 orang dari barisan kami, mewakili untuk masuk ke dalam gedung DPRD untuk mengirim poin-poin permohonan kami melalui fax.
Aksi berjalan mulus dan kami pun masih menanti tanggapan dari para petinggi negara terhadap aspirasi kami ini. Semoga saja, keberadaan perempuan di negeri ini lebih diperhatikan dan dilindungi hak-haknya. Semoga.

0 tinggalkan komentar:

Posting Komentar