Berbicara
mengenai pembinaan guru di Indonesia, saya, selaku masyarakat dan mahasiswa,
memandang bahwa masih banyak sekali kekurangan yang sangat harus dibenahi dalam
pembinaan tenaga pengajar di Indonesia ini. Sebenarnya saya bingung mau
memulainya dari mana, tapi saya akan mencoba memaparkan beberapa yang umum saja
masalah yang sering muncul ke permukaan publik. Masalah-masalah tersebut adalah
berupa ‘diskriminasi’ citra, baik sejak mulai mengemban bangku kuliah hingga
telah sah menjadi seorang guru dan memiliki pengalaman mengajar.
Diskriminasi
yang saya maksudkan di sini adalah berupa citra dan pandangan masyarakat luas
bahwa Lembaga Institusi Keguruan, kita katakanlah Universitas khusus mendidik
para calon guru, contohnya UNIMED, UNY, UPI, dsb, dianggap tidak sebonavit
universitas negeri lain yang mengajarkan ilmu-ilmu murni, seperti ITB, UI, USU,
dsb. Kita melihat, dari segi fasilitas saja universitas yang menyiapkan calon
guru, jauh lebih minim fasilitasnya dibandingkan dengan universitas lain.
Kualitas pengajarannya juga jauh dari kata profesional yang sebenarnya. Alaupun
memang beberapa universitas di pulau Jawa seperti, UPI dan UNJ, sudah sedikit
lebih maju. Namun kenyataannya tidak dipungkiri bahwa ratingnya berada dibawah
UI dan ITB, yang notabene universitas tetangga dan berada dalam satu kota yang
sama.
Fasilitas
yang minim tentu akan menghambat proses belajar mengajar di dalamnya. Sistem
pengajarannya juga tidak seaktif yang ada pada universitas negeri yang bukan
keguruan. Anggapan masyarakat awam tentang keguruan adalah bahwa orang-orang
yang mengemban ilmu di sana tidak sama terjaminnya dengan orang-orang yang
mengemban di universitas yang non pendidikan. Seolah-olah paradigma tersebut
sudah menjadi momok yang menakutkan bagi para lulusan SMA yang hendak memasuki
perguruan tinggi. Lulusan dari universitas yang berbasis kependidikan pun
dianggap seolah tak lebih berkompeten dibanding dengan yang non pendidikan.
Para
pelaku profesionalitas pendidikan, atau kita katakanlah para guru, juga
dianggap tak menjamin kehidupan bagi para pelakunya. Arti kata, gaji yang
diterima guru tidak sebesar dengan gaji yang dapat diperoleh oleh
profesionalitas lainnya. Hal ini benar-benar sangat memprihatinkan. Apakah
pekerjaan guru merupakan pekerjaan rendahan? Apakah profesi guru tak layak
dipandang sebagai sebuah profesi yang menjanjikan? Apakah guru idak layak untuk
bersaing di era globalisasi masa sekarang ini? Saya merasa aneh dengan
pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia. Di negara-negara maju,
Finlandia contohnya, pendidikan mereka sangat maju. Hal itu semata-mata karena
tenaga pengajar yang memang benar-benar dipersiapkan dengan sangat matang dan
layak.
Tonggak
perubahan negeri kita ini tidak lain dan tidak bukan adalah melalui pendidikan.
Apapun aspek yang ingin ditingkatkan, salah satu dasar yang harus dibenahi
adalah pendidikannya. Pendidikan melalui tenaga-tenaga pengajar yang
profesional. Sehingga sumber daya manusianya dapat dipersiapkan menjadi sumber
daya manusia yang berkualitas. Jadi, profesi guru bukanlah profesi rendahan
yang seperti ada dalam pandangan masyarakat luas.
Pembinaan
guru berupa penataran dan pelatihan-pelatihan terkait pun sangat minim sekali
kita temui di pelosok negeri ini. Semua tidak terlaksana secara merata. Masih
banyak guru-guru senior yang belum paham menggunakan teknologi informasi dan
sejenisnya. Dalam beberapa desa, internet juga merupakan hal yang langka.
Kurikulum menuntut untuk menyesuaikan pendidikan dan metode belajar yang
mengacu pada globalisasi, namun sarana dan prasaran pun tidak diperlengkapi.
Siapa yang mau bertanggung jawab di sini? Apa yang harus dilakukan guru?
Guru-guru bingung. Tidak ada kejelasan dalam segala hal yang terkait. Antara pemerintah
pusat dengan guru pun tidak terjalin
hubungan kekerabatan yang erat. Padahal guru merupakan ujung tombak dari proses
pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum. Menurut saya hal ini
benar-benar sangat meilukan. Mengingat masih banyak sekali guru-guru honor yang
tidak jelas masa depannya, sekolah-sekolah tempat guru mengajar yang jauh dari
kata layak.
Sertifikasi
guru yang ada sekarang saya kira benar-benar terlambat. Mengapa baru sekarang
ini pemerintah memperhatikan nasib guru? Sertifikasi ini pun saya kira prosedurnya
terlalu bertele-tele. Banyak korban berjatuhan akibat program sertifikasi ini,
terutama guru-guru senior yang sudah lanjut usia. Berapapun tunjangan yang
diberikan melalui progra sertifikasi guru ini, menurut saya belum mampu
mengganti rasa pengabdian guru-guru senior yang telah mengabdikan dirinya dalam
dunia pendidilkan.
Kesenjangan
sosial terjadi dalam kehidupan guru-guru selama ini. Kesenjangan ini hanyalah
dampak kurang perhatiannya pemerintah dengan dunia pendidikan dan profesi
keguruan. Saya rasa organisasi-organisasi kependidikan dan keguruan juga sudah
mulai perlu membenahi diri lagi. Kuatkan barisan dan mulai menata kembali
rencana-rencana kedepan untuk memperjuangkan hak-hak yang sepatutnya diperoleh
oleh guru-guru.
Segala
bentuk ketidakadilan harus ditindak agar kebaikan bersama dapat tercapai.
Negeri ini bukan hanya milik segelintir orang ataupun kelompok tertentu. Negeri
ini bukan hanya milik profesional-profesional lain saja, melainkan segala
bidang profesi yang ada dalam negeri ini dapat ikut andil dalam setiap proses
perkembangan negeri ini.
Saya,
Putri Amelia, ingin sekali menjadi seorang guru untuk membuktikan bahwa profesi
guru bukanlah profesi rendahan yang hanya dipandang sebelah mata. Saya ingin
membuktikan bahwa guru juga dapat diperhitungkan sebagai kaum-kaum cendekia
yang berintelektual tinggi. Sekian dari saya.
Tulisan di atas merupakan tulisan yang terpaksa saya kerjakan karena deadline tugas...hahahhahaha...
Ibu Lauren meminta kami semua untuk membuat sebuah tulisan mengenai pandangan kami secara pribadi sebagai mahasiswa terhadap pembinaan guru-guru di Indonesia. Semoga bermanfaat :)
0 tinggalkan komentar:
Posting Komentar